tirto.id - Kementerian Kesehatan merilis rekomendasi protokol kesehatan (prokes) untuk mencegah dampak polusi udara di masyarakat. Permasalahan kualitas udara memang tengah menjadi sorotan publik, khususnya di wilayah Jabodetabek. Kualitas udara yang terus memburuk mulai menimbulkan dampak kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Kemenkes menyatakan adanya peningkatan kasus ISPA yang dilaporkan di Puskesmas maupun di rumah sakit Jabodetabek. Adapun wilayah DKI Jakarta telah mencapai 100 ribu kasus per bulan.
Merespons situasi ini, Kemenkes mengeluarkan rekomendasi protokol kesehatan yang bisa diterapkan oleh masyarakat bernama 6M 1S. Ketua Komite Penanggulangan Penyakit Respirasi dan Dampak Polusi Udara Kemenkes, Agus Dwi Susanto menyampaikan, prokes ini bersifat imbauan untuk mencegah masyarakat terhindar dari penyakit akibat polusi udara.
“Kemenkes telah merilis edukasi protokol kesehatan 6M plus 1S dan akan mengirimkan surat edaran kepada pemerintah daerah,” kata Agus dalam konferensi pers di Kantor Kemenkes, Senin (28/8/2023).
Menyitir survei Bappenas pada 2022, Agus memaparkan, meningkatnya polusi udara berkontribusi terhadap peningkatan kasus ISPA dan pneumonia di wilayah DKI Jakarta. Hasil survei Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) 2019 juga menyebut, penyakit pernapasan termasuk dalam 10 penyakit terbanyak di Indonesia.
“Oleh karena itu, cegah jangan sampai terjadi (penyakit), terutama pada empat kelompok risiko tinggi. Kuncinya adalah 6M 1S untuk mencegah risiko dampak kesehatan,” sambung Agus.
Rekomendasi yang dibuat Kemenkes meliputi memeriksa kualitas udara melalui aplikasi atau website, mengurangi aktivitas luar ruangan dan menutup ventilasi rumah/kantor/sekolah/tempat umum di saat polusi udara tinggi, menggunakan penjernih udara dalam ruangan, dan menghindari sumber polusi dan asap rokok.
Berikutnya, menggunakan masker saat polusi udara tinggi, melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), dan segera konsultasi daring/luring dengan tenaga kesehatan jika muncul keluhan pernapasan.
Kendati demikian, rekomendasi yang dirilis Kemenkes perlu ditimbang efektivitas dan implementasinya agar pencegahan dampak polusi udara yang diinginkan tepat sasaran. Setelah pandemi COVID-19 berakhir, perlu diantisipasi respons masyarakat yang tidak sedikit mulai merasa antipati dan skeptis, terhadap rekomendasi protokol kesehatan yang dikeluarkan pemerintah.
Peneliti Global Health Security Policy Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menilai, permasalahan polusi udara perlu direspons dengan tepat agar tidak memperburuk keadaan. Ia menyoroti soal penerapan strategi komunikasi risiko agar keputusan yang dibuat pemerintah tidak menimbulkan efek samping.
Strategi komunikasi risiko, kata Dicky, bukan menyampaikan kebijakan satu arah kepada masyarakat, tapi juga harus memantik persepsi risiko dan edukasi di masyarakat.
“Membangun kesadaran masyarakat apa yang menyebabkan polusi, sehingga artinya upaya keterlibatan dari masyarakat dalam rangka mengurangi polusi itu atau mencegah terjadi polusi juga terjadi gitu dan ini harus dicontoh dimulai dari pemerintah itu sendiri,” kata Dicky dihubungi reporter Tirto, Selasa (29/8/2023).
Dicky menambahkan, rekomendasi prokes yang dirilis Kemenkes lebih bersifat merespons dampak kesehatan dari polusi udara. Ia mengapresiasi prokes yang direkomendasikan Kemenkes, tapi sebagai strategi mitigasi, Dicky menilai hal ini belum cukup.
“Regulasi yang lemah gitu atau law enforcement yang lemah, selain juga masalah literasi yang juga lemah atau kalau dalam bahasa Inggrisnya poor, bukan hanya di masyarakatnya, tapi juga di para pejabat pemerintahan atau pelaksana dari pembangunan. Nah, ini yang akhirnya bermuara atau berakibat terjadinya polusi yang semakin buruk,” sambung Dicky.
Poin Rekomendasi Prokes Perlu Dipertimbangkan
Dicky juga menyatakan, rekomendasi pembatasan aktivitas luar ruangan dalam prokes Kemenkes, perlu dikaji secara serius implementasinya. Pemerintah perlu selektif memilih aktivitas seperti apa yang dapat masuk rekomendasi dibatasi, ketika polusi udara memburuk.
“Bagaimanapun di kita, aktivitas masyarakat menuju dan ke kantor misalnya, itu atau balik dari kantor itu adalah juga memiliki dampak ekonomi. Ikutan gitu di perjalanan dampaknya, dan ini tidak bisa bisa dianggap remeh karena ini ada dampak-dampak untuk ojek dan lain sebagainya,” ungkap Dicky.
Di sisi lain, Anggota Pengurus Pusat Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Iqbal Mochtar menilai, rekomendasi prokes yang dikeluarkan Kemenkes sulit diimplementasikan masyarakat. Ia menilai seakan-akan pemerintah hanya memberikan jargon untuk memperlihatkan kepada masyarakat, bahwa mereka telah melakukan suatu respons.
“Apalagi kita berhadapan dengan masyarakat Indonesia yang majemuk ya, yang tidak semuanya memiliki tingkat pendidikan dan kesadaran yang tinggi,” kata Iqbal dihubungi reporter Tirto, Selasa (29/8/2023).
Misalnya, kata Iqbal, masyarakat diminta memakai penjernih ruangan untuk mengatasi polusi udara. Faktanya hal ini sulit dilakukan karena tidak semua masyarakat mampu melakukannya.
“Untuk membayar transportasi kesulitan, untuk membayar sekolah kesulitan, kemudian diminta untuk memberi penjernih udara. Ini yang menurut saya tidak tepat. Jadi sebenarnya pemerintah itu harus memberikan rekomendasi yang sifatnya implementable,” tambah Iqbal.
Menurut Iqbal, kebijakan untuk mengatasi polusi udara itu harus bersifat efektif, mudah dijalankan, dan terjangkau oleh masyarakat. Kemudian yang paling penting, katanya, pemerintah perlu melakukan kampanye kesadaran masyarakat. Kegiatan ini perlu dilakukan secara terus-menerus dan tidak bersifat reaktif semata.
“Akhirnya rekomendasi ini hanya menjadi jargon saja kalau menurut saya. Sekadar pemanis, pemanis narasi untuk menunjukkan bahwa kita melakukan sesuatu,” tegas Iqbal.
Di sisi lain, Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Tjandra Yoga Aditama menyatakan, tidak semua penjernih udara mampu menjamin udara menjadi bersih. Ia menegaskan, tidak ada penjernih ruangan atau filter apa pun yang dapat menghilangkan seluruh polusi udara di dalam ruangan atau rumah.
Tjandra menambahkan, semua filter penjernih udara memerlukan penggantian secara berkala. Masyarakat juga perlu mempertimbangkan jenis filter sesuai dengan kategori polutan yang ingin disaring.
“Penjernih ruangan adalah salah satu upaya yang tentu tidak menjamin sepenuhnya bahwa udara akan bersih. Yang paling utama adalah upaya pemerintah dan kita bersama agar situasi polusi di udara dapat segera dikendalikan,” kata Tjandra dalam keterangannya.
Respons Kemenkes
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menyatakan, pihaknya terus menggalakkan protokol kesehatan untuk mencegah dampak polusi udara melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.
“Sosialisasi dan edukasi melalui berbagai media dan juga dengan bekerja sama dengan Dinkes Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten,” ujar Nadia saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (29/8/2023).
Menurut Nadia, literasi tentang permasalahan kualitas udara merupakan hal penting bagi kesehatan masyarakat. Hal itu guna mengantisipasi kemungkinan masyarakat menolak mengikuti rekomendasi prokes tersebut.
“Penting memberikan literasi permasalahan kualitas udara yang tidak sehat serta dampak pada kesehatan baik jangka panjang atau jangka pendek,” sambung Nadia.
Meski berfokus pada hilir dalam penanganan polusi udara, Nadia mengklaim, Kemenkes aktif memberikan masukan kepada kementerian atau lembaga lain soal isu kesehatan terkait polusi.
“Tentunya kami memberikan data dan kajian serta memberikan masukan sesuai dengan kebijakan global khususnya WHO terkait, dampak polusi dengan kesehatan, juga langkah masukan sebagai alternatif intervensi,” kata Nadia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz