tirto.id - Raut wajah Robiah (bukan nama sebenarnya) terlihat masih pucat. Bibirnya agak sedikit bergetar ketika menceritakan kejadian ledakan di Stasiun Pengumpul Gas Lapangan Jatinegara milik Kerja Sama Operasional (KSO) Pertamina EP dan PT Migas (Perseroda) Kota Bekasi di Jatiraden, Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Dengan keadaan setengah sadar, ia mendengar sebuah dentuman kencang. Suara itu cukup dekat dari telinganya. Rasanya cukup mengagetkan. Di samping suara teriakan anak-anak dan warga lainnya pecah di jalan.
"Emak dengar [ledakan], tapi tidak sadar. Anak teriak-teriak," ujarnya mengisahkan kepada reporter Tirto, Senin (28/8/2023).
Saat ledakan, posisi Robiah tengah lelap tertidur. Beruntung, perempuan paruh baya yang mengidap jantung itu tidak lewat. Meski detak jantungnya memompa dua kali lipat dari biasanya.
"Tapi, kan, terasa kayak diangkat. Kalau emak melek, atau berdiri mati kali emak. Kaget," ujarnya.
Peristiwa ledakan Stasiun Pengumpul Gas Lapangan Jatinegara itu terjadi pada Jumat (25/8/2023) sekira pukul 13.30 WIB. Ledakan menyebabkan sedikitnya sembilan rumah, satu musala, dan ruang kantor pool taksi di RT 01 RW 08, Jatiraden, Jatisampurna, Kota Bekasi, rusak. Mayoritas rumah mengalami retak, kaca pecah, dan plafon runtuh.
"Kita mah ambles emang rumah tua. Guncangan segitu kencangnya ya ambles," ujarnya.
Jarak lokasi Stasiun Pengumpul Gas Lapangan Jatinegara dengan lokasi perumahan warga memang tidak begitu jauh. Kira-kira hanya sekitar 50 meter saja. Area perusahaan tersebut juga berada di pemukiman cukup padat. Serta hanya dikelilingi tembok beton saja.
"Jarak tembok ke rumah warga itu 50 meter, sedangkan ledakan kayak gitu saja ke sana-sana terasa," ucap Reni salah satu warga RT 02/08 Kelurahan Jatiraden, Kecamatan Jatisampura, Bekasi.
Saya menyaksikan langsung kondisi rumah Reni. Jaraknya cukup dekat dari lokasi ledakan. Retakan cukup besar telihat dari atas kusen kontrakannya. Runtuhan batako menganga selebar 6 cm dan lebar 15-20 cm.
Kerusakan tidak hanya di depan. Baru selangkah masuk, saya melihat dinding kanan rumahnya retak dari atas plafon hingga lantai. Keretakannya kira-kira mencapai 1-2 cm. Di tambah lagi kondisi plafonnya sedikit ambruk.
"Samping [rumah] juga pada renggang temboknya. Atasnya rontok,” ucapnya memberi tahu.
Tidak jauh dari tempat Reni, saya juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri kerusakan rumah yang terjadi pasca ledakan. Mulai dari dinding atas, samping hingga dapur seluruhnya rusak dengan tingkat keretakan yang bervariasi.
"Saat kejadian di rumah. Orang panik langsung keluar enggak mikirin rumah. Yang penting keluar takut ada susulan," ujar Anto bercerita usai memperlihatkan kondisi rumah mertuanya yang retak.
Dari kejadian ini, Anto mengaku was-was. Terlebih jarak antara kediamannya dengan Stasiun Pengumpul Gas Lapangan Jatinegara tidak begitu jauh.
Berapa Jarak Aman Ideal dari Pemukiman Warga?
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman mengatakan, jarak aman antara fasilitas migas di hulu dan hilir idealnya paling tidak sekitar 1 km dari area aktivitas penduduk. Ini untuk meminimalisasi dampak negatif jika terjadi kebakaran.
Dia mengatakan, syarat Health Safety Security and Environment (HSSE) yang tinggi lazim dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) pekerjaan di area mudah terbakar. Khusus di hulu adalah lapangan minyak dan gas dan jika di hilir di terminal BBM & gas dan area fasilitas kilang.
"Saya tidak tahu persis jarak antara stasiun pengumpul gas milik KSO Pertamina EP dengan PD Migas Kota Bekasi dengan area rumah penduduk,” ujarnya kepada reporter Tirto.
Jika terjadi kerusakan akibat ledakan itu diperkirakan sekitar 200 meter, kata Yusri, maka timbul pertanyaan mengapa Ditjen Migas menyetujui atau menerbitkan SLO (Sertifikat Layak Operasi) terhadap stasiun pengumpul gas tersebut.
"Tim Migas Pusat dan subholding Pertamina Hulu Energi bersama Disnaker Kab Bekasi harus melakukan investigasi apakah ada SOP yang dilanggar," tegasnya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai, dekatnya pemukiman warga dengan proyek milik Pertamina akibat ada dinamika perkembangan dari masyarakat. Biasanya, kata dia, masyarakat itu mendekat dari proyek karena melihat ada potensi ekonomi.
"Awalnya proyek itu kosong kemudian karena di situ ada aktivitas ekonomi, kemudian masyarakat mendekat," ujarnya kepada Tirto.
Contohnya keberadaan Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Plumpang milik PT Pertamina (Persero) di Plumpang. Dulu, kata Komaidi, awalnya adalah tanah kosong. Begitu ada aktivitas ekonomi status tanah sebetulnya milik Pertamina, kemudian dikembangkan secara bertahap menjadi rumah milik masyarakat.
Sementara berdasarkan aturan regulasi yang ada, ketika masyarakat menetap dalam waktu tertentu cukup lama biasanya mendapatkan identitas. Ketika mendapatkan identitas masyarakat bisa mensertifikasikan.
“Meski itu hanya hak menempati, tapi kemudian menjadi seolah warga ada di situ. Faktanya ada di situ. Tetapi dulu proyeknya ada duluan dan warga mulai mendekat dan kebanyakan seperti itu yang terjadi. Perlu dipetakan apakah rumah dulu ada di situ atau proyek dulu," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra. Ia mengatakan, sumur-sumur minyak ini banyak sekali yang merupakan lapangan-lapangan migas yang sudah dikembangkan jauh sebelum adanya pemukiman warga. Namun, seiring berjalannya waktu akhirnya banyak warga mendekat dan bermukim di sekitar area lapangan migas.
“Mungkin juga tidak berizin atau menyalahi aturan pendirian bangunan tetap, di situ benar-benar diperlukan peran pihak-pihak seperti pemerintah daerah, dan perusahaan untuk bisa saling menjaga dan mengingatkan potensi risiko yang bisa terjadi," ujarnya kepada Tirto.
Untuk buffer zone atau zona penyangga, lanjut Daymas, idealnya memang perlu disesuaikan jarak antara sumur migas, stasiun pengumpul ataupun tangki-tangki penampungan terkait migas yang lainnya. Karena akan berbeda jarak buffer zone-nya tergantung potensi risiko yang dimiliki.
Kesalahan Vendor & Bentuk Tanggung Jawab
Direktur PT Migas (Perseroda), Apung Widadi mengungkapkan, peristiwa ledakan pada siang hari yang menyebabkan satu orang karyawan penyedia jasa las tewas terjadi saat pekerja kontraktor sedang mengelas tangki minyak baru yang masih kosong. Pekerja mengelas tangki yang akan diisi air untuk keperluan pengeboran minyak, dengan menggunakan las listrik.
"Itu salahnya vendor dalam instalasi pemasangan tangki baru. Jadi mereka akan perbaiki," kata dia kepada Tirto.
Pihaknya memastikan bahwa kontraktor yang mengerjakan pekerjaan tersebut bertanggung jawab kepada korban luka-luka maupun yang meninggal dunia.
Pertanggungjawaban tersebut, kata dia, dalam bentuk menanggung seluruh biaya perawatan dua orang korban yang terluka dan santunan kepada keluarga dari satu orang yang meninggal dunia.
Selain itu, pihaknya juga masih melakukan pendataan rumah-rumah masyarakat yang terdampak akibat ledakan. Pihaknya memastikan akan mengganti rugi rumah-rumah masyarakat akibat ledakan yang terjadi di PT Migas Perseroda.
"Insyaallah kami dan juga kontraktor akan melakukan ganti rugi rumah-rumah masyarakat yang terdampak," tegas dia.
Berdasarkan berita acara yang diterima Tirto, tertanggal 27 Agustus 2023 sejumlah warga dan kontraktor melakukan kegiatan validasi. Ini dilakukan untuk mengetahui warga yang terkena dampak di sektiar area SP Jatinegara atas peristiwa yang terjadi di wilayah Kerja Jatinegara, Jawa Barat.
"Ini sudah ditangani," klaim Apung.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz