Menuju konten utama

Mampukah Indonesia Lepas dari Jerat Kemiskinan Ekstrem di 2024?

Saat ini terdapat sekitar 3,3 juta orang masuk dalam kategori miskin ekstrem. Jumlah itu terkonsentrasi di Indonesia bagian timur.

Mampukah Indonesia Lepas dari Jerat Kemiskinan Ekstrem di 2024?
Warga beristirahat di balkon rumahnya di permukiman bantaran kali kawasan Manggarai, Jakarta, Jumat (9/12/2022). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/tom.

tirto.id - “Kita akan kerja keras dan mati-matian!”

Kalimat itu disampaikan Presiden Joko Widodo usai menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDIP di Jakarta Selatan, Selasa, 6 Juli 2023. Pria yang akrab disapa Jokowi itu mengajak seluruh pembantunya untuk bersama-sama berjuang mengatasi persoalan kemiskinan ekstrem di Indonesia.

Sebagai landasannya, kepala negara itu sudah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Inpres tersebut mengamanatkan kepada 22 kementerian, enam lembaga, dan pemerintah daerah untuk mengambil langkah-langkah intervensi yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk melakukan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.

“Berkaitan dengan kemiskinan ekstrem ini, sebetulnya sudah kita rencanakan di periode yang kedua ini agar nanti di 2024 itu sudah pada posisi nol kemiskinan ekstrem kita," ujar Jokowi.

Kemiskinan ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.

Seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika biaya kebutuhan hidup sehari-harinya berada di bawah garis kemiskinan esktrem; setara dengan 1,9 dolar AS PPP (Purchasing Power Parity). PPP ditentukan menggunakan absolute poverty measure yang konsisten antarnegara dan antarwaktu.

Atau dengan kata lain, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika pengeluarannya di bawah Rp10.739/orang/hari atau Rp322.170/orang/bulan (BPS, 2021). Sehingga misalnya dalam satu keluarga terdiri dari empat orang (ayah, ibu, dan dua anak), memiliki kemampuan untuk memenuhi pengeluarannya setara atau di bawah Rp1.288.680 per keluarga per bulan (BPS, 2021).

Terkonsentrasi di Indonesia Timur

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), saat ini terdapat sekitar 3,3 juta orang masuk dalam kategori miskin ekstrem. Dari jumlah tersebut terkonsentrasi di Indonesia bagian timur.

“Tentu kita bisa melihat, persentase angka kemiskinan ekstrem yang tinggi ini di Indonesia bagian timur, sehingga perlu penanganan yang khusus,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kemenko PMK, Nunung Nuryartono dilansir Antara.

Nunung mengatakan, untuk pulau Jawa, meski persentase kemiskinan ekstrem kecil, jumlah penduduk yang tinggi membuat angka absolut menjadi tinggi. Namun, Nunung tidak menyebut secara rinci besarannya.

Maka dari itu, sasaran program penanganan kemiskinan ekstrem tidak hanya berfokus pada provinsi yang tingkat kemiskinannya tinggi, tetapi wilayah yang angka absolut penduduk miskinnya juga tinggi.

“Jadi, sasaran-sasaran di wilayah dengan persentase tinggi dan secara absolut jumlah penduduknya tinggi. Kami optimistis di 2024 mendekati nol koma sekian, tetapi sudah menyentuh ke arah sana," kata dia.

ANGKA KEMISKINAN DI JAKARTA

Sejumlah warga beraktivitas di perkampungan padat penduduk tepi rel kereta api di Kampung Bandan, Jakarta, Jumat (14/10/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/tom.

Optimistis Bisa Ditekan

Nunung optimistis kemiskinan ekstrem pada tahun depan bisa ditekan. Terlebih pemerintah sudah memiliki beberapa strategi untuk menurunkan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen pada 2024.

Tiga strategi tersebut, yakni melalui pengurangan beban pengeluaran masyarakat, peningkatan pendapatan, dan pemberdayaan masyarakat serta pengurangan jumlah kantong-kantong kemiskinan dan diikuti dengan berbagai kebijakan afirmatif baik dari sisi refocusing anggaran, perbaikan data dan penyasaran, serta penguatan pelaksanaan program melalui pendekatan konvergensi.

“Dengan pendekatan konvergensi ini, maka dipastikan rumah tangga miskin tidak hanya menerima manfaat dari satu program saja, namun dari beberapa program, sehingga upaya penurunan akan menjadi lebih signifikan,” kata Nunung dalam keterangan resminya, Kamis (24/8/2023).

Dalam upaya mencapai target tersebut, Kemenko PMK juga mendorong kerja sama berbagai kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, civitas akademika, dunia usaha, lembaga filantropi dan pihak terkait lainnya untuk memperkuat keterpaduan dan sinergi dalam upaya percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.

Sekretaris Kemenko PMK, Andie Megantara mengklaim, upaya pemerintah dan non-pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan ekstrem mulai menunjukkan hasil. Ini ditandai dengan menurunnya angka kemiskinan ekstrem di berbagai provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.

Andie mengatakan, selama setahun terakhir, baik dari perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) maupun Bank Dunia menunjukkan adanya penurunan angka kemiskinan ekstrem secara nasional. Secara tren angka kemiskinan ekstrem pada Maret 2022 mencapai 2,04 persen. Kemudian, turun sekitar 0,3 persen ke angka 1,74 pada September 2022.

“Pada September 2023 provinsi-provinsi yang berhasil mencapai angka mendekati 0 persen kemiskinan ekstrem bertambah dari 6 provinsi menjadi 13 provinsi,” ungkap Andie.

Sementara pada Maret 2023, kemiskinan ekstrem turun menjadi 1,12 persen atau berkurang 0,62 persen dari September 2022 baik di perdesaan maupun perkotaan. Sehingga pemerintah optimistis target penurunan angka kemiskinan ekstrem nol persen pada 2024 dapat tercapai.

“Dengan rentang waktu yang tersisa hanya satu tahun menuju target 0 persen kemiskinan ekstrem, masih diperlukan penguatan keterpaduan dalam implementasi upaya percepatan tersebut," tuturnya.

Target yang Rasional atau Tidak?

Direktur Eksekutif Segara Research Institue, Piter Abdullah menuturkan, upaya penurunan kemiskinan ekstrem nol persen dilakukan pemerintah sebetulnya cukup rasional. Terlebih banyak faktor yang berada di kekuasaan pemerintah untuk mengendalikan program kemiskinan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Makanan, air bersih, sanitasi, kesehatan dan lain-lain itu semua terjangkau oleh APBN. Penyediaannya bisa dilalukan oleh pemerintah melalui program-program dan dibiayai APBN," kata Piter kepada Tirto.

Untuk mempercepat penurunan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, anggaran perlindungan sosial dalam RAPBN 2024 dialokasikan pemerintah sebesar Rp493,5 triliun. Perlindungan sosial tersebut akan menyasar pada sejumlah hal seperti penyempurnaan perlindungan sosial sepanjang hayat dan adaptif, subsidi tepat sasaran dan berbasis target penerimaan manfaat.

Selain itu, anggaran juga akan digunakan untuk perbaikan basis data penerima seperti penguatan data registrasi sosial ekonomi hingga percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2024.

“Dengan pertimbangan itu, target Pak Jokowi sebenarnya sangat realistis [turunkan kemiskinan ekstrem]," ujarnya.

Meski demikian, Piter mengingatkan ada beberapa tantangannya dalam pelaksanaan program. Karena yang sudah terjadi biasanya dalam berbagai program pemerintah sering terjadi penyalahgunaan, ketidaktepatan sasaran dan sejenisnya.

“Ini yang berpotensi menggagalkan target Pak Jokowi,” kata dia.

Sementara itu, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Andri Perdana menilai, belum ada strategi jitu yang benar-benar bisa dilakukan pemerintah dalam upaya mengentaskan kemiskinan ekstrem. Karena belum ada perubahan kebijakan yang telah direncanakan pemerintah untuk mencapai penurunan kemiskinan yang drastis tersebut.

“Target (penurunan) drastis membutuhkan perencanaan yang drastis pula. Kalau tidak ada perubahan radikal dari program-program pengentasan kemiskinan, maka ini bukan ambisius, tapi irasional,” kata Andri.

Sebenarnya, kata Andri, kalau kita lihat secara rasional, menurunkan 2,04 persen (yang menggunakan standar pengeluaran Rp10.739 per hari) menjadi 0 persen dalam waktu kurang lebih satu tahun ini tidak rasional. Dalam lima tahun terakhir, penurunan kemiskinan ekstrem dengan standar ini bahkan hanya rata-rata 0,48 persen per tahun.

“Tingkat penurunan ini sudah melambat dari sebelumnya di 2015-2019 yang turun rata-rata 0,696 persen per tahun," ujarnya.

Bank Dunia atau World Bank memang telah mengubah ukuran PPP yang baru sebagai acuan untuk menentukan jumlah masyarakat yang masuk kategori miskin ekstrem atau miskin saja. Ukuran ini telah diadopsi sejak 2022 melalui angka PPP 2017 dari sebelumnya PPP 2011.

Pada basis perhitungan baru, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem menjadi 2,15 dolar AS per orang per hari atau Rp32.745 per hari (kurs Rp15.230 per US$). Sebelumnya, garis kemiskinan ekstrem ada di angka 1,90 dolar AS

Sementara itu, batas kelas penghasilan menengah ke bawah dinaikkan menjadi 3,65 dolar AS atau Rp55.590 per orang per hari dari sebelumnya 3,20 dolar AS atau Rp48.740. Sementara itu, batas kelas berpenghasilan menengah ke atas menjadi 6,85 dolar AS atau Rp104.325 per hari dari sebelumnya 5,50 dolar AS atau Rp83.675 per hari.

“Jadi untuk menurunkan 3,5 persen menjadi 0 persen ini jauh dari rasional, apalagi dengan kita melihat tidak ada perubahan radikal dari kebijakan pengentasan kemiskinan kita," kata dia.

Baca juga artikel terkait KEMISKINAN EKSTREM atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz