Menuju konten utama

Nestapa Warga Kampung Bayam Tinggal di Tenda & Bertarung di PTUN

Warga korban penggusuran Kampung Bayam menggugat Pemprov DKI Jakarta dan PT Jakpro ke PTUN Jakarta.

Nestapa Warga Kampung Bayam Tinggal di Tenda & Bertarung di PTUN
Warga Kampung Bayam. tirto.id/Riyan Setiawan

tirto.id - Tuti, 38 tahun, bersama dua anaknya yang berusia sembilan dan 15 tahun terpaksa tinggal di sebuah tenda beratapkan terpal biru di depan Jakarta International Stadium (JIS), Jakarta Utara.

Warga korban penggusuran Kampung Bayam itu tinggal di sebuah rumah bedeng yang dijadikan warung kecil-kecilan dengan ukuran sekitar 2x2 meter.

"Enggak ada nyamannya tinggal di sini mah," kata Tuti bercerita kepada reporter Tirto di lokasi, Selasa (22/8/2023).

Tuti tinggal di Kampung Bayam sejak 2006 sampai 2020 dengan bangunan seluas 6x12 meter. Setelah digusur dan menerima kompensasi sebesar Rp22 juta, ia sempat pindah di pemukiman pinggir rel kereta api sebelah JIS.

Kemudian ia bersama Persatuan Warga Kampung Bayam (PWKB) mendirikan tenda dengan kondisi menyerupai bangunan bedeng di depan JIS pada November 2022.

Tinggal di tenda merupakan bentuk protes lantaran hak hunian di Kampung Susun Bayam (KSB) yang dijanjikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) tak kunjung diberikan sejak Oktober 2022. Hal itu sesuai janji mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

Kondisi tempat tinggal Tuti bersama warga gusuran Kampung Bayam lainnya yang masih bertahan jauh dari kata layak. Bangunannya terbuat dari kayu dan triplek bekas.

Kampung Bayam

Warga Kampung Bayam. tirto.id/Riyan Setiawan

Bagian atap dan samping hanya ditambal menggunakan terpal bekas. Sementara alasnya sebagian menggunakan kardus. Letak kediaman Tuti tepat di muka bangunan itu yang terdapat tulisan "Pecel Ayam Koperasi PWKB".

"Siang kepanasan, malam kedinginan, banyak nyamuk yang masuk," ucapnya.

Sering kali debu jalanan masuk ke dalam tempat tinggalnya mengingat bangunan bedeng tersebut berada persis di pinggir jalan raya. Lokasinya juga hanya sekitar 20 meter dari rel kereta api Tanjung Priok-Ancol.

"Kalau kereta api lewat itu berisik banget. Sampai kebangun kalau tidur," kata Tuti.

Selama sembilan bulan tinggal di rumah bedeng itu, Tuti dan kedua anaknya kerap kali dilanda penyakit. "Penyakit ya masuk angin, batuk, gatal-gatal, demam, sampai buang air. Tapi ya syukuri aja," tuturnya.

Tuti merasa lebih senang tinggal di Kampung Bayam karena keuntungannya berjualan bisa mencapai Rp7 juta per bulan. Berbanding jauh di tenda ini yang hanya Rp1,5 juta per bulan.

Kini, ia bersama warga Kampung Bayam menggugat Pemprov DKI Jakarta dan PT JakPro ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta melalui e-court. Total sebanyak 123 Kepala Keluarga (KK) yang menggugat.

Warga Tuntut Tarif Sewa Murah di KSB

Tuti bersama ratusan warga lainnya berharap bisa segera menempati Kampung Susun Bayam sesuai yang dijanjikan oleh Anies Baswedan saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Akan tetapi, hingga Anies lengser sebagai gubernur, warga Kampung Bayam belum bisa menempati rumah susun tersebut. Pangkal masalahnya belum ada kesepakatan antara warga dan Jakpro terkait besaran uang sewa.

Warga menolak tarif yang ditawarkan Jakpro karena dinilai terlalu mahal. Tuti berharap besaran uang sewa disesuaikan dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 55 Tahun 2018 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Perumahan.

Dalam aturan tersebut, besaran tarif untuk rumah susun sewa dengan blok maksimal lima lantai pada kategori terprogram paling mahal Rp372 ribu per bulan untuk tipe 30.

"Kalau harga, ya, sama kaya yang lain Kampung susun terprogram, Kampung Akuarium itu Rp350 ribu. Kalau Rp600 atau Rp700 ribu, kemahalan," kata Tuti.

Tak hanya Tuti, di dalam bangunan bedeng seluas kurang lebih 50 meter itu terdapat lima Kepala Keluarga (KK) atau 18 orang, terdiri dari orang dewasa dan anak-anak. Tempat tidur masing-masing keluarga hanya dibatasi menggunakan kain gorden.

Salah satunya Sahila, 54 tahun. Ia mengatakan selama satu bulan tinggal di bangunan berbahan kayu dan terpal bekas itu kurang nyaman. Lantainya hanya beralaskan tanah. "Tinggal di sini kurang layak," ujarnya.

Kampung Bayam

Warga Kampung Bayam. tirto.id/Riyan Setiawan

Kondisi tempat Sahila memang jauh dari kata layak. Ia tidur bersama anaknya yang masih duduk di bangku SMP dengan beralaskan kasur yang sudah kumuh dengan kondisi compang-camping. Busa kasurnya pun tampak menengok keluar.

Pakaian dan buku anaknya ia simpan di kardus-kardus bekas. Beberapa pakaian lainnya tampak digantung di bambu yang menjadi penopang terpal yang digunakan sebagai atap. Di sana, terlihat tiga anak kecil tengah bermain bersama.

Ketika saya berada di dalam, kondisi pemukiman mereka tampak pengap dan kumuh. Mereka memanfaatkan barang-barang bekas untuk perabotan.

Sahila mengatakan warga yang menetap menggunakan kompor dua tungku secara bersama untuk memasak dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk kebutuhan mandi dan mencuci, warga memanfaatkan sumur dan kamar mandi buatan berbahan triplek bekas.

Sementara untuk kebutuhan listrik, mereka menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang disimpan di atas pagar JIS yang menjadi pembatas pemukiman kumuh mereka dengan stadion super megah itu

"Kami dapat listrik pas ada cahaya matahari saja buat charger dan lainnya. Kalau malam kami pakai lampu seadanya, kalau nggak kuat, ya gelap-gelapan," tuturnya.

Hal yang menjadi mimpi buruk warga ketika hujan deras datang. Air hujan dari segala penjuru masuk melalui sela-sela tenda. Apalagi jika disertai disertai angin kencang, tenda yang mereka dirikan sampai ambruk.

"Kalau hujan deras sampai banjir, air yang di dalam JIS masuk ke sini. Sudah ini banjir semua, peralatan pada basah, pakaian, buku. Pokoknya nggak nyaman," imbuhnya.

Kondisi itu semakin berat lantaran ia saat ini bertugas sebagai tulang punggung keluarga lantaran sang suami telah lama meninggal. Demi memenuhi kebutuhannya, Sahila berjualan nasi uduk di tenda itu.

Keuntungan Sahila saat berjualan nasi uduk sangat minim, yakni sekitar Rp30 ribu per hari. Berbanding jauh ketika ia membuat warung di Kampung Bayam yang sehari-hari mencapai ratusan ribu rupiah.

Sahila sebelumnya tinggal di Kampung Bayam pada 2006-2020 dengan luas bangunan 4x12 meter. Saat penggusuran Kampung Bayam, ia menerima ganti rugi sebesar Rp43 juta.

Dia sempat pindah ke Rusunawa Rorotan, Jakarta Utara. Namun karena anaknya masih sekolah di SMP dekat JIS, ia harus menetap di tenda karena jaraknya lebih dekat.

Sahila berharap dengan adanya gugatan ke PTUN, pemerintah segera memberikan hunian di KSB untuk Sahila dan warga lainnya sesuai dengan harga yang terjangkau.

"Ya cepet masuk, cocok harga sesuai Rusun terprogram, dapat kunci. Biar bisa tinggal layak dan buat masa depan anak-anak. Bayar mah mau, tapi yang terjangkau," kata Sahila.

Warga Gugat Pemprov DKI dan Jakpro ke PTUN

Eks Warga Kampung Bayam didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menggugat Pemprov DKI Jakarta dan PT Jakarta JakPro ke PTUN Jakarta melalui e-court. Para penggugat terdiri dari beberapa warga kampung bayam yang mengalami kerugian.

Gugatan tersebut dilayangkan ke Pemprov DKI Jakarta dan Jakpro karena warga tak kunjung mendapatkan hak atas unit untuk menghuni Kampung Susun Bayam.

"Hal ini sebagai bentuk tindak lanjut atas upaya administratif yang telah dilakukan oleh warga kampung bayam pada Februari dan Maret lalu," kata Pengacara Publik LBH Jakarta, Jihan Fauziah Hamdi melalui keterangan tertulis, Selasa (22/8/2023).

Jihan menjelaskan gugatan tersebut diajukan karena Pemprov DKI dan Jakpro mengabaikan tanggung jawab hukum untuk memberikan unit Kampung Susun Bayam. Hal ini berawal sejak warga Kampung Bayam yang mengalami penggusuran pada 2008 dan kembali terjadi pada 2020 dengan alasan pembangunan pancang JIS.

Padahal, tanggung jawab hukum tersebut secara jelas diatur dalam Kepgub DKI 878/2018 yang ditindaklanjuti dengan adanya Kepgub DKI 979/2022. Pada lampiran Kepgub DKI 979/2022 terdapat wilayah lokasi permukiman pada wilayah Kampung Bayam, Tanjung Priok, Jakarta Utara yang merupakan wilayah Para Penggugat.

Tidak hanya itu, dasar warga menempati Kampung Susun Bayam juga telah melalui proses verifikasi sebagaimana tercantum di dalam Surat Walikota Jakarta Utara nomor e-0176/PU.04.00 perihal Data Verifikasi Warga Calon Penghuni Kampung Susun Bayam.

Kemudian, LBH Jakarta menemukan pelanggaran hak oleh Pemprov DKI Jakarta dan Jakpro. Sampai gugatan ini diajukan, warga kampung bayam tidak kunjung mendapatkan akses hunian di Kampung Susun Bayam.

Pengabaian oleh Pemprov DKI dan Jakpro telah berdampak pada ketidakpastian pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak. Akibatnya, Warga harus tinggal terkatung-katung, bahkan lima KK di antaranya harus berkemah di depan Kampung Susun Bayam karena tidak lagi memiliki uang untuk mengontrak atau mencari tempat tinggal lainnya.

"Hal ini membuktikan tidak hadirnya Negara dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta dalam pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga Kampung Bayam, termasuk di antaranya warga yang menggugat," ucapnya.

Jihan menilai tindakan Pemprov DKI dan Jakpro telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Selain ketidakpastian hukum warga Kampung Bayam, Jihan juga melihat pelanggaran asas keterbukaan, kemanfaatan, ketidakberpihakan, dan kepentingan umum dalam tindakan yang dilakukan oleh Pemprov DKI maupun Jakpro.

Kampung Bayam

Warga Kampung Bayam. tirto.id/Riyan Setiawan

Alih-alih memberikan kesempatan kepada warga Kampung Bayam untuk didengar pendapatnya, Jakpro justru memberikan tarif kepada warga Kampung Bayam yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yakni menggunakan dasar penggunaan Pergub DKI 55/2018.

Padahal warga Kampung Bayam merupakan warga dengan kategori kelompok “terprogram” dan warga yang berhak atas unit tersebut berdasarkan skema Kepgub DKI 979/2022. Hal itu bahkan diperkuat dengan adanya verifikasi data warga sebagaimana surat keputusan (SK) yang telah diterbitkan oleh Wali Kota Jakarta Utara.

Berdasarkan alasan tersebut, LBH Jakarta bersama Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) dan para penggugat berpandangan warga Kampung Bayam telah satu tahun lebih terkatung-katung dan tidak mendapatkan kepastian untuk menempati Kampung Susun Bayam.

Menurut Jihan, gugatan terhadap PTUN Jakarta diharapkan dapat menjadi sarana koreksi bagi pemerintah atas sikap abainya dalam pemenuhan hak dan tanggung jawab hukum tersebut.

Gugatan ini meminta pengadilan untuk menyatakan tindakan pengabaian tanggung jawab oleh pemerintah dengan tidak memberikan hak atas unit Kampung Susun Bayam sebagai tindakan melawan hukum.

"Tidak hanya itu, gugatan ini juga meminta PTUN untuk memerintahkan Jakpro dan Pemprov DKI Jakarta untuk segera memberikan unit Kampung Susun Bayam kepada warga Kampung Bayam sebagaimana telah jelas dasarnya melalui Kepgub DKI 979/2022 dan Surat Walikota Jakarta Utara nomor e-0176/PU.04.00," pungkasnya.

Menanggapi itu, Direktur Utama PT Jakpro, Iwan Takwin menyatakan akan kooperatif menghadapi gugatan yang dilayangkan oleh warga Kampung Bayam ke PTUN.

"Kooperatif lah. Kami komunikasi terus. Kan ada tim community development di Jakpro. Itu yang melakukan komunikasi," kata Iwan kepada wartawan, Rabu (16/8/2023).

Iwan mengklaim Jakpro sebelumnya sudah menjalin komunikasi bersama warga terkait tempat tinggal di Kampung Susun Bayam (KSB) termasuk area publiknya.

"Karena kalau tidak nanti kita juga disalahkan. Jadi harus kegiatan apapun yang dilakukan di area publik komunikasi, sosialisasi intinya," ucap Iwan.

Baca juga artikel terkait WARGA KAMPUNG BAYAM atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan