Menuju konten utama
HUT Kemerdekaan RI

78 Tahun Indonesia Merdeka, tapi Belum Terbebas dari Kemiskinan

Indonesia sudah merdeka 78 tahun, tapi kemiskinan masih menjadi persoalan yang belum juga sepenuhnya teratasi.

78 Tahun Indonesia Merdeka, tapi Belum Terbebas dari Kemiskinan
Sejumlah warga beraktivitas di perkampungan padat penduduk tepi rel kereta api di Kampung Bandan, Jakarta, Jumat (14/10/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/tom.

tirto.id - “Tidak boleh ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka!” tegas Bung Karno.

Pesan Bung Karno tersebut ia sampaikan saat berpidato di hadapan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Orasi itu rupanya berhasil menyihir peserta sidang dan di kemudian hari lahirlah konsepsi falsafah dasar negara, yakni Pancasila. Dalam salah satu butirnya bicara tentang keadilan sosial bagi semuanya.

Namun, keinginan Bung Karno menghapus kemiskinan di Indonesia bukan perkara mudah. Karena ini merupakan masalah krusial yang harus diberikan perhatian besar oleh seluruh pihak. Faktanya, sejak 25 tahun merdeka, tepatnya pada 1970 angka kemiskinan di negeri ini masih cukup tinggi dan belum bisa teratasi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pertama kali pada 1970 kala itu, menunjukkan jumlah penduduk Indonesia yang miskin absolut mencapai 70 juta atau 65 persen jumlah penduduk. Dengan pembangunan yang terstruktur, penduduk miskin absolut Indonesia turun menjadi 54,2 juta atau 40 persen dari total penduduk pada 1976. Pada 2005, penduduk miskin absolut turun lagi menjadi 35 juta atau 15 persen dari total penduduk.

Puncaknya pada Maret 2018, Indonesia berhasil menurunkan angka kemiskinan menjadi single digits atau 9,82 persen dari total jumlah penduduk. Angka itu setara dengan 25,95 juta penduduk miskin. Tren penurunan terus berlanjut sampai September 2019. Jumlah penduduk miskin pada periode itu berhasil ditekan menjadi 24,78 juta atau setara 9,22 persen dari total penduduk.

Namun, angka kemiskinan pada September 2020 meningkat double digits kembali dan menyentuh angka 10,19 persen atau 27,55 juta penduduk. Peningkatan ini terjadi akibat pandemi COVID-19 yang menghantam Indonesia pada awal 2020. Akan tetapi, sejak Maret 2021, angka kemiskinan kembali melandai dan terus alami penurunan meski tidak secara signifikan.

Bagaimana angka kemiskinan tahun ini saat HUT Kemerdekaan RI ke-78? Data BPS menunjukkan sampai dengan Maret 2023, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,90 juta orang atau sekitar 9,36 persen. Jumlah ini turun 0,46 juta orang terhadap September 2022 dan turun 0,26 juta orang terhadap Maret 2022.

“Pada Maret 2023 ini persentase penduduk miskin turun 0,21 persen dibandingkan September 2022 dan mengalami penurunan 0,18 persen poin dibanding Maret 2022," Sekretaris Utama BPS, Atqo Mardiyanto dalam rilis BPS, di Kantornya, Jakarta, Senin (17/7/2023).

Penurunan tingkat kemiskinan terjadi baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode September 2022–Maret 2023, jumlah penduduk miskin perkotaan turun sebesar 0,24 juta orang, sedangkan di pedesaan turun sebesar 0,22 juta orang.

Sedangkan jika dilihat dari persentase kemiskinan di perkotaan turun dari 7,53 persen menjadi 7,29 persen. Sementara itu, di pedesaan turun dari 12,36 persen menjadi 12,22 persen. “Di mana penurunan di perkotaan lebih besar daripada pedesaan," ujarnya.

Dia menyebut persentase penduduk miskin terbesar berada di wilayah Pulau Maluku dan Papua, yaitu sebesar 19,68 persen. Sementara itu, persentase penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan, yaitu sebesar 5,67 persen.

Namun, persoalan kemiskinan menurut Atqo bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan.

Indeks kedalaman kemiskinan adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin.

Pada periode September 2022–Maret 2023, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami penurunan. Indeks Kedalaman Kemiskinan pada Maret 2023 sebesar 1,528, turun dibandingkan September 2022 yang sebesar 1,562.

Sementara itu, Indeks Keparahan Kemiskinan pada Maret 2023 sebesar 0,377, turun dibandingkan September 2022 yang sebesar 0,379. Apabila dibandingkan berdasarkan daerah, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) perdesaan lebih tinggi daripada perkotaan.

Pada Maret 2023, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan sebesar 1,163, sedangkan di perdesaan lebih tinggi, yaitu mencapai 2,035. Demikian pula untuk nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2), di perkotaan nilainya sebesar 0,281, sedangkan di perdesaan lebih tinggi, yaitu mencapai 0,511.

Garis Kemiskinan Meningkat

Garis kemiskinan Indonesia yang dicatat BPS pada Maret 2023 sebesar Rp550.458 per kapita per bulan. Nilai tersebut justru naik 2,78 persen bila dibandingkan dengan September 2022 yang sebesar Rp535.547 per kapita per bulan dan naik 8,90 persen terhadap Maret 2022 yang sebesar Rp505.469 per kapita per bulan.

Garis Kemiskinan (GK) mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan. GK terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).

GKM merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain).

Sementara GKNM merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan non-makanan berupa perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.

“Perkembangan garis kemiskinan, yang menjadi dasar penentuan status miskin dari penduduk, pada Maret 2023 ini adalah sebesar Rp550.548,” kata Atqo.

BPS mencatat garis kemiskinan pada wilayah perkotaan lebih tinggi dari pedesaan dengan nilai masing-masing sebesar Rp569.299 dan Rp525.050 per kapita per bulan. Sedangkan garis kemiskinan perkotaan mengalami peningkatan sebesar 3,07 persen bila dibandingkan September 2022, sementara garis kemiskinan pedesaan tercatat naik sebesar 2,32 persen.

Menurut Atqo, distribusi garis kemiskinan pada Maret 2023 didominasi oleh komponen makanan sebesar 74,21 persen. Sedangkan 25,79 persen lainnya berasal dari komponen bukan makanan.

“Berdasarkan komponen pembentuknya, peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan,” jelas Atqo.

Berdasar Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2021, seseorang dikategorikan miskin ekstrem bila biaya kebutuhan hidup sehari-harinya berada di bawah garis kemiskinan ekstrem atau setara dengan 1,9 dolar AS purchasing power parity (PPP). PPP ini ditentukan menggunakan absolute poverty measure yang konsisten antarnegara dan antarwaktu.

Dengan kata lain, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika pengeluarannya di bawah Rp10.739 per orang per hari atau Rp322.170 per orang per bulan.

Strategi Pemerintah Mengentaskan Kemiskinan

Dalam upaya mengentaskan kemiskinan, Presiden Joko Widodo mengaku sudah punya strategi. Apalagi pemerintahan di bawahnya juga telah mencanangkan untuk menurunkan kemiskinan ekstrem hingga nol persen pada 2024.

Untuk menurunkan angka kemiskinan, pemerintah sudah mengantongi data dan alamat masyarakat yang masuk kategori miskin ekstrem. Dengan data-data tersebut, Jokowi lebih leluasa untuk kemudian ditindaklanjuti melalui berbagai program bantuan sosial (bansos).

“Saya masih meyakini itu di 2024 akan turun drastis karena nama dan alamat itu sudah ada semuanya, by name by address itu sudah ada semuanya," kata Jokowi kala itu.

Namun, lanjut Jokowi, pemenuhan target tersebut perlu dibarengi dengan kerja sama semua pihak dan terkonsolidasi. Baik antara pemerintah pusat, kementerian/lembaga non-kementerian pemerintah, maupun pemerintah daerah.

“Semuanya harus bersama-bersama bukan barang yang sulit, tetapi memang perlu konsolidasi dan perlu waktu," kata Jokowi.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa mengatakan, setidaknya terdapat tiga skenario yang akan dilakukan pemerintah dalam menurunkan kemiskinan. Pertama, melalui intervensi dengan pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin. Kedua, peningkatan pendapatan. Ketiga, meminimalkan kantong-kantong kemiskinan.

Untuk mengurangi kantong-kantong kemiskinan, menurut Suharso, tidak hanya dilakukan di tingkat pusat saja. Tetapi perlu kerja sama juga dilakukan oleh pemerintah daerah.

“Program-program yang diinisiasi kementerian atau lembaga dan hal yang dilakukan pemerintah untuk memerangi kemiskinan dari pemerintah pusat sudah cukup luar biasa. Kita harapkan kerja sama ini ada inisiasi daerah,” kata dia setelah mengikuti Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan juga sudah memperkuat sejumlah program dan kebijakan bidang ketenagakerjaan dalam rangka mengimplementasikan Instruksi Presiden RI (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem di Indonesia. Penguatan program dan kebijakan ini juga diharapkan mampu mempercepat capaian target Inpres tersebut.

“Pemerintah menargetkan pengentasan kemiskinan esktrem akan selesai di 2024. Target optimis ini hanya akan tercapai jika seluruh K/L dan pemerintah daerah merumuskan kebijakan dan melaksanakan berbagai program pengentasan kemiskinan secara efektif dan tepat sasaran," kata Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan, Caswiyono Rusydie dalam pernyataanya kepada Tirto.

Caswiyono mengatakan, sejumlah kebijakan dan program tersebut di antaranya perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha dengan menciptakan lapangan kerja baru dan mengembangkan lapangan pekerjaan yang ada; pelatihan program vokasi untuk mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem; dan perluasan cakupan kepesertaan program jaminan sosial ketenagakerjaan bagi masyarakat miskin ekstrem.

Menurut Caswiyono, instruksi tersebut telah dituangkan ke dalam rencana aksi dan stranas, serta diejawantahkan ke dalam berbagai tagging program lintas K/L.

“Harapannya, berbagai program lintas K/L ini dapat disinergikan untuk mendukung penurunan kemiskinan ekstrem secara lebih terpadu, terintegrasi, komprehensif, dan tepat sasaran,” kata dia.

Rp562,6 Triliun Anggaran untuk Warga Miskin

Dalam upaya mengurangi kemiskinan, Kementerian Keuangan sudah menggelontorkan Rp562,6 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Anggaran sebanyak itu merupakan belanja pemerintah pusat yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat, seperti program keluarga harapan (PKH) dan kartu sembako.

Sampai dengan Juli 2023, PKH menyedot Rp14,9 triliun untuk 9,8 juta keluarga penerima manfaat. Sedangkan kartu sembako mengambil porsi APBN sebesar Rp22,2 triliun untuk 18,7 juta KPM.

“Selain mereka mendapat PKH dan kartu sembako, kelompok rentan ini juga diberikan BPJS Kesehatan dengan iuran dibayar oleh APBN Rp27 triliun untuk Januari-Juli 2023. Artinya, setiap bulan APBN mengeluarkan Rp3,9 triliun bagi 96,7 juta peserta tidak mampu,” kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita edisi Agustus.

“Sehingga apabila mereka sakit, mereka tetap bisa mendapatkan perlakuan dan pelayanan kesehatan tanpa mereka membayar," sambungnya.

Bendahara Negara itu juga memberikan bantuan benih dan pupuk organik sebesar Rp463,7 miliar, bantuan alat dan mesin pertanian Rp250 miliar, bantuan ternak Rp62,4 miliar, hingga bantuan benih ikan, kepiting, dan udang senilai Rp19,2 miliar.

Negara juga menggelontorkan Rp48,5 triliun untuk subsidi dan kompensasi listrik hingga akhir Juli 2023. Kemudian, subsidi LPG 3 kg mencapai Rp37,7 triliun dan Rp59,7 triliun diberikan untuk subsidi dan kompensasi BBM.

Dari sektor pendidikan ada program Indonesia Pintar yang mendapat Rp6,2 triliun, program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah Rp6,1 triliun, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di Kementerian Agama sebesar Rp7,1 triliun, dan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) senilai Rp2,3 triliun.

Sedangkan untuk program Kartu Prakerja mendapat kucuran dana Rp2,5 triliun untuk 586 ribu peserta.

“APBN juga memberikan pembangunan infrastruktur yang dinikmati masyarakat, terutama yang tidak mampu, mulai dari sanitasi, persampahan, air minum. Juga berbagai infrastruktur yang dinikmati masyarakat keseluruhan, seperti bendungan, irigasi, kereta api, bandara senilai Rp73,1 triliun," jelasnya.

Dinilai Irasional

Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Andri Perdana menilai, belum ada strategi jitu yang benar-benar bisa dilakukan pemerintah dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Sebab, belum ada perubahan kebijakan yang telah direncanakan pemerintah untuk mencapai penurunan kemiskinan yang drastis tersebut.

“Target (penurunan) drastis membutuhkan perencanaan yang drastis pula. Kalau tidak ada perubahan radikal dari program-program pengentasan kemiskinan, maka ini bukan ambisius, tapi irasional," kata Andri kepada Tirto, Senin (14/8/2023).

Sebenarnya, kata Andri, kalau kita lihat secara rasional, menurunkan 2,04 persen (yang menggunakan standar pengeluaran Rp10.739 per hari) menjadi 0 persen dalam waktu kurang lebih satu tahun ini tidak rasional. Dalam lima tahun terakhir, penurunan kemiskinan ekstrem dengan standar ini bahkan hanya rata-rata 0,48 persen per tahun.

“Tingkat penurunan ini sudah melambat dari sebelumnya di tahun 2015-2019 yang turun rata-rata 0,696 persen per tahun," ujarnya.

Bank Dunia sendiri sebetulnya sudah memperbarui standar kemiskinan ekstrem internasional menjadi 2,15 dolar AS menggunakan PPP 2017 dari yang sebelumnya 1,9 dolar AS yang menggunakan PPP 2011. Dengan perubahan tersebut, jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia terakhir masih ada di angka 3,5 persen, yang mana hanya turun 0,3 persen dari tahun sebelumnya.

“Jadi untuk menurunkan 3,5 persen menjadi 0 persen ini jauh dari rasional, apalagi dengan kita melihat tidak ada perubahan radikal dari kebijakan pengentasan kemiskinan kita," kata dia.

Menurut Andri, ini langkah pemerintah sangat berisiko untuk mendorong perilaku yang kontra produktif dengan substansi pengentasan kemiskinan demi mencapai angka 0 persen di 2024. Karena yang terpenting adalah menghasilkan angka 0 persen tersebut, tapi tidak pada kondisi riil kehidupan orang-orang yang dilihat hanya sebagai statistik.

“Tidak bijak apabila penduduk miskin ekstrem kita besok pengeluarannya meningkat melebihi garis kemiskinan Rp10.739 per hari tersebut, namun nyatanya harga berbagai kebutuhan pokok naik lebih tinggi dari naiknya pendapatan mereka, apalagi karena kenaikan beberapa harga komoditas tidak akan serta merta direfleksikan secara representatif pada PPP yang menentukan tingkat garis kemiskinan ekstrem tersebut," jelas dia.

Oleh karena itu, Andri meminta agar pemerintah jangan hanya terpaku untuk mencapai target-target yang terlihat luar biasa di atas kertas. Namun juga pada substansinya di masyarakat.

Ironisnya, kata Andri, pemerintah saat ini justru gencar untuk membuat Indonesia berada di status negara upper-middle income. Padahal, untuk negara middle-income, standar garis kemiskinan yang dipakai adalah 6,5 dolar AS (PPP), yang mana jika menggunakan standar tersebut, 60,64 persen penduduk kita termasuk pada golongan miskin.

ANGKA KEMISKINAN DI JAKARTA NAIK

Deretan permukiman penduduk semi permanen dengan latar belakang gedung bertingkat di kawasan Kuningan, Jakarta, Senin (5/10/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wsj.

Apa Solusinya?

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, kemiskinan di Indonesia sudah menjadi kerak yang sangat sulit diselesaikan. Sebab selama ini pengentasan kemiskinan selalu menemui jalan buntu meskipun secara jumlah semakin berkurang.

“Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah," ujarnya kepada Tirto.

Huda menuturkan dalam upaya pengentasan kemiskinan, pemerintah bisa melakukan pemetaan data tunggal kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Sebab, menurutnya, data berapa orang miskin di Indonesia ini selalu tidak sinkron antara K/L/Pemda terkait.

“Dari data yang berbeda tersebut ada masalah inclusion (orang yang tidak layak jadi menerima bansos) dan exclusion (orang yang layak malah tidak menerima bansos) eror. Akhirnya bansos jadi tidak tepat sasaran," jelasnya.

Selanjutnya bantuan sosial diberikan harus difokuskan kepada dua hal. Pertama, pemberdayaan. Kedua, pemenuhan kebutuhan. Sehingga ada konvergensi program pengurangan kemiskinan.

“Pemberian bantuan yang terbatas dan seakan ‘formalitas’ (saat ini) di mana tidak impact-nya," ujarnya.

Terakhir, pemerintah juga bisa mengenakan pajak kekayaan untuk crazy rich di Indonesia. Pengenaan pajak ini untuk mengembalikan fungsi pajak sebagai pemerataan pendapatan.

Baca juga artikel terkait KEMISKINAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz