tirto.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mencatat sebanyak 67 eks narapidana berbagai jenis kasus, termasuk perkara korupsi yang terdaftar sebagai bakal calon anggota legislatif (bacaleg) DPR dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilu 2024.
Mereka terdiri atas 52 bacaleg DPR RI yang tersebar di hampir semua partai politik peserta Pemilu 2024, kecuali Partai Gelora, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), dan Partai Bulan Bintan (PBB). Sementara 15 orang lainnya merupakan bakal calon DPR RI.
Komisioner KPU RI, Idham Holik mengatakan, 67 mantan narapidana itu sudah memenuhi syarat (MS) menjadi bakal calon anggota DPR dan DPD. Termasuk syarat ikut pemilihan legislatif bagi mantan terpidana sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kami merekapitulasi data tersebut berdasarkan apa yang menjadi materi putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 yang kami turunkan secara teknis dalam PKPU Nomor 10 tahun 2023 khususnya Pasal 11 dan 12,” kata Idham.
Sementara berdasarkan data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) per 26 Agustus 2023, ada 15 eks narapidana kasus korupsi yang bertarung di tingkat pusat, baik sebagai caleg DPR maupun DPD RI.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadana tidak memungkiri bakal ada banyak nama mantan terpidana korupsi sedang mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, baik level kota/kabupaten maupun provinsi. “ICW mendesak KPU RI segera mengumumkan nama bacaleg, baik tingkat DPRD kota/kabupaten/provinsi, DPR RI, dan DPD RI yang berstatus sebagai mantan koruptor,” kata Kurnia.
Kurnia menilai, kebijakan progresif dalam pemberantasan korupsi di masa mendatang sepertinya masih menjadi angan-angan semu. Sebab faktanya, hari ini partai politik sebagai pengusung caleg ternyata masih memberi “karpet merah” kepada mantan terpidana korupsi.
Sulitnya Membendung Eks Napi Korupsi Nyaleg
KPU melalui Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 sempat melarang mantan narapidana korupsi bersama mantan terpidana kasus narkoba, kejahatan seksual terhadap anak untuk ikut dalam kontestasi pemilu. Hal itu diatur dalam Pasal 7 ayat 1 (g).
Namun, aturan tersebut kemudian diuji materiil di Mahkamah Agung (MA). Sayangnya, MA memutuskan peraturan ini dianggap bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017, khususnya Pasal 240 ayat 1 (g) yang memperbolehkan mantan narapidana mencalonkan diri selama yang bersangkutan telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa ia adalah mantan narapidana.
Pasca putusan MA tersebut, KPU mengeluarkan PKPU Nomor 31 Tahun 2018, pada Pasal 45a menyebut caleg koruptor diperbolehkan mencalonkan diri dalam pemilu legislatif asal mengumumkan secara terbuka kepada publik. Detailnya bisa dibaca di artikel ini.
Meski demikian, Idham meyakini partai politik tetap berkomitmen untuk menghadirkan caleg yang berkualitas guna mewujudkan pemerintah yang bersih. “Tentunya caleg-caleg koruptor akan dipertimbangkan, keyakinan kami,” tambah Idham.
Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ariyo Bimmo mengkritik keras partai politik yang tetap mengajukan mantan narapidana kasus tipikor sebagai caleg 2024-2029. Ia menilai keputusan partai tersebut telah menghina akal sehat pemilih.
“Keterlaluan, rakyat dianggap bodoh. Korupsi itu penghianatan urusan publik, kenapa mantan koruptor diberi kesempatan lagi? Apakah sudah tidak ada orang baik lagi yang bisa jadi pilihan?” kata Ariyo mempertanyakan dalam keterangan tertulis, Selasa (29/8/2023).
Ariyo mengklaim, tepat setahun yang lalu, PSI sudah mendesak KPK membuat daftar hitam politikus-politikus yang pernah tersangkut kasus korupsi. PSI juga meminta KPK untuk menampilkannya secara terbuka agar masyarakat tidak memilih partai yang tetap mencalonkannya.
“Ketika sudah ada Daftar Calon Sementara (DCS) seperti sekarang, kami minta Komisi Pemilihan Umum terbuka. Tahun 2019 ada 81 mantan napikor yang ikut pemilu legislatif di semua tingkatan. Dugaan saya, 15 orang ini baru temuan awal, baru tingkat DPR dan DPD RI,” kata Bimmo.
Ia memperkirakan jumlah mantan napi kasus korupsi yang ikut Pemilu 2024 akan mengalami kenaikan. Dugaan ini tidak terlepas dari fenomena pembebasan koruptor pada 2022.
“Kami meminta dengan hormat KPU dan KPK bersinergi memberikan edukasi antikorupsi kepada masyarakat, mengumumkan caleg mantan napikor supaya rakyat tidak memilih calon anggota legislatif yang pernah dihukum karena melakukan tindak pidana korupsi,” kata Bimmo.
Sedangkan Bagai para parpol peserta pemilu, diminta supaya bersama-sama menciptakan iklim yang kondusif untuk demokrasi. “Mari berlomba dalam kebaikan. Jangan ajukan calon legislatif yang sudah mengkhianati rakyat,” kata dia.
Mengapa Parpol Mengusung Caleg Mantan Napi Korupsi?
Pemerhati politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo menilai, keputusan parpol mencalonkan eks narapidana korupsi karena tidak lagi bicara soal value atau ideologi partai. Melainkan soal kursi dan jumlah suara akan didapatkan.
“Ini parpol sudah kayak dagang kacang saja yang penting laku,” kata Kunto kepada Tirto.
Menurut Kunto, kondisi ini menjadi sebuah problem ketika ada partai justru berargumen menyerahkan semua pilihan kepada masyarakat. Padahal partai seharusnya menjadi saringan awal untuk memilah kader mana yang berpotensial untuk dicalonkan.
“Kalau semua diserahkan ke pemilih, ngapain ada parpol?” kata dia mempertanyakan.
Meski begitu, kata Kunto, tidak bisa dipungkiri bahwa eks napi koruptor ini punya pengaruh besar ke partai. Karena secara ekonomi mereka itu tidak dimiskinkan.
“Belum lagi modal keterkenalan karena pernah masuk berita dan orang pernah dengar meski dengarnya jelek,” kata Kunto.
Modal tersebut, lanjut Kunto, dianggap punya korelasi dengan keterpilihan seseorang. Pada akhirnya pilihan egoistis partai yang membuat eks napi korupsi terdaftar dalam daftar calon anggota legislatif 2024.
Dosen politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin mengaku tidak heran dengan banyaknya partai politik yang mengusung mantan narapidana korupsi. Karena berdasarkan persepsi penilaian publik terhadap partai, yakni merupakan lembaga terkorup.
“Itu penilaian masyarakat yang objektif yang dipotret oleh survei. Maka dari situlah muncul persoalan berikutnya karena dari partainya sendiri dianggap korup, maka tidak heran jika partai itu menyuguhkan dan menghadirkan caleg yang korupsi juga atau mantan eks korupsi,” kata Ujang kepada Tirto.
Menurut dia, sudah tidak aneh lagi kalau partai politik menyajikan eks napi korupsi menjadi calon legislatif di partainya masing-masing. Karena sudah tidak ada moralitas atau perubahan tata kelola daripada partai-partai tersebut.
“Ini adalah pola umum parpol yang tidak mau berubah. Tidak mau institusi bersih karena tahu bahwa parpol itu tempatnya para politisi tadi sebagian juga orang terpidana korupsi,” ujarnya.
Padahal, kata Ujang, parpol memiliki figur lain atau orang-orang hebat di dalamnya. Namun, lagi-lagi hal itu tidak diindahkan masing-masing parpol karena mengejar elektabilitas partai dan sokongan dana.
Moralitas & Kaderisasi Palsu
Dari sisi moralitas, nama-nama mantan narapidana korupsi yang masuk dalam calon anggota legislatif di 2024, kata Ujang, jelas jauh dari nilai-nilai keadaban. Namun, di parpol sendiri faktanya persoalan moral dan etika justru dikesampingkan.
“Yang dikedepankan adalah kepentingan pragmatis, mungkin uang atau ingin menang. Jadi banyak orang hebat, tetapi parpol ini tidak mau mendukung calon anggota legislatif, kemudian yang justru dihadirkan adalah eks napi koruptor itu,” kata dia.
Kondisi di atas, lanjut Ujang, tentu menjadi kritik bersama terhadap partai politik yang masih melakukan pola-pola sama. Dalam hal ini para partai politik tidak menunjukkan adanya perubahan, perbaikan, modernisasi, kaderisasi dan tidak ada reformasi di tubuh benderanya masing-masing.
Selama ini, lanjut Ujang, kaderisasi yang dilakukan partai juga hanya sekadar kamuflase dan tidak dijalankan. Menurutnya ini adalah sebuah bagian dari kegagalan kaderisasi yang disengaja.
“Karena bagi parpol sengaja tidak membangun kaderisasi yang bagus yang siap, yang baik untuk bisa mempersiapkan kader unggul. Karena sistem pemilu kita banyak money politik, maka yang dihadirkan adalah orang-orang yang punya uang,” ujarnya.
Sementara itu, Kunto melihat, persoalan kaderisasi sebetulnya sudah dilakukan di masing-masing partai. Misalnya Nasdem dengan Akademi Bela Negaranya, PDIP dengan sekolah partainya, dan Golkar dengan institute-nya.
“Fungsi pendidikan politik, kan, dekat dengan partai dan mau mendidik masyarakat gimana kalau akhirnya pilihan-pilihan mereka lebih praktis dan jangka pendek dan mengabaikan moralitas,” kata Kunto.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz