Menuju konten utama

PDIP Desak Jokowi agar Kudatuli Masuk Pelanggaran HAM Berat

Ribka memprotes Jokowi yang tak mengakui peristiwa Kudatuli masuk dalam daftar 12 pelanggaran HAM berat.

PDIP Desak Jokowi agar Kudatuli Masuk Pelanggaran HAM Berat
Warga bersepeda melintas di depan spanduk bertuliskan 21 Tahun Tanpa Keadilan, Peristiwa 27 Juli 1996 yang terpasang di depan kantor DPP PDI Perjuangan, Jalan Diponegoro, Jakarta, Kamis (27/7). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - PDIP mendesak kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan Kudatuli dijadikan peristiwa pelanggaran HAM berat. Mereka memprotes peristiwa Kudatuli itu tak masuk daftar pelanggaran HAM berat yang dirilis pemerintahan Jokowi.

“Kami panitia sepakat mendesak Jokowi bahwa peristiwa 27 Juli ini untuk menjadi dimasukkan dalam pelanggaran HAM berat,” kata Ketua DPP PDIP, Ribka Tjiptaning, dalam diskusi Kudatuli di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2024).

Ribka memprotes Jokowi yang tak mengakui peristiwa Kudatuli masuk dalam daftar 12 pelanggaran HAM berat. Padahal, kata dia, peristiwa Kudatuli merupakan dasar awal terjadinya reformasi. Menurut dia, bila ada tak ada peristiwa ini, Jokowi tidak mungkin menjabat sebagai presiden dua periode.

"Di balik itu, kasus 27 Juli ini terjadi reformasi, kalau enggak ada reformasi, enggak ada Jokowi, anak tukang kayu bisa jadi presiden, enggak ada kebebasan pers," ucap Ribka.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Hasto Kristiyanto, mengatakan, kantor partainya, yang terletak di Jalan Diponegoro ini menjadi saksi sejarah dan keteguhan seorang Megawati Soekarnoputri dalam menghadapi tekanan pemerintahan Orde Baru.

Peristiwa penyerangan kantor partai oleh aparat pada 27 Juli 1996 itu menjadi titik awal gerakan reformasi untuk menumbangkan keotoriteran Presiden Soeharto.

Hasto meyakini, dengan menggali seluruh pemikiran Megawati ini, akan mendapati intisari perjuangan bersama rakyat.

"Karena itulah di kantor partai ini menjadi saksi sejarah bahwa peringatan 27 Juli mengapa harus diawali dengan diskusi dan kali ini kita adakan satu minggu sebelumnya, karena kita akan menggali seluruh pemikiran-pemikiran yang melandasi mengapa seorang Megawati dengan tekanan-tekanan yang luar biasa dari era Orde Baru, dengan bujuk rayu kekuasaan yang luar biasa, beliau tetap menempuh suatu jalur yang sangat konsisten,” kata Hasto di acara yang sama.

Hasto mengatakan Megawati memiliki landasan sikap tegar ketika kala itu suara-suara rakyat terbungkam. "Bukan sekadar peristiwa penyerangan kantor 27 Juli, tapi latar belakangnya dan mengapa seorang Megawati punya konsistensi dan keberanian yang luar biasa,” ucap Hasto.

Hasto pun menegaskan, sikap keteguhan Megawati bersama rakyat arus bawah menjadi suatu gerak kemerdekaan untuk berani bersuara, termasuk pers untuk berani bersuara dengan kebebasan pers.

Politikus asal Yogyakarta ini mengingatkan bahwa jati diri PDI Perjuangan itu berasal dari perjuangannya. Menurut dia, penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996 pada dasarnya bukan sekadar serangan terhadap bangunan fisik.

"Serangan terhadap peradaban demokrasi, serangan terhadap sistem hukum, serangan terhadap kemanusiaan dan serangan terhadap lambang kedaulatan partai berupa kantor partai,” tegas Hasto.

Hasto juga menyampaikan bahwa dirinya juga telah melaporkan kegiatan diskusi Kudatuli ini langsung kepada Megawati.

Dalam pertemuan itu, Hasto mengatakan, seluruh rangkaian acara diskusi Kudatuli ini, sama dengan peringatan pada 9 tahun yang lalu. Namun, yang membedakannya adalah suasana kebatinan yang berbeda di 9 tahun lalu dan hari ini.

Baca juga artikel terkait KUDATULI atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz