tirto.id - Sudah 23 tahun, kasus kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang lebih dikenal dengan Kudatuli tak jelas penuntasannya. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa kelam dalam sejarah demokrasi Indonesia yang masih menyisakan misteri siapa dalang di baliknya.
Megawati Soekarnoputri dan sejumlah pendukung PDI kubu Mega--sebelum berubah menjadi PDIP-- bisa dikatakan sebagai salah satu korban peristiwa tersebut. Bersama mereka, ada lima orang tewas, 149 luka, 23 hilang, dan 136 ditahan.
Setelah 23 tahun, kasus ini masih jalan di tempat. Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), salah satu kelompok yang fokus mengawal isu dan mendampingi korban Kudatuli, merasa sudah saatnya kasus ini terungkap.
Menurut Petrus Selentinus, Ketua TPID, PDIP seharusnya memiliki kesempatan menuntaskan kasus kudatuli karena mereka saat ini sudah berkuasa. Namun, Petrus ragu itu bisa dilakukan.
"Tidak ada keseriusan sama sekali [dari PDIP]," ujar Petrus kepada reporter Tirto, Sabtu (27/7/2019).
Petrus balik menyebut, keseriusan mengungkap kasus ini justru pernah terjadi di era Presiden Abdurrahman Wahid. Kala itu, kata Petrus, Gus Dur sapaan Abdurrahman Wahid, membentuk tim koneksitas Polri yang dipimpin Makbul Padmanegara.
"Tapi pengungkapan kasus ini hanya berhasil mengungkap sebagian tersangka dari TNI-Polri dan sebagian dari sipil," ucap Petrus.
Salah seorang yang disebut menjadi tersangka dalam kasus ini adalah Sutiyoso, bekas Pangdam Jaya yang kemudian dirangkul PDIP menjadi Gubernur DKI Jakarta. Bahkan di era Presiden Jokowi--yang juga disebut Megawati sebagai petugas partai PDIP--, Sutiyoso pernah diangkat menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Namun, nama Sutiyoso tak muncul di Pengadilan Koneksitas yang digelar saat Megawati menjabat sebagai Presiden. Pengadilan itu hanya mampu menghukum seorang buruh bernama Jonathan Marpaung selama dua bulan 10 hari penjara, karena dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI.
Pun demikian dengan dua perwira militer bernama Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya). Keduanya malah dinyatakan bebas.
Bagi Petrus, ini jelas bikin tanda tanya. "Kenapa PDIP enggan atau setengah hati menuntaskan kasus ini? padahal Megawati juga pernah jadi presiden," kata Petrus.
Bikin Kesal Korban
Petrus pun berkata, keluarha korban punya harapan kepada Megawati untuk menuntaskan kasus ini. Namun, boro-boro tuntas, berkas penyidikan untuk kasus Sutiyoso dan petinggi-petimggi militer lainnya hanya mentok di Kejaksaan, tak sampai pengadilan.
"Ini jadi beban psikologis yang besar, terhadap masyarakat indonesia. Ini utang yang akan terus ditagih oleh masyarakat, terutama korban 27 Juli," tegas Petrus.
Apa yang dikeluhkan Petrus, juga dikeluhkan Gofur, salah seorang korban Kudatuli yang pernah menjadi simpatisan Megawati. Lelaki 60 tahun ini kini kerap ikut aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, untuk menyuarakan penuntasan kasus Kudatuli.
Gofur sudah kecewa kepada Megawati, sosok yang sempat didukungnya sejak kongres PDI di Surabaya pada 1993. Kini, ia memilih menjadi bagian dari peserta Kamisan, buat menuntut kasus itu diungkap.
“Dulu saya aktif di PDI, komitmen saya untuk PDI, tapi dulu, tapi sekarang saya gak percaya,” kata Gofur, Kamis (25/7/2019) kemarin.
Ia pun hanya berharap, Megawati dan Jokowi yang merupakan kader PDIP untuk menuntaskan kasus ini dengan membuat tim gabungan dan pengadilan HAM. “Mega harus tegas, Jokowi harus tegas, kalau memang ingin masalah ini selesai,” kata Gofur.
Dalih PDIP dan Komnas HAM
Masinton Pasaribu, politikus PDIP, berdalih partainya enggan mengintervensi kasus ini. Masinton yang juga aktivis 1998 menyebut, PDIP tak mau menjadikan kasus ini sebagai ajang balas dendam atas perbuatan tercela yang diduga dilakukan rezim Orde Baru.
“Biarlah itu tanggung jawab negara,” ucap Masinton, Sabtu siang.
Masinton tak menjelaskan apa atau siapa yang dimaksud negara. Anggota Komisi III ini malah menimpali PDIP tak mau mendesak Jokowi untuk menuntaskan kasus ini.
“Nanti dikira kami mau membangun dendam sejarah, karena peristiwa ini tak berdiri sendiri tapi terkait penguasa masa lalu,” ungkapnya.
Sementara itu, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tak mau banyak berkomentar. Ia justru meminta Komnas HAM untuk aktif mencari bukti-bukti kasus ini, lantaran ia pernah mendatangi komnas untuk menagih penuntasan kasus.
“Seharusnya mereka bisa bergerak aktif dan mencari bukti2 karena mereka punya ruang untuk itu. Kami jadi korban, harusnya bergerak aktif,” kata Hasto, Jumat (26/7/2019) malam.
Secara terpisah, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara berkata mereka sudah pernah menerima laporan dari petinggi PDIP agar menuntaskan pengusutan kasus ini. Salah satunya dari Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang datang ke Komnas HAM tahun lalu.
Komnas HAM, kata Beka, sudah menemui penasihat hukum dan perwakilan korban untuk meminta tambahan berkas administrasi dan bukti-bukti penguat.
“Kami belum bisa bergerak lebih jauh kalau berkas atau bukti yang ada belum lengkap,” ucap Beka kepada reporter Tirto, Sabtu siang.
Editor: Mufti Sholih