tirto.id - Wakil Sekretaris Jenderal Demokrat Rachland Nashidik menanggapi pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang meminta Ketua Umum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono mengungkap informasi peristiwa 27 Juli 1996 atau sering disebut Kudatuli.
Menurut Rachland, pernyataan Hasto berikut laporannya ke Komnas HAM sebatas upaya politik yang kesiangan. "Memanfaatkan kasus 27 Juli adalah ritual politik PDIP sejak Pak SBY mengalahkan Ibu Megawati dalam Pemilu 2004," kata Rachland melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Jumat (27/7/2018).
Dalam hal ini, Rachland balik menyebut PDIP tak pernah serius mengungkap peristiwa Kudatuli. Menurutnya, jika partai banteng tersebut benar-benar serius, maka pengungkapan Kudatuli bisa rampung saat Megawati Soekarnoputri menjabat presiden pada 2001.
"Ia [Megawati] bisa menggunakan pengaruhnya untuk membuka jalan bagi investigasi, seperti kuat didesak masyarakat. Sayang, Mega memilih diam. Bahkan mengangkat Pak Sutiyoso, Pangdam Jaya saat kejadian, menjadi Gubernur DKI," kata Rachland.
Tak cuma itu, menurut Rachland, Megawati justru cenderung menghalangi pengungkapan peristiwa Kudatuli yang dilakukan Tim Koneksitas Polri pada 2004 dengan alasan pemilu sudah dekat.
"Tak ada nama SBY dalam daftar orang yang disangka oleh Tim koneksitas Polri," kata Rachland.
Lebih lanjut, Rachland menyebut Fraksi PDIP justru menolak pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sudah dimulai saat BJ Habibie masih menjabat presiden.
"Sebagai Ketua Umum PDIP, Mega tidak memerintahkan fraksinya menyetujui inisiatif itu. Padahal bila Komisi terbentuk, Megawati mendapat alat yang kuat untuk mengungkap 27 Juli," kata Rachland.
Maka, menurut Rachland, hal-hal di atas menunjukkan kecenderungan Megawati berkompromi ketimbang membela korban Kudatuli. "Jadi nilai sendiri saja apa maksud laporan Hasto ke Komnas HAM itu sekarang, 22 tahun sejak para korban 27 Juli ditinggalkan Megawati," kata Rachland.
Peristiwa Kudatuli merupakan kerusuhan yang terjadi saat pengambilan paksa kantor DPP PDIP, di Diponegoro 58, Jakarta Pusat, dari kubu Megawati oleh kubu Suryadi. Akibatnya kerusuhan meluas ke beberapa titik Jakarta lainnya.
Kemarin, Rabu (26/7/2018), Hasto Kristiyanto melaporkan kembali peristiwa ini ke Komnas HAM. Ia meminta lembaga HAM tersebut mengungkap fakta di baliknya, berikut pengusutan terhadap kasus pelanggadan HAM di masa lalu lainnya.
Hasto juga meminta kepada SBY untuk mau berbicara soal peristiwa Kudatuli. Karena, menurutnya, presiden ke-6 Indonesia tersebut mengetahui informasi di baliknya.
"Trauma peristiwa itu begitu kuat, bahkan kami sebelum menempati gedung baru pun sebagai insan yang bertakwa kami mendoakan para arwah karena kami tau korbannya begitu banyak tapi ditutupi oleh rezim yang bersaksi. Dan yang menjadi saksi saat itu adalah bapak susilo bambang Yudhoyono," kata Hasto, di kantor Komnas HAM.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yuliana Ratnasari