Menuju konten utama

Fenomena Politik Saat Ini Dinilai Mirip Peristiwa Kudatuli

Wilson menyamakan peristiwa Kudatuli dengan fenomena politik saat ini dengan merujuk putusan MK soal batas usia calon.

Fenomena Politik Saat Ini Dinilai Mirip Peristiwa Kudatuli
Kerusuhan 27 Juli 1996. FOTO/Arsip Nasional

tirto.id - Aktivis gerakan reformasi dari Partai Rakyat Demokratik (PRD), Wilson Obrigados, menilai situasi politik di Indonesia hari ini mirip saat peristiwa Kudatuli atau kerusuhan 27 Juli 1996.

Kudatuli merupakan peristiwa kelam penyerangan kantor PDIP di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Insiden berdarah ini menyebabkan lima orang tewas, 149 luka, 23 hilang, dan 136 ditahan. Hingga sekarang, pelaku Peristiwa Kudatuli masih menjadi misteri dan kasusnya belum terselesaikan.

Wilson menyamakan peristiwa Kudatuli dengan fenomena politik di era Presiden Jokowi merujuk pada putusan MK yang mengubah aturan batas usia calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024. Lalu, dilanjutkan dengan polemik putusan MA perihal syarat usia calon gubernur dan calon wakil gubernur pada Pilkada 2024.

“Jadi Jokowi yang lahir dari PDIP, karier politiknya dibesar oleh PDIP, di masa-masa akhir jabatannya justru dia berkhianat terhadap PDIP. Saya bilang ini seperti 27 Juli, ini persoalannya bukan hanya antara PDIP dengan Jokowi dan presiden pendukung yang dia dukung. Ini persoalan satu kekuasaan yang sudah mulai keluar dari rule of law," kata Wilson dalam Diskusi Kudatuli dengan tema: 'Perspektif Politik Kudatuli: Perlawanan Terhadap Rezim Otoriter, di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2024).

Wilson menuding Jokowi sudah mengabaikan rule of law, tapi sudah menerapkan negara kekuasaan. "Dia ini (Jokowi) seperti Malin Kundang politik. Betul-betul sangat durhaka kepada ibu kandung politiknya sendiri. Dan kita tahu dalam dongeng Malin Kundang, dia berakhir menjadi batu,” kata Wilson.

Wilson berharap PDIP bisa menjaga konstitusi ke depannya. Agar tak ada lagi yang melanggar konstitusi Indonesia ini.

“Jadi, menurut saya, PDIP sangat bagus sekali kalau tidak berada dalam lingkaran kekuasaan yang melanggar konstitusi. Karena saya tahu, PDIP ini pengawalan terhadap konstitusi nomor satu dan paling konsisten," tutur Wilson.

Wilson membayangkan oposisi diperlukan di parlemen, untuk mengawal negara agar tetap berada di rel yang benar. " Dan saya pikir hanya PDIP yang bisa melakukan itu," kata Wilson.

Ia mengatakan Kudatuli adalah peristiwa puncak bagaimana pemerintahan Orde Baru Soeharto merasa resah dan mencoba menggulingkan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri dalam memimpin PDIP.

Alumnus sejarah Universitas Indonesia ini menceritakan bagaimana pemerintah Orde Baru Soeharto sangat takut kehadiran Megawati. Menurut dia, karena Megawati mengembalikan muruah Soekarnoisme ke dalam tubuh politik di Indonesia.

"Kita tahu orde baru melakukan de-Soekarnoisasi, bahkan membunuh secara ideologi dan politik Soekarnoisme itu," kata Wilson.

Wilson menyebut, Kudatuli penting bagi pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, di sinilah bagaimana kehadiran massa mengambang yang muncul dari arus bawah terus melakukan gerakan dan aksi massa untuk menuntut keadilan. Bukan hanya untuk kader PDI saat itu yang menolak hasil kongres PDI kubu Soerjadi, tapi bagi para aktivis pro demokrasi.

“Massa PDI yang disebut arus bawah, juga berjuang tidak hanya menuntut keadilan untuk partainya. Kalau kita lihat ya, di beberapa daerah mereka menuntut perjuangan demokrasi yang lebih luas. Cabut dwifungsi ABRI, minta kesejahteraan upah untuk buruh, hal-hal yang tadinya di luar frame mungkin satu perkembangan dialektis yang luar biasa dari arus bawah PDI saat itu," tukas Wilson.

Baca juga artikel terkait KUDATULI atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz