tirto.id - Penguasa yang ikut campur urusan internal partai politik (parpol) adalah maut. Setidaknya itu pelajaran penting dari peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 atau dikenal sebagai Kudatuli.
Rezim Orde Baru Soeharto mengipasi bara konflik internal di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sehingga memunculkan kekerasan politik. Dualisme kepemimpinan PDI antara kubu Megawati Soekarnoputri dan Soerjadi, dijadikan legitimasi penguasa untuk menggembosi—bahkan membunuh dalam arti sesungguhnya—suara oposisi.
Dua puluh delapan tahun peristiwa Kudatuli berlalu, pengusutan keadilan dan penyingkapan tabir di balik tragedi Sabtu kelabu itu benar-benar mati suri.
Komnas HAM dan pemerintah saat ini belum mengakui peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat. Aktor intelektual peristiwa berdarah ini juga diduga kuat belum tersentuh meja hijau.
Hasil investigasi Komnas HAM terhadap peristiwa Kudatuli: 5 orang meninggal, 149 orang mengalami luka-luka, dan 23 orang dinyatakan hilang. Komnas HAM menilai dalam Kudatuli telah terjadi enam wujud pelanggaran HAM oleh berbagai pihak.
Keenam pelanggaran itu meliputi: asas kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut, pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi, pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia, serta pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai Kudatuli merupakan tragedi pelanggaran HAM. Isnur bahkan yakin peristiwa itu seharusnya sudah memenuhi kategori sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Di mana tragedi ditutupi, dilupakan, dan pelakunya tidak mendapatkan hukuman setimpal. Ini sebetulnya kalau kita lihat unsur-unsurnya sangat memenuhi pelanggaran HAM berat,” ujar Isnur kepada Tirto, Jumat (26/7/2024).
Kudatuli sempat direkomendasikan masuk dalam beberapa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang diselesaikan secara non-Yudisial oleh pemerintahan Jokowi.
Namun, Kudatuli tidak termasuk dalam 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui pemerintah saat ini. Penggolongan ringan atau beratnya pelanggaran HAM tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Isnur menyayangkan negara seakan melupakan Kudatuli dengan melakukan pengabaian. Padahal, ia mengendus gelagat atmosfer demokrasi Indonesia hari ini yang mulai mirip dengan lini masa terjadinya peristiwa Kudatuli. Menurutnya, saat ini pemerintahan semakin menuju otoritarianisme dan aparat penegak hukum mulai dijanjikan kewenangan besar lagi.
“Jadi negara melakukan pengaburan sejarah. Kita nggak pernah belajar bagaimana aparat tentara bisa melakukan penyerbuan kepada sebuah partai dan ini bisa saja terulang di masa depan,” ujarnya.
Amat disayangkan, menurut Isnur, Ketua Umum PDIP Megawati sendiri malah memberikan sikap yang bertentangan dengan harapan keluarga korban Kudatuli ketika PDIP berkuasa. Begitupun era Presiden Jokowi yang notabenenya punya rekam jejak sebagai kader PDIP, namun tak juga serius mengungkap peristiwa berdarah saat rezim Orde Baru ini.
“Saat Megawati berkuasa, malah memberikan rekomendasi [sebagai gubernur DKI] kepada Sutiyoso. Dan saat PDIP berkuasa lewat kepemimpinan Jokowi, tapi presiden tidak juga mengungkapkan dan menyeret pelaku peristiwa ini,” jelas Isnur.
Kasus Kudatuli disinyalir sebagai upaya rezim Soeharto menggembosi popularitas Megawati di arena politik jelang Pemilu 1997. Pada tahun 1996, dualisme kepemimpinan PDI antara Megawati dan Soerjadi kembali memanas setelah secara aklamasi putri Presiden Sukarno itu sah menjadi pucuk pimpinan PDI pada 1993.
Soerjadi serta pendukungnya melakukan kongres di Medan pada 1996 yang didukung oleh Pemerintah Orde Baru. DPP PDI pimpinan Megawati tidak mengakui acara ini karena telah menyalahi AD/ART partai. Sebab Anggaran Dasar PDI pasal 29 ayat 1 menyatakan bahwa kongres diadakan lima tahun sekali dan seharusnya dilakukan setelah Pemilu 1997.
Namun rencana kongres di Medan pada 20–24 Juni 1996 tetap dilakukan. Peter Kasenda dalam buku Peristiwa 27 Juli 1996, Titik Balik Perlawanan Rakyat(2018), menyatakan bahwa Pemerintah Orde Baru menggandeng sosok Soerjadi yang tergusur posisinya pada 1993. Ini merupakan upaya untuk menggulingkan Megawati dari pucuk pimpinan PDI karena dikhawatirkan akan menggerus suara Golkar pada pemilu 1997.
Soerjadi terpilih sebagai pimpinan PDI dalam kongres di Medan 1996, namun DPP PDI yang dipimpin Megawati tak mau melegitimasi keputusan ini. Namun, pemerintah malah menilai yang sah sebagai pimpinan PDI adalah Soerjadi lewat kongres Medan 1996.
Hal tersebut direspons pendukung Megawati dari berbagai daerah dengan melayangkan protes. DPP PDI juga melakukan mimbar bebas yang dilakukan Megawati dan kader-kader pengikutnya di kantor PDI.
Aksi yang berlangsung berminggu-minggu ini kemudian jadi momen aktivis, mahasiswa, dan masyarakat pro-demokrasi untuk ikut bersuara karena Soeharto dinilai ikut campur urusan internal PDI.
Panglima ABRI saat itu, Jenderal Feisal Tanjung, menuduh bahwa aksi-aksi mimbar bebas tersebut mengarah ke tanda-tanda makar. Pada 25 Juli 1996, Soeharto secara resmi mengakui DPP PDI yang sah adalah pimpinan Soerjadi dan tak mengakui Megawati sebagai Ketua Umum PDI.
Pengakuan ini membuat Soerjadi dan pendukungnya seolah mendapat legitimasi untuk merebut Kantor DPP PDI yang diduduki pendukung setia Megawati.
Sabtu, 27 Juli 1996, peristiwa nahas pun terjadi saat massa pendukung Soerjadi menyerang kantor DPP PDI yang berisi orang-orang Megawati. ABRI dan kepolisian diduga kuat justru melindungi dan membiarkan massa Soerjadi bertindak anarkis dan melakukan kekerasan.
Massa pendukung Megawati beserta aktivis, mahasiswa, hingga masyarakat sipil pun sulit masuk mendekat ke kantor DPP PDI karena diblokade aparat.
Sore hari, kantor DPP PDI sudah berhasil dikuasai aparat. Namun kerusuhan meluas hingga kawasan Megaria, Cikini, dan Diponegoro. Orang-orang yang tewas dan hilang dalam peristiwa ini belum mendapat keadilan yang utuh hingga saat ini.
Usut Tuntas Kudatuli
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan peristiwa Kudatuli masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab hingga sekarang.
Siapa dalang di balik penyerangan ini? Siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi ini? Mengapa peristiwa ini belum diusut tuntas? Pertanyaan seputar peristiwa berdarah itu belum terjawab meski sudah 28 tahun berlalu.
Padahal sejak era Reformasi, kata Usman, Indonesia sudah memiliki sistem hukum yang mampu menyelesaikan pelanggaran HAM seperti Kudatuli 27 Juli 1996. Tapi yang dilakukan baru sebatas mengusut kasus ini melalui mekanisme hukum pidana biasa, bukan peradilan hak asasi manusia.
“Negara padahal sudah punya Undang-undang HAM dan UU Pengadilan HAM. Tapi jalan yang ditempuh malah peradilan koneksitas, dan aparat yang diperiksa hanyalah pelaksana lapangan, bukan pejabat-pejabat berwenang yang terlibat dalam rantai komando,” ujar Usman kepada Tirto, Jumat.
Berdasarkan penyidikan, Sutiyoso, bekas Pangdam Jaya, dan Soerjadi ditetapkan sebagai tersangka kasus Kudatuli. Ketika Pengadilan Koneksitas yang digelar saat Megawati menjabat presiden, nama Sutiyoso tidak muncul. Pengadilan kemudian hanya menghukum seorang buruh bernama Jonathan Marpaung selama dua bulan 10 hari penjara.
Amnesty International pernah menerbitkan laporan peristiwa Kudatuli selang tiga hari tragedi itu terjadi. Dalam laporan awal tersebut, Amnesty International mengumpulkan data bahwa antara 206 hingga 241 orang ditangkap aparat keamanan setelah penyerbuan 27 Juli. Lalu sedikitnya 90 orang luka-luka dan antara lima dan tujuh orang dilaporkan meninggal.
Setahun kemudian, pada Oktober 1997, Amnesty International kembali menerbitkan laporan terkait Kudatuli. Kali ini menyoroti penangkapan para aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) maupun organisasi-organisasi afiliasinya: seperti Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Serikat Tani Nasional (STN) yang dikambinghitamkan Pemerintah Orde Baru.
“Mereka ditangkap dengan tuduhan terlibat dalam Peristiwa 27 Juli dan gerakan mereka juga dianggap menyerupai Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terlarang,” jelas Usman.
Kembali ke hari ini, kata Usman, agar tidak terulang kembali peristiwa serupa Kudatuli, maka seharusnya kasus-kasus pelanggaran HAM diusut tuntas dan pelakunya diadili sesuai hukum. Ini memberikan efek jera sekaligus menunjukkan negara serius dalam menegakkan keadilan.
“Selain itu, institusi-institusi negara harus selalu direformasi untuk memastikan bahwa mereka bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Ini termasuk reformasi di bidang kepolisian, militer, dan peradilan,” ucap Usman.
Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menyayangkan lambannya gerak pemerintah dan Komnas HAM menyelesaikan kasus Kudatuli. Menurutnya, Kudatuli merupakan contoh kekerasan politik terhadap gerakan oposisi yang tak direstui penguasa.
“Tidak ada alasan pembenar apapun terhadap peristiwa kekerasan politik tersebut, untuk itu pemerintah harus segera menuntaskan kasus tersebut untuk menjadi pelajaran ke depan,” kata Ardi kepada Tirto, Jumat.
Bertolak ke hari ini, masyarakat harus mewaspadai kembalinya rezim otoritarian ke tampuk kekuasaan di Indonesia. Saat ini, menurut Ardi, indikasi kembalinya otoritarianisme sudah terasa dengan semakin sempitnya ruang kebebasan sipil dan sikap anti-kritik yang ditunjukkan oleh pemangku kekuasaan.
Kekuasaan saat ini kerap menggunakan hukum sebagai alat mengamankan kekuasaan dan sebagian besar masyarakat tidak mampu melawan karena akan dihadapkan dengan aparat penegak hukum.
Untuk itu, masyarakat harus betul-betul sadar untuk tidak memberikan ruang dukungan sedikitpun pada penguasa yang menggunakan cara-cara otoritarian semacam ini.
“Sangat penting untuk mencegah terulangnya kekerasan politik di masa yang akan datang,” ujar Ardi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi