Menuju konten utama

Sejarah Kudeta Politik PDI di Rezim Soeharto: Megawati vs Soerjadi

PDI pernah mengalami dualisme kepemimpinan antara kubu Megawati dan Soerjadi, berikut sejarahnya.

Sejarah Kudeta Politik PDI di Rezim Soeharto: Megawati vs Soerjadi
Kerusuhan 27 Juli 1996. FOTO/Arsip Nasional

tirto.id - Dugaan rencana "kudeta" Partai Demokrat yang disampaikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menuai pro dan kontra. Dalam sejarah politik di tanah air, aksi "kudeta" juga pernah menimpa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dari Megawati Soekarnoputri ke Soerjadi pada rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya dalam pernyataannya menyinggung apa yang diduga akan dialami partainya pernah menimpa PDI di masa silam. "Ada contoh dalam sejarah di negeri kita ini," sebutnya, Jumat (5/2/2021) lalu.

"Pada 22 Juni 1996 dilaksanakan KLB [Kongres Luar Biasa] PDI di Medan yang berhasil menurunkan dan mengganti Megawati sebagai pimpinan PDI," tambah Teuku Riefky Harsya.

"KLB tersebut tersebut juga bukan hanya masalah internal PDI atau konflik antara kubu Megawati dan kubu Soerjadi, tetapi ada campur tangan dan pelibatan eksternal dalam hal ini elemen pemerintah," imbuhnya.

"Kudeta" politik tersebut membuat Megawati tersingkir dari PDI dan akhirnya membentuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Tak hanya itu, polemik tersebut berujung pada kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).

Latar Belakang Polemik PDI

Di era Orde Baru, pemerintah melakukan perampingan partai politik dan hanya ada tiga partai besar yang diakui, yakni Golkar, PPP dan PDI.

PDI baru berdiri pada 1973 yang merupakan gabungan lima partai (PNI, Partai IPKI, Parkindo, Murba, dan Partai Katolik). Namun, partai ini selalu mendapatkan suara kecil ketika Pemilu.

Pada Pemilu 1977 misalnya, PDI hanya memperoleh 8,05 persen (29 kursi). Sementara pada Pemilu 1982, partai ini cuma dapat 6,66 persen atau 24 kursi.

Saat hendak mengikuti Pemilu ketiga kalinya, Soerjadi yang kala itu menjadi ketua DPP PDI mencari cara untuk menaikkan pamor partai dan mencari dukungan masyarakat.

Sebagaimana tertuang dalam buku Megawati Soekarnoputri: Dari Ibu Rumah Tangga ke Panggung Politik, Sumarno menerangkan, Soerjadi berhasil menarik trah Sukarno dengan bergabungnya Megawati dan Guruh Sukarno ke dalam PDI, tujuannya untuk mendongkrak suara partai.

Ketika Pemilu 1987, PDI berhasil menaikkan elektabilitas dengan memperoleh 10 persen suara atau setara 40 kursi. Lalu, di masa Pemilu 1992, PDI mendapatkan 14 persen dukungan yang setara 56 kursi.

Sebenarnya, kehadiran Megawati ini sukses menaikkan pamor politik partai PDI. Akan tetapi, Soerjadi berpikir bahwa pencapaian ini menimbulkan keresahan dan tidak disukai oleh pemerintahan Soeharto.

Pada 21 Juli 1993, Kongres IV PDI dilaksanakan di Medan. Pada pertemuan ini, Soerjadi dipilih menjadi Ketua Umum PDI. Namun, jabatan ini tidak disetujui oleh beberapa pihak.

Dalam artikel yang diterbitkan USU, salah satu orang yang menentang adalah Jacob Nuwa Wea. Ketika penyusunan struktur partai baru diadakan, Jacob menerobos bersama pasukan yang dibawanya ke kongres.

Pada Agustus 1993, Menkopolhukam Soesilo Sudarman mengatakan Kongres Medan tidak sah dan memutuskan menggelar kongres luar biasa (KLB) PDI di Surabaya (selanjutnya KLB Surabaya).

Dalam masa-masa itu, Megawati diusulkan menjadi kandidat Ketua Umum PDI 1993. Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI dan lebih dari 100 orang lainnya mendukung wanita tersebut. Bahkan, mereka mendatangi Megawati di tempat tinggalnya.

Melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang diselenggarakan di Surabaya pada 2 hingga 6 Desember 1993, nama Megawati diajukan. Akhirnya, Megawati secara de facto ditunjuk menjadi Ketum PDI periode 1993-1998.

Selanjutnya, Megawati ditunjuk secara aklamasi menjadi Ketum PDI pada 22-23 Desember melalui Musyawarah Nasional (Munas) di Kemang, Jakarta Selatan.

Peristiwa 27 Juli 1996

Dalam Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia (2005), Edward Aspinall mengungkapkan, pada 1996, PDI yang dipimpin Megawati mengalami kegusaran.

Penyebabnya, terdapat laporan bahwa Departemen Dalam Negeri dan ABRI meminta PDI untuk menandatangani Kongres Luar Biasa (KLB) yang akan dilakukan pada 1996.

Pada KLB Medan yang diselenggarakan pada 20-23 Juni 1996, Soerjadi terpilih menjadi Ketum PDI. Namun, acara itu tidak dihadiri oleh Megawati selaku Ketum PDI versi Munas Jakarta. Dari sana, terjadilah dualisme kepemimpinan di tubuh Partai Demokrasi Indonesia.

Dalam Indonesian Politic Crisis: The Long Fall of Suharto, 1996-1998 (1999:24), Eklof menerangkan, pelaksanaan KLB dan upaya mengganti Megawati sebagai Ketum PDI tidak lain adalah siasat dari pemerintah.

Hari Sabtu, 27 Juli 1996, terjadi kerusuhan antara pihak pendukung Megawati (hasil Munas) dan Soerjadi (hasil Kongres Medan). Pada pukul 08.00 WIB, Andoes Simbolon, wartawan Harian Terbit, mendapatkan kabar dari Ketua DPC PDI Jakarta Selatan, Audy I.Z. Tambunan, kantor DPP PDI diserbu massa Soerjadi.

Wartawan tersebut pergi ke lokasi kerusuhan. Di sana, ia menjelaskan bahwa kedua kubu saling melemparkan benda dan batu demi mempertahankan Ketua mereka masing-masing.

Mengutip laporan Kompas tanggal 29 Juli 1996, kejadian yang dikenal sebagai Kudatuli ini berlangsung selama 1,5 jam di Jalan Diponegoro.

Komnas HAM melakukan identifikasi terhadap peristiwa tersebut. Berdasarkan catatannya, ada 5 orang tewas, 149 luka, serta 23 orang yang hilang.

Selain itu, komisi yang mengurus perihal hak asasi manusia tersebut juga mengungkapkan pelanggaran-pelanggarannya. Akan tetapi, hingga sekarang kasus ini masih belum menemui kejelasannya.

Baca juga artikel terkait KUDETA DEMOKRAT atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Politik
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Alexander Haryanto