tirto.id - Sejarah peradaban Nusantara tidak dapat dilepaskan dari riwayat Kerajaan Majapahit. Kemaharajaan Majapahit adalah kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang meninggalkan cukup banyak situs candi atau bangunan suci untuk kepentingan agama.
Menurut Kitab Negarakertagama seperti yang diterjemahkan oleh Theodore Gauthier Pigeaud dalam “Java in the 14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit 1365 AD” (1962), kekuasaan Majapahit terbentang dari Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia bagian timur.
Berdiri pada 1293, Kerajaan Majapahit merengkuh masa kejayaan pada era pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389) dengan didampingi Mahapatih Gajah Mada. Sepeninggal dua pemimpin ini, Majapahit mulai mengalami kemunduran dan akhirnya musnah pada 1478 akibat serangan dari Kesultanan Demak.
Agama di Kerajaan Majapahit
M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1991) menyebutkan bahwa Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.
Mayoritas penduduk Kerajaan Majapahit yang memiliki wilayah amat luas di Nusantara memeluk agama Hindu, Buddha, atau ajaran Siwa-Buddha, meskipun ada pula yang masih menganut kepercayaan leluhur yakni Kejawen atau Animisme.
Ajaran Siwa-Buddha merupakan sinkretisme atau percampuran dari agama Hindu dan Buddha di Nusantara. Di era Majapahit, ajaran yang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno ini berpadu menjadi satu.
Hasil penelitian Hariani Santiko berjudul “Agama dan Pendidikan Agama pada Masa Majapahit” yang terhimpun dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi AMERTA (Vol. 30, No. 2, Desember 2012), mengungkapkan, Majapahit banyak meninggalkan bangunan suci lainnya yang merupakan sisa sarana ritual keagamaan.
Di samping candi, terdapat pula pemandian suci (patirthan) dan gua-gua pertapaan, serta beberapa pintu gerbang. Candi-candi pada masa Majapahit kebanyakan bersifat agama Śiwa (Hindu) dan ada pula beberapa candi yang bercorak Buddha.
Sifat keagamaan bangunan-bangunan suci ini dapat ketahui dari ciri-ciri arsitektural, jenis arca yang ditinggalkan, serta dukungan bukti data tekstual, misalnya Kakawin Nagarakertagama, Kakawin Sutasoma, Kakawin Arjunawiwaha, Pararaton, dan beberapa keterangan yang didapat dari prasasti.
Toleransi Agama di Majapahit
H.B. Hery Santosa dalam riset bertajuk “Fungsi Agama dalam Pemerintahan pada Masa Kejayaan Majapahit” menuliskan bahwa kehidupan sosial budaya masyarakat Majapahit juga diwarnai oleh hal-hal yang bersifat keagamaan.
Agama memiliki fungsi dan peran sebagai pengendali jarak sosial, pemberi fenomena integrasi dan menumbuhkan rasa toleransi antar warga. Kerajaan memberi pengakuan dan kesempatan yang sama terhadap tokoh-tokoh agama untuk duduk dalam pemerintahan.
Adanya satu bangunan suci (candi) yang memiliki dua atau lebih sifat keagamaan, merupakan bukti dari integrasi sosial dan toleransi dalam bidang agama. Bukan hanya bagi pemeluk Hindu atau Buddha, melainkan juga umat muslim karena penganut agama Islam sudah ada di zaman Majapahit.
Penduduk Majapahit sejak era Hayam Wuruk diduga sudah ada yang memeluk Islam. Hal tersebut diperkuat dengan ditemukannya pemakaman muslim di Desa Tralaya, Trowulan, yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit.
Nisan di pemakaman Islam tersebut ada yang menunjukkan angka tahun 1203 Saka atau 1281 Masehi. Selain itu, tulis Dukut Imam Widodo dalam Sidoardjo Tempo Doeloe (2013), terdapat nisan yang tergurat angka 1533 Saka atau 1611 Masehi.
Nantinya, seiring semakin menguatnya pengaruh Islam dan kemunculan Kesultanan Demak, kejayaan Majapahit dan pamor Hindu-Buddha pun kian meluruh. Hingga akhirnya, Kemaharajaan Majapahit mengalami keruntuhan abad ke-16 Masehi.
Candi-Candi Peninggalan Majapahit
Cukup banyak candi peninggalan dari masa Kerajaan Majapahit, baik candi yang bercorak Hindu maupun Buddha, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
- Candi Tikus
- Candi Sukuh
- Candi Bajang Ratu
- Candi Wringin Lawang
- Candi Jabung
- Candi Brahu
- Candi Pari
- Candi Surawana
- Candi Wringin Branjang
- Candi Minak Jinggo
- Candi Rimbi
- Candi Kedaton
- Desa Ngetos
Editor: Agung DH