tirto.id - Sejarah peristiwa Kapal Tujuh Provinsi terjadi tanggal 5 Februari 1933 dini hari di pantai lepas Sumatera ketika Indonesia masih diduduki oleh pemerintah kolonial Hinda Belanda. Terjadi "pemberontakan" atau perlawanan dari awak kapal perang "De Zeven Provincien” milik pemerintah kolonial.
Aksi perlawanan di atas bahtera dalam pelayaran menuju Surabaya dengan upaya pengambil-alihan kemudi itu terjadi karena diturunkannya upah para awak kapal sebesar 17 persen. Terdapat latar belakang mengapa peristiwa tersebut terjadi hingga menjadi sorotan dalam sejarah Indonesia.
"De Zeven Provincien" digambarkan sebagai kapal perang terbesar milik Pemerintah Hindia Belanda. Bahtera ini difungsikan sebagai tempat karantina sejumlah marinir, baik dari bangsa Eropa, Belanda, juga bumiputera atau pribumi alias orang Indonesia.
Dalam Rondom de Muiterij op De Zeven Provincien (1934), J.C. Mollema menerangkan bahwa kapal tempur tersebut juga digunakan sebagai tempat pelatihan para marinir pribumi yang telah selesai studinya di Pendidikan Dasar Pelaut Bumiputera (Kweekschool voor Inlandse Schepelingen), Makassar.
Menurut J.C.H Blom dan Touwen Bouwsma dalam De Zeven Provincien: Ketika Kelasi Indonesia Berontak 1933 (2015), di kapal tersebut terdapat beberapa orang Indonesia, yakni Paradja, Rumambi, Gosal, dan Kawilarang. Mereka bisa disebut sebagai para tokoh utama yang memprakarsai terjadinya peristiwa Kapal Tujuh Provinsi.
Latar Belakang De Zeven Provincien
Kehidupan ekonomi dunia mulai menyusut pada 1930-an. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang mengalami defisit, atas usulan Gubernur Jenderal de Jonge mengeluarkan informasi pengurangan gaji marinir.
Baru saja memasuki 1932, mereka yang bekerja di kapal diturunkan upahnya sebesar 10 persen. Gaji yang tidak seimbang antara pegawai Belanda dan pribumi tetap dikenakan pengurangan yang sama persenannya.
Masih di tahun yang sama, pemotongan gaji kembali dilakukan sebesar 7 persen. Dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan (1984) terbitan Departemen Sosial RI, diterangkan bahwa jumlah pemangkasan gaji menjadi 17 persen dengan pengurangan sebelumnya.
Perencanaan pemotongan upah tidak berhenti di situ. Ketika pemangkasan ketiga mulai dimunculkan, banyak pihak yang menolak, termasuk Komandan Angkatan Laut Hindia Belanda, J.F. Osten.
Pemerintah Hindia Belanda tiba-tiba mengeluarkan pernyataan dalam keputusan Koninlijk Besluit No.51. Isinya adalah pemangkasan gaji yang resmi akan dilakukan pada 1 Februari 1933.
Para marinir baru mengetahui kabar pemotongan ini pada 26 Januari 1933. Pemotongannya sebesar 17 persen bagi awak kapal dari kalangan bumiputera dan 14 persen bagi orang Belanda.
Di sebuah bioskop, para awak kapal berdiskusi mengenai kabar buruk tersebut. Pada 28 Januari 1933, perbincangan tersebut berlangsung memanas mengingat terjadinya penangkapan 425 anak kapal di Surabaya.
Kronologi Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi
Artikel bertajuk "Karena Seven Proviencien dan Ordonansi Golongan Belanda Tjemas dan Beraksi" dalam surat kabar Medan Ra'jat edisi 4 Februari 1933, diberitakan, terjadi kasus pemberontakan kapal perang “De Zeven Provincien”.
Masih dalam Medan Ra’jat melalui artikel berjudul “Pemberontakan pada Marine”, pemberontakan tersebut ternyata dijalankan oleh para anggota marinir bumiputera, di antaranya terdapat Paradja, Romambi, Gosal, dan Kawilarang. Belakangan, beberapa awak kapal dari bangsa Eropa juga turut serta melakukan aksi tersebut.
Menteri Urusan Jajahan Belanda, Hendrikus Colijn, memutuskan untuk tegas kepada para awak kapal yang melawan tersebut. Menteri Colin ia juga memerintahkan media untuk tidak mempublikasikan kejadian ini.
Tujuan kapal perang di bawah pimpinan Kawilarang ini adalah Surabaya. Namun, di perjalanannya sebelum sampai Selat Malaka, 10 Februari 1933, sudah banyak mengalami halangan dari pemerintah kolonial.
Saat itu, Kapal Tujuh Provinsi dikepung oleh beberapa pesawat tempur serta kapal selam yang siap dengan masing-masing senjatanya. Peringatan sudah diberikan namun tidak digubris. Akhirnya, salah satu pesawat mengeluarkan bom tepat ke arah kapal yang dikemudikan Kawilarang.
Setelah kejadian tersebut, banyak awak kapal yang meregang nyawa. Namun, Kawilarang saat itu selamat beserta beberapa orang lainnya meksipun akhirnya ditangkap.
Hukuman yang diberikan kepada Kawilarang adalah penjara 18 tahun. Mereka yang tewas dimakamkan di Pulau Mati, Kepulauan Seribu. Nantinya, jenazah mereka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Kawilarang masuk Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Ia gugur saat menjalankan tugas di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya