tirto.id - Perundingan Renville yang digelar tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 berpengaruh terhadap jalannya sejarah bangsa Indonesia. Isi Perjanjian Renville membuat wilayah kedaulatan Republik Indonesia menjadi semakin sempit.
Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 tidak lantas membuat posisi Indonesia di atas angin. Belanda yang datang lagi dengan membonceng pasukan Sekutu usai mengalahkan Jepang di Perang Dunia II ingin kembali menjajah Indonesia.
Rangkaian perundingan antara Indonesia dan Belanda dilakukan, tapi seringkali menemui kebuntuan. Ada dua perundingan yang saling berkaitan dan cukup dikenal dalam sejarah Indonesia yaitu Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville yang membahas tentang wilayah kekuasaan.
Sejarah mencatat, Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu anggota Komisi Tiga Negara (KTN) yang sukses mendamaikan Belanda-Indonesia dalam Perjanjian Renville. Namun, Kahin justru menemukan banyak keganjilan dalam manuver AS.
Posisi AS sebagai juru damai idealnya netral serta memperlakukan pihak-pihak yang terlibat dengan setara. Sayangnya, manuver mereka berujung pada kekecewaan mendalam bagi para elit politik Indonesia dan turut membuat posisi Indonesia lemah selama perumusan perjanjian.
Pada awalnya, AS sebenarnya satu gerbong dengan Inggris sebagai pihak yang tak menyetujui agresi Belanda. Keduanya juga mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto. Namun dukungan semacam itu tak cukup menjadi solusi konflik Indonesia-Belanda.
Sebagai dua raksasa Barat, AS dan Inggris memilih tidak melaksanakan tindakan efektif untuk menghentikan agresi Belanda. Di tahap ini, kecurigaan menyebar di kalangan elit politik Indonesia. Mereka menganggap AS bersikap licik dan sebenarnya memihak Belanda.
Latar Belakang Perundingan Renville
Perundingan Linggarjati pada 11-13 November 1946 menyepakati berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diakui Belanda. Hasil perundingan disahkan pada 25 Maret 1947. Namun, Belanda ternyata hanya mau mengakui kedaulatan RIS sebatas Jawa dan Madura saja.
Tugiyono Ks dalam buku Sekali Merdeka Tetap Merdeka (1985) menyebutkan, Belanda bahkan melanggar Perjanjian Linggarjati dengan melancarkan serangan pada 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947. Serangan ini dikenal dengan sebutan Agresi Militer Belanda I.
Agresi Militer Belanda I membuat sebagian dunia internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melontarkan penyesalan. Mereka mendesak Belanda agar menghentikan serangan dan segera menggelar perundingan damai dengan pihak Indonesia.
Tokoh Delegasi Perundingan Renville
Dikutip dari buku bertajuk Indonesia Menyongsong Era Kebangkitan Nasional Kedua: Volume 1 (1992) terbitan Yayasan Veteran RI, atas desakan Dewan Keamanan PBB, Belanda dan Indonesia menggelar perundingan di atas kapal perang milik Amerika Serikat bernama USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta.
Perundingan yang disebut Perjanjian Renville ini dilangsungkan pada 8 Desember 1947. Sebagai penengah adalah Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia,dan Belgia.
Adapun para tokoh yang terlibat sebagai delegasi dalam Perjanjian Renville adalah sebagai berikut:
Delegasi Indonesia terdiri dari Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun.
Delegasi Belanda beranggotakan H.A.I van Vredenburg, Dr. P.J. Koets, Dr. Chr. Soumokil, serta orang Indonesia yang menjadi utusan Belanda yakni Abdul Kadir Wijoyoatmojo.
Sedangkan yang bertindak sebagai mediator dari KTN adalah Richard C Kirby dari Australia (wakil Indonesia), Frank B. Graham dari Amerika Serikat (pihak netral), dan Paul van Zeeland Belgia (wakil Belanda).
Isi Perundingan Renville
Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, akhirnya dihasilkan tiga poin kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Dikutip dari laman resmi Kemdikbud, berikut isi Perjanjian Renville:
- Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai wilayah Republik Indonesia (RI).
- Disetujui adanya garis demarkasi antara wilayah RI dan daerah pendudukan Belanda.
- TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Dampak Perundingan Renville
Hasil Perundingan Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 itu ternyata cukup merugikan bagi Indonesia. Wilayah kedaulatan RI menjadi semakin sempit dengan diterapkannya aturan Garis van Mook atau Garis Status Quo.
Garis van Mook mengambil nama dari Hubertus van Mook, Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir. Garis van Mook adalah perbatasan buatan yang memisahkan wilayah milik Belanda dan Indonesia sebagai hasil dari Perjanjian Renville.
Anthony Reid dalam Indonesian National Revolution 1945-1950 (1974) menyebutkan, menganggap keberadaan Garis van Mook juga sebagai bentuk hinaan terhadap Indonesia karena wilayah RI menjadi semakin ciut.
Namun demikian, ada dampak positifnya pula. Perjanjian Renville ternyata semakin membuka banyak negara di dunia internasional untuk memperhatikan Indonesia dan mencermati sepak-terjang Belanda.
"Dalam jangka panjang, keputusan-keputusan di Renville menarik perhatian dunia internasional yang semakin menyadari adanya pengorbanan besar untuk merdeka,” tulis Anthony Reid.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Yulaika Ramadhani