tirto.id - Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah salah satu organisasi massa yang ikut mengawal perkembangan Indonesia di awal kemerdekaan. Organisasi ini lahir atas prakarsa 15 mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI), yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) di tahun 1947.
Lafran Pane adalah salah satu tokoh yang mencetuskan ide pendirian HMI. Saat itu, dia melihat dan menyadari bahwa mahasiswa Islam yang hidup di zamannya, umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Penyebabnya adalah sistem pendidikan dan kondisi masyarakat yang belum terlalu mendukung pelaksanaan agama di dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk itu, demi mengubah keadaan, maka perlu dibentuk sebuah organisasi. Organisasi mahasiswa ini diharapkan dapat mengantarkan mahasiswa mengikuti pembaruan atau inovasi di berbagai bidang, sekaligus mengakomodasi pemahaman dan penghayatan ajaran agama yaitu agama Islam.
Mengutip laman HMI, pada 5 Februari 1947, Lafran Pane mengadakan rapat mendadak dengan mengambil waktu pada jam perkuliahan Tafsir. Rapat dilakukan di salah satu ruang kuliah STI yang saat itu berdomisili di Jalan Setiodiningratan (Jalan Panembahan Senopati), Kota Yogyakarta. Lafran mengatakan persiapan untuk pembentukan organisasi mahasiswa Islam sudah beres.
Lalu, ajakan Lafran tersebut disambut 14 mahasiswa STI lain yang hadir dalam rapat. Akhirnya, terbentuklah HMI dengan menerima siapa pun yang ikut bergabung dan tidak menggubris lagi dengan siapa pun yang menentangnya.
Dan, secara lengkap tokoh yang menghadiri berdirinya HMI saat itu adalah Lafran Pane (Yogya), Karnoto Zarkasyi (Ambarawa), Dahlan Husein (Palembang), Siti Zainah (Palembang), Maisaroh Hilal (Singapura), Soewali (Jember), Yusdi Ghozali ( Pendiri PII-Semarang), Mansyur Anwar (Malang), Hasan Basri (Surakarta), Marwan (Bengkulu), Zulkarnaen (Bengkulu), Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (Malang), dan Bidron Hadi (Yogyakarta).
Ada dua tujuan yang hendak dicapai atas berdirinya HMI. Pertama, mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Dalam rapat pendirian itu turut mengesahkan anggaran dasar HMI. Sementara untuk Anggaran Rumah Tangga dibuat kemudian. Agar mengukuhkan eksistensi HMI, dibentuk pengurus HMI yang pertama dengan susunan:
Ketua: Lafran Pane
Wakil Ketua: Asmin Nasution
Penulis I: Anton Timoer Djailani
Penulis II: Karnoto Zarkasyi
Bendahara I: Dahlan Husein
Bendahara II: Maisaroh Hilal, Soewali
Anggota: Yusdi Gozali, Mansyur
Seiring berjalannya waktu, HMI makin diterima oleh para mahasiswa muslim Indonesia. Nama HMI makin besar. Namun, ada gejolak yang membuat HMI menjadi terpecah menjadi dua.
Konflik internal terjadi setelah Kongres HMI ke 15 di Medan pada 1983. Tiga tahun setelah itu, atau pada 1986, HMI memutuskan menerima asas tunggal Pancasila yang dijalankan oleh rezim Orde Baru. Dengan demikian, asas HMI bukan lagi Islam, melainkan Pancasila.
Pertimbangan mengubah asas ini cenderung alasan politis dan adanya tawaran-tawaran menarik di balik itu. Akhirnya, sebagian keluarga besar HMI tidak terima dengan keputusan tersebut dan memilih bertahan dengan membuat HMI berasas Islam. Jadilah dua versi HMI. Pertama, HMI Dipo (HMI yang berkantor di Jalan Diponegoro Jakarta). Kedua, HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi).
Posisi HMI saat itu memang dilematis. Jika tidak mengganti asasnya, maka terancam dibubarkan oleh rezim Orde Baru. Lalu, dalam Kongres HMI di Padang diputuskan menerima asas tunggal Pancasila. Pemerintah saat itu hanya mengakui HMI Dipo sebagai organisasi yang resmi.
Tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998, membawa angin segar di tubuh HMI. Pada Kongres HMI di Jambi tahun 1999, HMI Dipo memutuskan untuk mengembalikan asas Islam di tubuh organisasi. Sayangnya, antara HMI Dipo dan HMI MPO tidak otomatis menyatu kembali seperti sedia kala meski keduanya berasas Islam.
Alasannya, antara HMI Dipo dan HMI MPO memiliki perbedaan karakter dan tradisi keorganisasian. HMI Dipo dinilai lebih dekat dengan kekuasaan dan cenderung pragmatis. Sebaliknya, HMI MPO masih mempertahankan sikap kritis pada penguasa.
Meski demikian, HMI telah memberikan sumbangsih besar pada perkembangan negara Indonesia. Banyak jebolan HMI yang menjadi tokoh nasional. Misalnya mantan wakil presiden Jusuf Kalla, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Ashiddiqie, Yusril Ihza Mahendra, Amien rais, Ade Komarudin, Hamdan Zoelva, Fadel Muhammad, dan masih banyak lagi.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Alexander Haryanto