Menuju konten utama

Perkara Grand Indonesia & Sejarah Tugu Selamat Datang di Jakarta

Sejarah Tugu Selamat Datang di Jakarta kini jadi sorotan akibat pelanggaran hak cipta oleh Grand Indonesia.

Perkara Grand Indonesia & Sejarah Tugu Selamat Datang di Jakarta
Aktivis lingkungan Green Peace memanjat dan membentangkan spanduk di Patung Selamat Datang, Bunderan HI, Jakarta, Rabu (23/10/2019). ANTARA FOTO/Saptono/Foc

tirto.id - Tugu Selamat Datang jadi sorotan lantaran perkara pelanggaran hak cipta oleh Grand Indonesia. Terlepas dari kasus hukum tersebut, monumen yang berwujud patung sepasang muda-mudi melambaikan tangan dengan bunga di genggaman ini punya tempat tersendiri dalam sejarah pembangunan Kota Jakarta.

Terletak di Jakarta Pusat, dekat Bundaran Hotel Indonesia (HI), Tugu Selamat Datang merupakan rancangan Henk Ngantung. Tokoh ini adalah seniman yang pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur (1960-1964) lalu Gubernur DKI Jakarta (1964-1965).

Terkini, hak cipta Henk Ngantung atas sketsa Tugu Selamat Datang menjadi perhatian publik lantaran dijadikan logo tanpa izin oleh Mall Grand Indonesia, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di ibu kota.

Tanggal 30 Juni 2020, sebagai pemegang hak cipta logo Tugu Selamat Datang atau ahli waris Henk Ngantung yakni Sena Maya Ngantung, Kamang Solana, Geniati Heneve Ngantoeng, dan Christie Pricilla Ngantung, menuntut Grand Indonesia.

Atas perkara nomor 35/Pdt.Sus-HKI/Hak Cipta/2020/PN Jkt.Pst itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa Grand Indonesia harus membayar denda sebesar Rp1 miliar kepada ahli waris Henk Ngantung dan wajib mengganti logo Tugu Selamat Datang tersebut.

Sejarah Tugu Selamat Datang

Pembangunan Tugu Selamat Datang ini tidak terlepas dari sejarah Kota Jakarta yang pernah menjadi tuan rumah pesta olahraga terbesar se-Asia, yakni Asian Games, tahun 1962.

Zaenuddin HM dalam buku 212 Asal-Usul Djakarta Tempoe Doeloe (2012), mengungkapkan, gagasan pembangunan patung atau Tugu Selamat Datang muncul dari Presiden Pertama RI, Ir. Sukarno.

Ide itu bermula ketika Bung Karno sedang berbincang ringan bersama sejumlah seniman di Istana Negara, Jakarta, pada 1959.

Salah satu hal yang diperbincangkan adalah mengenai simbol ungkapan dari monumen yang melambangkan karakter bangsa Indonesia untuk menyambut tamu-tamu dari luar negeri.

Saat ide tersebut muncul, Sukarno meminta kepada seniman bernama Edhie Sunarso untuk membuat patung setinggi 9 meter. Harapan Bung Karno, hasilnya nanti bisa menunjukkan kebesaran bangsa Indonesia dengan keramahannya kepada bangsa asing.

Kepada Edhie, Presiden Sukarno mengungkapkan bahwa ia ingin ada sebuah monumen yang bisa mewakili karakter bangsa Indonesia untuk menyambut para tamu yang akan hadir di Jakarta sebagai tuan rumah Asian Games 1962.

Bung Karno menghendaki Edhie membuat patung tinggi dengan bahan perunggu. “Tunjukkan bahwa bangsa Indonesia bangsa yang besar, bangsa yang ramah. Aku beri tugas kau buat patung itu,” kata sang presiden

Mendapat mandat itu, Edhie Sunarso agak bingung. Ia belum pernah membuat patung dari bahan perunggu dan dengan ukuran seperti keinginan Bung Karno.

Peran Sentral Henk Ngantung

Permasalahan tersebut terjawab dengan ditunjuknya Henk Ngantung sebagai perancangnya. Henk Ngantung adalah seniman yang kemudian menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 1960.

Dalam buku Refleksi Pers Daerah Jakarta (2013) terbitan Pemerintah Daerah DKI Jakarta disebutkan bahwa Henk Ngantung merupakan salah satu seniman lukis ulung saat itu.

Bung Karno mempercayakan rancangan patung atau Tugu Selamat Datang kepada Henk Ngantung yang kemudian mampu dieksekusi dengan baik oleh Edhie Sunarso.

Menjelang Asian Games 1962, Tugu Selamat Datang Jakarta akhirnya selesai. Henk Ngantung tercatat sebagai pemilik hak cipta atas karya yang berdiri di tengah kolam dan dikelilingi hotel-hotel berbintang itu.

Tugu Selamat Datang ibarat garis imanijernya ibu kota. Garis sumbu patung dibuat tepat di tengah kolam Bundaran HI, yang seolah menghubungkan pelabuhan Tanjung Priok di sebelah utara dengan Kebayoran di sebelah selatan.

Patung ini berwujud sepasang muda-mudi yang sedang melambaikan tangan dan menghadap ke arah utara yang berarti sambutan kepada orang-orang yang datang dari arah Monumen Nasional (Monas).

Baca juga artikel terkait SEJARAH JAKARTA atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya