tirto.id - Salah satu contoh kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) fenomenal di Indonesia adalah kerusuhan 27 Juli 1996 atau kerap disingkat Peristiwa Kudatuli.
Kasus ini merupakan penyerbuan terhadap kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jakarta Pusat yang menewaskan lima orang, mengakibatkan 149 orang luka-luka, 136 ditahan, dan 23 orang hilang. Hingga sekarang, pelaku Peristiwa Kudatuli masih menjadi misteri dan kasusnya belum terselesaikan.
Kendati berdampak besar, namun Komisi Nasional (Komnas) HAM belum bisa memutuskan apakah Peristiwa Kudatuli tergolong pelanggaran HAM berat atau ringan. Sebab, proses pemeriksaan, pengkajian, dan penyelidikannya belum juga terselesaikan hingga hari ini.
Penggolongan ringan atau beratnya pelanggaran HAM tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam hal ini, Pengadilan HAM bertugas mengadili pelanggaran HAM berat yang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
HAM sendiri berdasarkan UU di atas didefinisikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Peristiwa Kudatuli mengangkangi konsepsi HAM tersebut. Setidaknya, Komnas HAM menilai ada enam bentuk pelanggaran HAM dalam peristiwa Kudatuli, di antaranya pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut, pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi, pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia, dan pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.
Penyebab Peristiwa Kudatuli atau Kerusuhan 27 Juli 1996
Penyebab kasus Kudatuli adalah dualisme kepemimpinan di tubuh PDI. Massa pendukung Soerjadi, bersama dengan aparat, menyerbu kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati.
Hal ini disebabkan Kongres PDI di Medan pada 20-22 Juni 1996 menyatakan bahwa Soerjadi terpilih menjadi ketua umum periode 1996-1998. Sementara itu, Megawati merupakan Ketua Umum PDI hasil kongres Surabaya untuk periode 1993-1998.
Para pendukung Soerjadi tidak terima atas kepemimpinan Megawati. Akibatnya, terjadi bentrokan terbuka antara massa dengan aparat TNI-Polri. Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba dan Kramat, Jakarta Pusat.
Ada dugaan bahwa penyebab kasus Kudatuli ini adalah bentuk rasa tidak terima pemerintah Orde Baru karena naiknya popularitas Megawati di panggung politik.
Pasalnya, ketika Megawati bergabung dengan PDI, perolehan suara pada partai ini terdongkrak pada Pemilu 1987 sehingga meraih 10 persen (40 kursi), dan 14 persen (56 kursi) pada Pemilu 1992.
Sebelumnya, perolehan suaranya hanya 8,05 persen (29 kursi) pada Pemilu 1977 dan 6,66 persen (24 kursi) pada Pemilu 1982. Berkat Megawati, PDI berada di atas angin. Hal inilah yang disinyalir mengusik ketenangan pemerintah Orde Baru. Kasus Kudatuli dijadikan upaya untuk menggembosi Megawati.
Berdasarkan penyidikan, Sutiyoso, bekas Pangdam Jaya, dan Soerjadi ditetapkan sebagai tersangka kasus Kudatuli. Kendati yang menjadi korban adalah PDI kubu Megawati, yang kemudian menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), partai ini malah merangkul Sutiyoso menjadi Gubernur DKI Jakarta masa jabatan 1997-2007.
Pada Pengadilan Koneksitas yang digelar ketika Megawati menjabat sebagai Presiden, nama Sutiyoso tidak muncul. Pengadilan kemudian hanya menghukum seorang buruh bernama Jonathan Marpaung selama dua bulan 10 hari penjara. Jonathan Marpaung dinyatakan bersalah karena terbukti telah mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI.
Sementara itu, dalang di balik Peristiwa Kudatuli masih menjadi misteri, belum juga diadili, dan masih melenggang bebas di luar sana.
Editor: Iswara N Raditya