tirto.id - Keputusan Presiden Prabowo Subianto membentuk Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) cukup mengejutkan. Kementerian HAM dipimpin mantan Komisioner Komisi Nasional HAM, Natalius Pigai sebagai menteri. Prabowo memasangkan Natalius dengan Mugiyanto, aktivis sekaligus korban penculikan Tim Mawar pada Peristiwa 1998.
Kementerian HAM merupakan pecahan dari Kementerian Hukum dan HAM yang eksis pada pemerintahan Joko Widodo. Lahirnya kementerian baru yang memiliki fokus di bidang HAM dalam kepemimpinan Presiden Prabowo setidaknya memunculkan dua pertanyaan.
Bagaimana komitmen Prabowo dalam menyelesaikan dan menangani kasus HAM masa lalu serta peristiwa HAM terkini? Langkah strategis apa yang mampu diambil Kementerian HAM untuk memprioritaskan keadilan korban dalam penanganan kasus-kasus HAM berat?
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, merasa ragu untuk berharap pemerintahan Prabowo bakal memprioritaskan penanganan HAM. Ia menilai justru ada potensi Kementerian HAM digunakan pemerintah untuk melakukan penyelesaian kasus-kasus HAM dengan cara yang tidak tepat.
“Kami curiga pembentukan Kementerian HAM dan pengangkatan Pigai dan Mugiyanto itu bakal mengarah pada penegakan HAM ala Prabowo,” ujar Isnur kepada reporter Tirto, Senin (21/10/2024).
Kecurigaan Isnur bukan tanpa alasan, ia menilai, Pigai pernah membela Prabowo dengan menyebut eks Menteri Pertahanan era Jokowi itu bersih atas dugaan pelanggaran HAM masa lalu. Di sisi lain, Mugiyanto ditengarai terlibat dalam mengumpulkan pihak keluarga korban penculikan aktivis dan penghilangan paksa 1997-1998 untuk bertemu dengan elite Partai Gerindra.
Pertemuan dilangsungkan pada Agustus 2024 lalu, saat itu Prabowo-Gibran sudah resmi didapuk sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2024-2029. Isnur menilai, pertemuan itu sarat konflik kepentingan dan tidak sesuai dengan mekanisme penyelesaian peristiwa HAM berat masa lalu.
Lewat akun Instagram pribadinya, Ketua Harian DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad sempat memposting beberapa foto hasil pertemuan bersama keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Dasco menyebut pertemuan ini sebagai agenda silaturahmi kebangsaan.
“Ini posisi dari agenda HAM yang bertentangan dengan penuntasan HAM yang benar,” jelas Isnur.
Menurut Isnur, pemerintahan Prabowo-Gibran belum memiliki perspektif yang tepat dalam penanganan dan penuntasan kasus pelanggaran HAM. Dia memandang, Prabowo bakal meneruskan jejak Jokowi yang tidak mampu menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu meski berulang kali mengobral janji.
Jokowi memang sudah mengakui dan menyesali 12 peristiwa HAM berat masa lalu pada 2023 lalu. Kasus HAM berat yang diakui pemerintah meliputi Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Kemudian Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.
Namun, pengakuan ini dinilai belum sepenuhnya memberikan rasa keadilan bagi pihak korban. Sikap pemerintah yang lebih mengedepankan penyelesaian non-yudisial juga sarat membawa masalah baru bagi kelompok keluarga korban.
“Kita mengharapkan tetap korban kuat berjuang dengan dukungan masyarakat sipil, jurnalis, Komnas HAM, dan internasional, sehingga mungkin Prabowo bisa beralih [menuntaskan kasus HAM] meskipun sulit kita bayangkan,” ujar Isnur.
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, menilai komitmen pemerintahan Prabowo-Gibran terhadap penuntasan kasus HAM dipastikan nol besar. Pasalnya, dokumen visi-misi Prabowo-Gibran yang bertajuk Asta Cita sama sekali tidak menyinggung soal penuntasan peristiwa HAM berat.
“Presiden Jokowi saja sebelumnya dalam Nawacita, di situ tertuang dengan sangat eksplisit komitmen penyelesaian kasus [HAM berat], meskipun tidak dijalankan,” kata Dimas kepada reporter Tirto, Senin.
Dimas meragukan orientasi pemerintahan Presiden Prabowo terhadap komitmen HAM akan termaktub dalam kerangka kebijakan kabinet. Pembentukan Kementerian HAM juga dinilai belum menunjukkan kepastian komitmen pemerintahan terhadap penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Bahkan, kata Dimas, pembentukan kementerian anyar yang dipimpin Natalius Pigai tersebut terkesan cuma untuk memoles citra pemerintah. Alih-alih menjalankan langkah konkret memenuhi hak keadilan bagi korban, pemerintah dinilai masih melakukan gimik dalam penanganan kasus-kasus HAM.
“Figur yang ditetapkan menjadi menteri dan wamen, menurut kami juga masih jauh dari kapabilitas dalam konteks melakukan upaya-upaya mewujudkan kebijakan atau kewajiban utama pemerintah dalam perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan HAM,” tutur Dimas.
Pemerintahan Prabowo diminta mengacu pada mekanisme regulasi yang mengamanatkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu: Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Modalitas regulasi ini dinilai harus menjadi perhatian utama pemerintah dalam menunjukkan komitmen terhadap penyelesaian HAM berat masa lalu.
“Dan memberikan satu komitmen, komitmen yang teguh, komitmen yang kuat bahwa tidak akan ada pengulangan peristiwa-peristiwa keji, peristiwa-peristiwa tidak manusiawi dan juga peristiwa-peristiwa yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM di masa depan,” ucap Dimas.
Minim Harapan
Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI), Zaenal Muttaqin, turut memandang pemerintahan Prabowo-Gibran belum memiliki agenda jelas terkait penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dalam visi-misi masa Pilpres 2024, kata Zaenal, Prabowo-Gibran baru memuat agenda umum, yakni menjanjikan perlindungan HAM untuk warga negara dan menghapus praktik diskriminasi.
Meski dibentuk Kementerian HAM, kata Zaenal, IKOHI tidak berharap banyak akan agenda penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pasalnya, Presiden Prabowo sendiri diduga memiliki keterkaitan atas peristiwa pelanggaran HAM berat berupa peristiwa penculikan dan penghilangan paksa aktivis dan mahasiswa pada 1997-1998.
“Hal ini dibuktikan adanya sidang Dewan kehormatan Perwira (DKP) pada 1998 yang memecat Prabowo dari dinas militer. Demikian juga para pelaksana penculikan (Tim Mawar) juga telah menjalani pengadilan militer,” kata Zaenal kepada reporter Tirto, Senin.
Komnas HAM pada 2006 silam menyatakan ada unsur pelanggaran HAM berat yang diduga dilakukan pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam kasus 1997-1998. DPR RI pada 2009 memberikan rekomendasi kepada presiden dalam kasus penghilangan paksa 1997-1998.
Salah satunya merekomendasikan presiden serta segenap instansi pemerintah serta pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang. Presiden juga diminta membentuk pengadilan HAM ad-hoc terkait kasus ini. Namun hingga saat ini rekomendasi tersebut belum sepenuhnya dijalankan pemerintah.
“Khusus kasus penghilangan paksa 1997-1998, IKOHI tetap akan mendesak pemerintah saat ini menjalankan rekomendasi DPR RI tersebut,” terang Zaenal.
Sayangnya, pembuktian komitmen pemerintahan Prabowo terhadap kasus HAM berat masa lalu tampaknya semakin buram. Baru seumur jagung kabinet pemerintahan baru dilantik, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Permasyarakatan RI, Yusril Ihza Mahendra, malah menyebut tragedi Mei 1998 tidak termasuk pelanggaran HAM berat.
Pernyataan ini disampaikan Yusril usai dilantik di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/10/2024).
"Pelanggaran HAM yang berat itu kan genocide, ethnic cleansing, tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir," kata Yusril.
Dia menyebut pelanggaran HAM berat banyak terjadi pada era kolonial masih bercokol di Indonesia. Yusril mengeklaim, dalam kurun beberapa dekade, Indonesia sudah tak lagi mengalami pelanggaran HAM.
"Mungkin terjadi justru pada masa kolonial ya, pada waktu awal peran kemerdekaan kita 1960-an," katanya.
Menanggapi pernyataan Yusril, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai pandangan Yusril bukan hanya tidak akurat secara historis dan hukum, tetapi juga menunjukkan sikap nirempati terhadap pihak korban. Peristiwa Mei 1998 menyisakan luka mendalam bagi mereka yang kehilangan orang-orang tercinta akibat kekerasan massal, pemerkosaan, serta pembunuhan yang menargetkan kelompok etnis tertentu, khususnya komunitas Tionghoa.
“Terlebih ini disampaikan pada hari kerja pertama Menko Yusril. Ini sinyal buruk pemerintahan baru,” kata Usman kepada reporter Tirto, Senin.
Usman menjelaskan, kewenangan penentuan peristiwa tergolong pelanggaran HAM yang berat sesuai Undang-Undang, bukan ditentukan presiden apalagi menteri. Tetapi pengadilan HAM, yang setidaknya ditentukan pertama kali oleh Komnas HAM.
Usman menilai pernyataan semacam ini tidak sepantasnya dilontarkan pejabat pemerintah. Apalagi dari pejabat yang salah satu tugasnya mengurusi legislasi di bidang HAM.
Pernyataan Yusril mengabaikan pengertian pelanggaran HAM yang berat pada penjelasan Pasal 104 ayat (1) dari UU Nomor 39/999 tentang HAM maupun Pasal 7 UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
“Pernyataan itu juga mengabaikan laporan-laporan resmi pencarian fakta tim gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM,” ujar Usman.
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, berharap agenda HAM dapat diprioritaskan oleh pemerintahan presiden Prabowo di lima tahun ke depan. Termasuk komitmen untuk dapat melakukan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Anis menyatakan bahwa pembentukan Kementerian HAM seharusnya membuka jalan pada pengutamaan agenda HAM. Komnas HAM sendiri siap untuk berdialog dan diajak berdiskusi dalam perumusan agenda-agenda HAM pemerintah Prabowo-Gibran.
“Kami mendorong agar pemerintah lima tahun ke depan memiliki komitmen menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui mekanisme pengadilan HAM,” kata Anis kepada reporter Tirto, Senin.
Di sisi lain, Menteri HAM Natalius Pigai, menegaskan bahwa pembentukan Kementerian HAM menjadi bukti pemerintahan Prabowo-Gibran memprioritaskan urusan HAM. Presiden Prabowo dinilai menjalankan konstitusi nasional dan internasional agar pemerintah wajib menghormati hak asasi manusia.
“Mungkin satu di antara sedikit presiden atau kepala negara di dunia yang membentuk kementerian HAM,” ucap Pigai usai serah terima jabatan di kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (21/10/2024).
Pigai enggan menjawab soal langkah pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Ia menyebut akan berfokus membangun HAM secara holistik.
“Jangan dulu [soal itu]. Sabar dulu, hal-hal yang sifatnya kasuistik kan saya bilang di sini, saya membangun HAM. Pembangunan HAM itu harus secara holistik,” pungkas Pigai.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky