tirto.id - “Saya bermimpi, di suatu hari Pak Jokowi datang ke rumah saya di Cikeas untuk kemudian bersama-sama menjemput Ibu Megawati di kediamannya. Selanjutnya kami bertiga menuju Stasiun Gambir.”
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menulis twit tersebut dalam akun @SBYudhoyono pada Senin (19/6/2023). Dalam cuitannya itu, SBY berandai-andai naik kereta api Gajayana ke tujuan bersama Jokowi dan Megawati. Saat tiba di Solo, SBY pergi ke Pacitan, sementara Jokowi dan Megawati berangkat ke Blitar.
Juru Bicara DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra menyebut, twit SBY adalah mimpi rekonsiliasi yang sudah dinantikan sejak lama dan belum tercapai hingga kini. SBY menuliskan soal harapannya itu agar bisa naik kereta satu gerbong dengan Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo.
“Harapannya, para pemimpin bangsa kita ini, bisa saling berkomunikasi. Berdiskusi. Memberikan masukan. Untuk siapapun pemimpin negeri ini ke depannya,” kata Herzaky saat dihubungi Tirto pada Selasa (20/6/2023).
Herzaky mengungkapkan, pertemuan tiga pemimpin itu bisa membawa dampak baik pada masyarakat. Salah satunya adalah upaya pembentukan opini publik bahwa tidak ada konflik di antara mereka.
“Sungguh suatu anugrah luar biasa untuk negeri ini. Tiga mantan pemimpin negeri ini bisa duduk bersama. Memberikan pesan kedamaian dan kesejukan. Beda pendapat, beda cara dalam menyelesaikan masalah, tetapi tetap menjaga silaturahmi, menjaga komunikasi, karena punya tujuan yang sama. Untuk kebaikan rakyat dan negeri ini,” kata dia.
Komentar positif juga diungkapkan Ketua DPP PDIP, Puan Maharani. Putri dari Presiden RI ke-5 ini mengatakan, pertemuan antara SBY dengan Megawati sangat mungkin terjadi. Mimpi SBY juga masih dapat terealisasi.
“Tidak ada kata tidak. Semua masih ada harapan. Jadi jangan pernah putus asa,” kata Puan yang juga ketua DPR RI itu di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta pada 20 Juni 2023.
Akan tetapi, Puan menekankan semua membutuhkan komunikasi intensif di kedua pihak. Putri Megawati itu berharap, pertemuan dirinya dengan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY bisa mempengaruhi pertemuan SBY-Megawati.
“Saya tentu saja berharap bahwa situasi yang adem ayem ini bisa dibangun oleh semua pemimpin yang pernah punya jasa kepada bangsa dan negara ini,” kata Puan.
Presiden Jokowi juga merespons positif mimpin SBY tersebut. “Kalau presiden-presiden, mantan presiden itu bekerja sama, bersama-sama membangun negara ini, ya itu mimpi kita semuanya,” kata Jokowi.
Pesan Tersirat SBY dan Hubungan PDIP-Demokrat
Mimpi SBY tentu memiliki pesan besar. Jika ditilik dari sejarah, maka Demokrat dan PDIP tidak pernah berada dalam satu kubu yang sama. Sejak Partai Demokrat berdiri pada 2001 dan mengantarkan SBY sebagai presiden pada Pilpres 2004, parpol berlambang mercy itu ibarat “minyak dan air” dengan PDIP.
Ketidakakuran tersebut berawal dari ketidakharmonisan Megawati yang merupakan tokoh sentral PDIP dengan SBY. Hal itu tidak lepas dari langkah SBY –saat itu anak buah Megawati-- yang maju dan memenangkan Pilpres 2004, mengalahkan Megawati sebagai petahana.
Sejak 2004, komunikasi PDIP-Demokrat minim terjadi. Jelang 9 tahun pemeritahan Jokowi, interaksi PDIP dengan Demokrat tercatat minim. Sebut saja kehadiran Jokowi pada Rapimnas Demokrat pada 2018. Dalam pertemuan itu, Demokrat memberi sinyal ingin mendukung Jokowi pada Pemilu 2019.
“Dengan dukungan Tuhan yang maha kuasa sangat bisa Partai Demokrat berjuang bersama Bapak [Jokowi]" kata SBY di Bogor pada 10 Maret 2018.
Jokowi juga mengaku sulit dalam menentukan pakaian pada acara tersebut. Ia mengaku harus 'detail' dalam pertemuan yang menggunakan jas lengkap tersebut.
“Jadi sekarang kalau mau bersiap-siap hadir di undangan Partai Demokrat, betul-betul harus rinci dan detail karena ada Pak SBY dan Mas AHY,” kata Jokowi kala itu.
Aksi SBY dan Demokrat untuk merapat ke Jokowi di Pemilu 2019 direspons dingin PDIP. Situasi tersebut akhirnya membuat Demokrat dan PDIP lagi-lagi berada di posisi berseberangan. PDIP kembali mengusung Jokowi, sementara Demokrat akhirnya memilih merapat ke Prabowo Subianto.
Saat itu, dukungan Demokrat kepada Prabowo disebut 'setengah hati' karena muncul pernyataan Andi Arief yang kala itu menyinggung Prabowo sebagai 'politikus kardus.’ Pada Pilpres 2019, Jokowi kembali unggul dari Prabowo dengan angka perolehan suara 55 persen lawan 45 persen.
Masuk pemerintahan kedua Jokowi, hubungan Demokrat-PDIP dinilai banyak pihak akan membaik. Megawati misalnya menghadiri pemakaman istri SBY, Ani Yudhoyono pada 2 Juni 2019. Mega yang mengenakan pakaian hitam didampingi Puan, Hasto dan politikus senior PDIP, Pramono Anung menghadiri pemakaman Ani.
Kala itu, Megawati pun terekam sempat berbincang dengan SBY dan keluarga. Namun, setelah pertemuan tersebut, tidak ada lagi momen SBY dan Megawati dalam satu kegiatan, termasuk sidang tahunan HUT RI pada 2020-2022.
AHY pun mengakui bahwa hubungan kedua partai membeku dalam dua dasawarsa terakhir. Ia mengaku pertemuan antara dirinya dengan Puan pada Minggu, 18 Juni 2023 sebagai upaya memperbaiki relasi.
“Kami juga tahu dalam kurun waktu 2 dekade terakhir ini, paling tidak dari 2004 hingga tahun ini sering kali dianggap komunikasi dan hubungan antara kedua partai belum bisa berjalan dengan sebaik yang diharapkann,” kata AHY usai pertemuan selama satu jam lebih dengan Puan di kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, Minggu (18/6/2023).
AHY menambahkan, “Tentu saya tidak ingin membahas masa lalu, tetapi hadirnya kami berdua mudah-mudahan juga menjadi oase bahwa politik itu seringkali menempatkan seseorang atau partai dalam posisi dan sikap yang berbeda, tetapi persahabatan kami berdua, Mbak Puan Maharani yang juga selama ini berhubungan baik dengan kami sekeluarga.”
Puan juga mengaku pertemuan dirinya dengan AHY bukan pertemuan terakhir. Ia menjamin ada pertemuan lanjutan.
“Jadi ini mungkin pertemuan yang pertama, tapi insyaallah bukan pertemuan terakhir, dan tetap bisa mencapai kesamaan itu ya tentu kita perlu waktu untuk sering-sering ketemu supaya bisa ngobrol,” kata Puan.
Diprediksi Tak Berkoalisi di Pilpres 2024
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, pasang surut hubungan politik wajar dalam Pemilu 2024, termasuk masalah PDIP-Demokrat.
“Karena semua mengacu pada kepentingan dan perebutan kekuasaan, begitu halnya PDIP dan Demokrat. Tetapi, untuk 2024 lebih mungkin jika Demokrat tetap berada di seberang PDIP, kecuali jika kontestasi antara PDIP dan Demokrat ada gugur di putaran pertama, maka pada putaran kedua koalisi keduanya bisa saja terjadi,” kata Dedi, Kamis (22/6/2023).
Dedi juga mengatakan, pertemuan AHY-Puan harus dilihat dalam kapasitas PDIP sebagai inisiator. Ia menduga, pertemuan tersebut berkaitan lobi politik PDIP yang ingin hanya ada dua paslon di Pemilu 2024. Namun, ia melihat SBY tidak sepakat sehingga fokus pada dialog untuk putaran kedua.
“Karena, jika PDIP menawarkan sesuatu pada Demokrat, maka terlalu dini bagi Demokrat mengingat kontestasi masih cukup cair, Ganjar [Pranowo] juga dalam survei IPO tidak terbukti dominan, masih berada di bawah Anies. Artinya, Demokrat bisa saja berpeluang lebih unggul dari PDIP di putaran pertama nanti,” kata Dedi.
Dedi juga melihat belum ada deal politik. Ia yakin deal baru muncul bila terjadi dua putaran, jika salah satu di antaranya kalah pada putaran pertama. Namun, Dedi tidak menjawab spesifik apakah situasi ke depan akan memastikan PDIP dan Demokrat akan selalu berada di kutub berbeda.
“Demokrat tidak miliki kepentingan dengan kekuasaan saat ini, dan PDIP juga masih menyimpan kekecewaan karena kalah dari Demokrat secara signifikan sekaligus mendadak di 2004, itulah sebab SBY di 2019 sudah nyatakan bahwa yang tidak ingin adanya Demokrat dalam kereta kekuasaan adalah PDIP, tepatnya Megawati. Sepanjang relasi Megawati dan SBY tidak dibangun kembali, maka Demokrat-PDIP besar kemungkinan sulit bersama," kata Dedi.
Pengamat politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga menilai, PDIP dan Demokrat seharusnya bisa bersinergi karena sama-sama memiliki nilai nasionalis. Namun, pengaruh Megawati yang cukup kuat membuat hubungan kedua partai sulit menyatu.
“Jadi tarik menarik kedua itu sebetulnya ingin ada kebersamaan karena sesama nasionalis, namun selama Ibu Mega tetap kekeuh pada pendiriannya, itu memang agak sulit,” kata Jamiluddin pada Kamis (22/6/2023).
Jamiluddin mengatakan, upaya Demokrat selama ini dekat dengan PDIP bukan karena partai berlambang mercy itu ingin mepet dengan partai moncong putih. Ia menilai alasan beragam. Pada kasus upaya SBY meminta anak Mega menjadi menteri, hal itu dilakukan karena SBY tidak mau mencari musuh. Akan tetapi, Megawati saat itu menolak meski lobi tersebut dilakukan lewat suami Megawati, Taufik Kiemas yang juga dekat dengan SBY.
Sementara pada Pemilu 2014 dan 2019, Partai Demokrat tidak bisa merapat ke Jokowi karena faktor Megawati. Dengan kata lain, kedekatan hubungan PDIP-Demokrat tergantung pada posisi Mega terhadap SBY dan Demokrat.
Jamiluddin menilai hubungan kedekatan PDIP-Demokrat kali ini bukan pada upaya untuk membangun koalisi Pemilu 2024. Namun, kata dia, komunikasi yang dibangun antara Puan-AHY bertujuan jangka panjang, untuk mempersiapkan putaran kedua bahkan pasca Pemilu 2024.
Jika menilik potensi putaran kedua Pemilu 2024, kata dia, maka ada kemungkinan Demokrat akan merapat ke koalisi PDIP. Partai moncong putih pun kemungkinan akan menerima kehadiran Demokrat dengan tangan terbuka. Hal itu tidak terlepas dari potensi perolehan suara Demokrat saat ini yang cukup signifikan.
Sebagai catatan, dalam prediksi perolehan suara partai, Demokrat paling tinggi di antara partai yang berada di koalisi perubahan. Mengutip hasil survei Indonesia Political Opinion (IPO) terhadap 1.200 responden periode 5-13 Juni 2023, suara Demokrat tembus 9,2 persen atau berada di peringkat keempat. Demokrat mengungguli Partai Nasdem (7,5 persen) dan PKS (4,8 persen). Suara Demokrat tentu signifikan dalam membangun kestabilan pemerintahan Ganjar jika jagoan PDIP itu menang.
Di sisi lain, elektabilitas AHY juga tidak kecil. AHY mengekor di peringkat keempat dalam survei yang sama. AHY (dengan angka 4,7 persen) berada di bawah 3 nama top 3, yakni Prabowo Subianto (27,3 persen), Anies Baswedan (24,6 persen) dan Ganjar Pranowo (16,2 persen).
Akan tetapi, kata dia, PDIP kecil kemungkinan merapat ke koalisi perubahan jika koalisi Partai Demokrat-PKS-Nasdem itu berhasil lolos di putaran kedua. Hal itu disebabkan PDIP mendorong kelanjutan program Jokowi, sementara Koalisi Perubahan untuk Persatuan tidak.
“Jadi dilihat dari dua visi yang berbeda itu kemungkinan untuk menyatu dalam pilpres memang relatif kecil,” kata Jamiluddin.
Lantas, apakah berarti pernyataan mimpi SBY menandakan PDIP dan Demokrat bukan bersatu? Ia justru menilai pernyataan SBY lebih kepada harapan agar presiden baru bisa memperlakukan para mantan presiden secara setara daripada PDIP-Demokrat bersatu.
“Singkatnya adalah ingin menggambarkan estafet kepemimpinan itu menjadi baik sehingga presiden yang mendatang itu tidak memperlakukan mantan-mantan presidennya dengan tidak elok,” kata Jamiluddin.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz