Menuju konten utama
Masalah Sampah Plastik

TPA Jatibarang Overload tapi Pengelolaan Sampahnya Tidak Jelas

Pemindahan atau perluasan area TPA sejatinya tidak menyelesaikan masalah, melainkan hanya menunda.

TPA Jatibarang Overload tapi Pengelolaan Sampahnya Tidak Jelas
Truk melintas di antara gunungan sampah TPA Jatibarang. tirto.id/Baihaqi

tirto.id - Truk pengangkut sampah melintas silih berganti, menerjang gerimis pada Kamis siang, 2 Maret 2023. Belasan kendaraan tampak terhenti di jalur yang sama, membentuk antrean, menunggu giliran untuk menurunkan muatan.

Di seberang jalan terlihat gunungan sampah. Saya coba mendekat. Sampah plastik, botol bekas, dan sampah pakaian cukup mendominasi. Sebagian sampah sudah berbentuk gumpalan menyerupai tanah --menandakan bukan sampah baru.

Tumpukan sampah itu hanya sebagian kecil dari yang ada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang, Kota Semarang, Jawa Tengah. TPA seluas 46 hektare ini terdiri dari 27,64 hektare untuk area buang, 4,6 hektare infrastruktur, 13,8 hektare kolam lindi, sabuk hijau, dan lahan cover.

Kepala Unit Pelaksanaa Teknis Daerah (UPTD) TPA Jatibarang, Wahyu Heryawan mengatakan, sampah yang masuk ke TPA Jatibarang pada saat pandemi Covid-19 sempat mengalami penurunan, per hari sekitar 600 ton. Namun, saat ini sudah kembali normal.

“Sekarang rata-rata per hari hampir 900 ton, kadang bisa lebih dari 900 ton. Dulu sebelum pandemi justru (sampah) mencapai 1.000 ton per hari," ujar Wahyu kepada kontributor Tirto.

Dari enam belas kecamatan di Kota Semarang, kata Wahyu, Kecamatan Semarang Tengah, Semarang Barat, dan Pedurungan paling banyak menyumbang sampah. Sebab, kecamatan tersebut merupakan daerah padat penduduk.

TPA Jatibarang

Sopir truk pengangkut sampah antre menurunkan muatan di TPA Jatibarang. tirto.id/Baihaqi

Sudah Lama Overload

TPA Jatibarang yang telah beroperasi sejak Maret 1992 kini kondisinya kritis. TPA yang berlokasi di Kelurahan Kedungpane, Kecamatan Mijen tersebut idealnya sudah tidak mampu lagi menampung sampah warga Kota Semarang.

Wahyu mengakui bahwa daya tampung kolam sampah TPA Jatibarang sudah overload. “Jika mengikuti dokumen master plan TPA Jatibarang, seharusnya 2021 sudah ditutup. Nyatanya kondisnya ya memang sudah penuh,” kata dia.

Selama ini tidak ada wacana pemindahan TPA ke lokasi lain. Sebab, menurut wahyu, relokasi pusat pembuangan sampah membutuhkan biaya besar dan sulit mencari lahan baru, juga adanya potensi masalah sosial yang timbul seperti penolakan warga.

Selain pemindahan, solusi yang kemungkinan diambil adalah perluasan area. Pada Mei 2021, dalam situs resminya, Pemerintah Kota Semarang menyatakan bakal memperluas area TPA guna menambah daya tampung sampah pada 2022.

Namun, hingga Maret 2023 rencana penambahan kawasan buangan TPA Jatibarang belum terealisasi. “Kalau untuk perluasan, sebenarnya masih bisa, ada lahan yang tersedia," ujarnya.

Selaku Kepala UPTD, Wahyu mempersilakan untuk menanyakan lebih lanjut rencana perluasan tersebut kepada dinas yang menaungi UPTD TPA, yakni Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Semarang. Sayangnya, Kepala DLH Bambang Suranggono belum memberi jawaban.

Upaya Pengurangan Volume Sampah

Pemindahan atau perluasan area TPA sejatinya tidak menyelesaikan masalah, melainkan hanya menunda. Karena produksi sampah kota setiap hari terus ada, bahkan berpotensi mengalami peningkatan seiring pertumbuhan penduduk dan kemajuan kota.

Penanganan masalah sampah jangka panjang bisa dilakukan dengan cara mengurangi produksi sampah di tingkat hulu dan mengoptimalkan pengolahan sampah di hilir.

Selama ini, Pemerintah Kota Semarang sudah berupaya mendorong masyarakat mengurangi sampah. Salah satunya dengan memberlakukan larangan penggunaan plastik sekali pakai melalui Peraturan Wali Kota Semarang Nomor 27 Tahun 2019.

Sayangnya, meski sudah tiga tahun diberlakukan, baru sebagian tempat usaha yang menerapkan larangan penggunaan kantong plastik, pipet minum plastik, atau styrofoam tersebut. Peraturan ini lebih sulit diterapkan di pasar tradisional, apalagi di tingkat rumah tangga yang notabene penyumbang sampah terbesar.

Strategi lain yang dilakukan pemerintah kota untuk menurunkan volume sampah yang masuk ke TPA adalah dengan membentuk kampung pilah sampah hingga bank sampah yang ditargetkan bisa terbentuk di seluruh kelurahan.

Kota Semarang juga mengajak masyarakat mulai menjajaki program penguraian sampai organik secara mandiri menggunakan maggot atau larva dari jenis lalat Black Soldier Fly (BSF). Selama ini banyak sampah organik yang tidak dikelola sehingga dibuang ke TPA.

“Komposisi sampah yang masuk ke TPA didominasi sampah organik. Kalau masyarakat bisa membudidayakan maggot dengan baik, otomatis dapat mengurangi beban sampah TPA," ujar Wahyu.

UPTD TPA Jatibarang sendiri memiliki tempat budidaya magot yang mampu memakan 500 kilogram sampah organik per hari. Namun, budidaya tersebut masih skala kecil karena hanya diperuntukkan sebagai wahana edukasi masyarakat.

TPA Jatibarang

Peternak sedang menggembala sapi di TPA Jatibarang Semarang. tirto.id/Baihaqi

Kegagalan Pengelolaan Sampah

Dalam sejarahnya, sistem pengelolaan sampah di TPA Jatibarang telah mengalami beberapa perubahan. Intan Muning Harjanti dalam penelitiannya di Jurnal Planologi Universitas Islam Sultan Agung Semarang Volume 17 Nomor 2 Tahun 2020 menjelaskan, pengelolaan sampah di TPA Jatibarang awalnya menggunakan metode pembuangan terbuka.

Namun, lanjutnya, pada 1993-1994 pengelolaan sampah di TPA ini beralih menggunakan metode controlled landfill yakni memusnahkan sampah dengan cara menimbun dan meratakan dengan tanah. Kemudian pada 1995 beralih ke metode sanitary landfill yang merupakan pengembangan metode sebelumnya.

Demi meningkatkan kapasitas pengelolaan sampah di TPA Jatibarang, Pemerintah Kota Semarang menjalin kerja sama dengan PT Narpati Agung Karya Persada Lestari untuk mendirikan Pabrik Pengolahan Sampah Organik di area TPA.

Kerja sama sejak 2008 itu rencananya akan berlangsung selama 25 tahun. Namun, nyatanya tidak berjalan maksimal. Laporan Kerja Instansi Pemerintah (LKj-IP) Kota Semarang 2015 menyatakan kerja sama tersebut tidak mencapai target.

Berdasarkan penelitian akademisi Universitas Diponegoro, Dwi Arini Setyawati dan Hartuti Purnaweni dalam E-Journal Undip mengungkap, PT Narpati hanya mampu mengolah 250-350 ton per hari dari total keseluruhan sampah yang masuk ke TPA Jatibarang. Total bersih sampah yang terolah menjadi kompos pun lebih sedikit, hanya sekitar 150 ton.

Sudah lama, Pabrik Pengolahan Sampah Organik yang terletak di area depan TPA Jatibarang tidak beroperasi. Berdasarkan pengamatan kontributor Tirto pada Kamis (2/3/2023), mesin pemilah dan pengolah sampah menjadi kompos itu terlihat mangkrak.

TPA Jatibarang

Gerbang TPA Jatibarang. tirto.id/Baihaqi

Proyek PLTSa dan PSEL yang Muluk-Muluk

Pada 2015, Pemerintah Kota Semarang berupaya memanfaatkan timbunan sampah di TPA Jatibarang untuk produksi gas metana. Bahan bakar alternatif yang dihasilkan sempat disalurkan ke rumah-rumah warga di sekitar TPA. Sayangnya, program tersebut tidak berlangsung lama.

Pemerintah setempat beralih haluan, berambisi memanen gas metana dalam jumlah yang lebih besar dengan mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Proyek ini digadang-gadang menjadi solusi untuk mengelola sampah sekaligus menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan energi.

PLTSa masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Kota Semarang menjadi salah satu dari 12 daerah yang terpilih menjalankan pilot project pengembangan PLTSa sesuai Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 yang merupakan pembaruan dari Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016.

Pembangunan PLTSa Jatibarang yang memakan dana Rp45 miliar dilakukan Oktober 2018 sampai dengan Desember 2019. Kapasitas generator gas terpasang sebesar 954 kilowatt.

Pada saat proses uji coba akhir di mana pembeli listrik (PLN) meminta uji ketahanan 3 x 24 jam, PLTSa gagal memenuhi persyaratan. Pembangkit hanya berhasil beroperasi pada kapasitas 800 kilowatt selama 4 jam. Setelah beroperasi lebih dari empat jam, volume gas menurun.

PLTSa Jatibarang akhirnya beroperasi komersial hanya pada kapasitas 200 kilowatt dari kapasitas terpasang 954 kilowatt. Penurunan ini berimplikasi pada penurunan produksi listrik dari proyeksi semula dan penurunan aliran dana kas operator.

Nurhadi, dkk., dalam penelitian berjudul "Evaluasi Pemanfaatan Gas TPA Menjadi Listrik, Studi Kasus TPA Jatibarang Kota Semarang" berpendapat, perbedaan produksi gas TPA dengan hasil studi kelayakan (yang telah dilakukan sebelumnya) disebabkan oleh ketidaksesuaian timbulan sampah.

Menurut Nurhadi, keberadaan ribuan ekor sapi di TPA Jatibarang yang memakan sampah organik turtut mengurangi jumlah sampah yang berdampak pada penurunan timbulan gas metana. Selain itu, pembuangan sampah tidak selalu pada zona yang dirancang PLTSa.

Masih kata Nurhadi, ketidaksesuaian pencatatan berat sampah juga berpengaruh. Sesuai penelitiannya, alat penimbangan di TPA Jatibarang tidak dipasang, pencatatan dilakukan dengan konversi dari volume angkut kendaraan dan jumlah kendaraan yang masuk TPA.

TPA Jatibarang

Tumpukan sampah TPA Jatibarang. tirto.id/Baihaqi

Berdasarkan pantauan kontributor Tirto pada Kamis (2/3/2023), tidak ada aktivitas di area PLTSa. Menurut informasi, PLTSa mangkrak sejak 2021. Sampai saat ini, Kepala DHL Kota Semarang, FX Bambang Suranggono belum memberi jawaban saat ditanya alasan mangkraknya PLTSa.

Malasah PLTSa belum kelar, kini Pemerintah Kota Semarang mewacanakan membangun proyek Pengolahan Sampah Energi Listrik (PSEL) di TPA Jatibarang. Dalihnya, PLTSa hanya berguna mengurangi gas emisi yang ditimbulkan dari tumpukan sampah, sementara PSEL dapat mengurangi tumpukan karena sampah dibakar di insenerator.

Dalam situs resminya pada 22 Maret 2022, Pemerintah Kota Semarang menyebut, PSEL dengan nilai investasi triliunan rupiah itu rencananya mulai dibangun 2023 dan bisa beroperasi pada 2024.

Manajer Program Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah, Nur Colis menilai, selama ini Pemerintah Kota Semarang gagal mengelola sampah. Inovasi pengolahan sampah menjadi kompos hingga PLTSa dengan teknologi landfill gas (LDF) berujung mangkrak. Ia juga menyangsikan keberlangsungan PSEL dengan teknologi thermal incinerator.

Nur Colis berpendapat, pentingnya melakukan kajian matang sebelum merealisasikan suatu program yang muluk-muluk. “Sebenarnya banyak skema pengelolaan sampah, tapi skema yang diterapkan di TPA Jatibarang sering bergonta-ganti karena ketidakberhasilan dalam operasionalnya," kritiknya.

Baca juga artikel terkait SAMPAH atau tulisan lainnya dari Baihaqi Annizar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Baihaqi Annizar
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Abdul Aziz