tirto.id - Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Asia Justice and Rights (AJAR) dan aktivis perempuan adat pembela Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan dari Tanah Papua ajukan sejumlah rekomendasi dan tuntutan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) pada momentum Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) tahun 2022, yang diperingati setiap 9 Agustus.
Salah satunya, mereka mendesak pemerintah pusat dan pemda untuk mengakui, menghormati serta melindungi keberadaan dan hak-hak masyarakat adat terutama perempuan termasuk hak hidup, hak atas tanah, dan hutan adat.
“Hutan bagi perempuan itu adalah hidup, jantung. Selagi hutan masih ada, berarti jantung perempuan itu masih berdebar, masih berdenyut,” kata Ketua Organisasi Perempuan Adat (Orpa) Namblong Rosita Tecuari, dikutip dari rilis yang diterima Tirto pada Selasa (9/8/2022) siang.
Dia menerangkan, bahwa hutan merupakan tempat mereka mendapatkan makanan dan obat-obatan.
“Kalau hutan sudah tidak ada, anggap saja perempuan itu sudah mati. Karena dari situlah kami hidup, kami makan, kami mendapatkan hasil hutan untuk obat-obatan,” ujar Rosita.
Selain itu, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, AJAR dan aktivis perempuan adat pembela HAM dan lingkungan dari Tanah Papua mendesak pemerintah pusat dan pemda untuk menghormati hak masyarakat adat dalam mengontrol, merawat dan mengembangkan pengetahuan asli, budaya dan teknologi inovatif termasuk sumber daya manusia (SDM), flora dan fauna, benih-benih, tradisi lisan, karya seni, dan ekspresi kebudayaan lainnya.
Lalu, mengambil langkah-langkah resmi dan tindakan efektif dengan melibatkan penyintas untuk mengakui kekerasan yang terjadi dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menghentikan dan menyelesaikan pelanggaran HAM dan konflik politik, termasuk membentuk mekanisme pengungkapan kebenaran dan pengadilan yang berpihak pada pemenuhan hak penyintas dan masyarakat adat.
“Menerapkan kebijakan hukum dan tindakan efektif untuk menghormati hak dan memberdayakan peran perempuan dalam mengamankan, merawat dan mengelola tanah, hutan dan lingkungan alam, serta melindungi pembela HAM dan lingkungan termasuk perempuan adat pembela HAM lingkungan,” lanjut mereka.
Kemudian mereka juga mendesak pemerintah pusat dan pemda untuk memastikan dan melibatkan perempuan adat secara bermakna dalam rancangan kebijakan dan usaha-usaha pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang berdampak pada kehidupan perempuan adat dan masyarakat luas berdasarkan prinsip-prinsip free, prior, and informed consent (FPIC).
Lalu, melaksanakan implementasi menetapkan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Papua Nomor 8 Tahun 2013 tentang Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua Nomor 1 tahun 2011 tentang Pemulihan Hak Perempuan Papua bagi Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM.
“Mengambil langkah-langkah hukum dan tindakan efektif melakukan evaluasi dan pemberian sanksi hukum pencabutan izin atas pelanggaran administrasi dan kejahatan lingkungan yang dilakukan perusahaan pengembang usaha perkebunan kelapa sawit, budidaya tanaman pangan dan energi, pembalakan kayu dan pertambangan yang berlangsung di wilayah masyarakat adat,” tambah mereka.
Terakhir, mereka mendesak pemerintah pusat dan pemda untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas kesejahteraan hidup masyarakat adat melalui usaha produksi secara berkelanjutan berdasarkan pengetahuan asli dan prioritas masyarakat adat, tersedianya kebutuhan dasar yang layak, mencakup usaha mata pencaharian, kepemilikan tanah, perumahan yang memadai dengan akses kesehatan, pendidikan, serta pekerjaan.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri