tirto.id - Konflik Cina-Taiwan menghangat dalam beberapa hari terakhir. Hal itu tidak lepas dari kedatangan Ketua Senat Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taiwan pada 2 Agustus 2022 lalu. Cina merespons dengan melakukan latihan perang di sekitar wilayah Taiwan selama 3 hari berturut-turut.
Taiwan pun tidak tinggal diam. Taipei Economic and Trade Office (TETO), salah satu organisasi dagang Taiwan, di Indonesia mengajak Indonesia untuk ikut serta dalam menghadapi 'teror' Cina. Perwakilan TETO di Indonesia John Chen berharap kalangan Indonesia untuk mengutuk aksi Cina kepada Taiwan.
"Saya dengan ini menyerukan kepada semua kalangan di Indonesia untuk mengutuk tindakan militer Cina yang merusak status quo Taiwan dan mengancam perdamaian dan stabilitas regional," ujar Chen dalam keterangan, Jumat (5/8/2022).
Chen juga mengajak publik Indonesia mendorong penghentian provokasi militer Cina. Ia pun berharap soliditas Indonesia-Taiwan tetap berjalan dengan upaya menjaga nilai-nilai demokrasi.
Ia menegaskan bahwa Taiwan selalu bersedia berinteraksi dengan negara-negara di dunia. Mereka juga mendukung gagasan kebebasan dan demokrasi untuk berkunjung ke Taiwan. Selain itu, perdamaian selat Taiwan juga mempengaruhi kesejahteraan para diaspora Indonesia-Taiwan.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia mengaku terus mendorong upaya perdamaian. Pemerintah pun terus memonitor perkembangan konflik kedua negara.
"Indonesia mengikuti dari dekat perkembangan ini dan berharap dapat diambil langkah-langkah untuk peredaan ketegangan," kata Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah dalam keterangan, Jumat (5/8/2022).
Faiza pun memastikan, pemerintah terus menjaga keselamatan WNI yang ada di Taiwan dan mereka sudah menyiapkan langkah yang perlu diambil. "KDEI di Taiwan sudah mempunyai rencana kontijensi," ujar Faiza.
Ahli hubungan internasional sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Hikmahanto Juwana meminta Indonesia tidak ikut narasi mengecam Tiongkok sebagaimana permintaan Taiwan.
"Jangan mengikuti kehendak Taiwan untuk menuntut dan mengecam langkah Tiongkok," jelas Hikmahanto dalam keterangan tertulis, Jumat.
Konflik Cina vs Taiwan
Hikmahanto mengemukakan dua alasan Indonesia dinilai tidak perlu menuruti kemauan Taiwan untuk mengecam langkah Cina.
Pertama, pemerintah Cina di Beijing tidak menghendaki pemerintahan di Taiwan mendeklarasikan kemerdekaannya. Ia mengingatkan, isu Taiwan dan Cina naik karena di Cina ada dua pemerintahan yaitu People's Republic of China (PRC) dan Republic of China (RoC).
Dalam sejarahnya, Cina sendiri menganggap Taiwan sebagai bagian dari kedaulatan negara itu, meski Taiwan tak mengakui klaim Cina.
Dua pemerintahan ini sama-sama mengklaim pemerintahan yang sah di Cina. Namun, secara de facto PRC yang berkedudukan di Beijing yang mengusai seluruh wilayah Cina kecuali Taiwan. Sedangkan RoC hanya Taiwan saja, tidak seluruh Cina. Ia mengingatkan bahwa masalah ini mulai menyebabkan situasi memanas akibat sikap Amerika.
"Justru dalam hal ini yang memunculkan malah adalah AS dengan kunjungan Pelosi. AS tidak henti-hentinya melakukan provokasi di sejumlah kawasan dan terakhir di Eropa saat menyambut keinginan Ukraina untuk menjadi anggota baru NATO. Ini yang memunculkan kekhawatiran Rusia hingga Rusia melakukan operasi militer khusus terhadap Ukraina," Kata Hikmahanto.
Selanjutnya, AS melakukan kebijakan luar negeri berstandar ganda. Di satu sisi, mengecam langkah Rusia yang mengakui Luhantsk dan Donetsk yang memisahkan diri dari Ukraina. Namun, saat Pelosi berkunjung ke Taiwan seolah AS mendukung Taiwan untuk memisahkan diri dari Republik Rakyat China.
Terakhir, kunjungan Pelosi dapat berdampak pada Cina bersekutu dengan Rusia untuk melawan kebijakan luar negeri AS yang provokatif. Kebijakan ini membawa dampak pada dunia.
"Konsekuensinya keamanan dunia akan terpengaruh. Bahkan perang di Ukraina akan berlangsung lebih lama lagi, termasuk penderitaan rakyat Ukraina. Oleh karenanya saya setuju dengan pernyataan Bu Menlu agar tidak ada negara yang melakukan provokasi," tegas Hikmahanto.
"Nah, sekarang sudah saling provokasi karena ternyata PRC tidak mau tinggal diam. Dia lakukan perang besar-besaran gegara kebijakan luar negeri AS. Ujungnya, rakyat Taiwan yang disuruh berperang melawan PRC dan menjadi korban. AS hanya kasih uang dan suplai senjata," tutur Hikmahanto.
Ambil Keuntungan Ekonomi
Ahli hubungan internasional Universitas Jember Agus Trihartono melihat eskalasi konflik Cina-Taiwan sudah terprediksi sejak awal. Namun, ia pesimistis akan terjadi perang.
Pertama, Cina merespons kedatangan Pelosi dalam bentuk latihan perang. Keputusan latihan perang Tiongkok berdasarkan tindakan secara terukur. Ia beralasan, Cina memang perlu sebuah tindakan untuk membuktikan kedaulatan mereka terhadap Taiwan. Tindakan tersebut harus dengan pesan keras karena pihak yang mendatangi Taiwan adalah salah satu simbol negara adidaya Amerika Serikat, yakni Ketua Senat Amerika Serikat Nancy Pelosi.
Kedua, Cina sedang melakukan aksi dengan istilah high call atau istilah mudahnya "gebrak meja" kepada Amerika. Hal ini dilakukan Tiongkok untuk menghitung kekuatan pendukung Taiwan seperti Amerika saat ini. Mereka lalu mengkalkulasi keuntungan yang bisa diperoleh lebih daripada sebelum kunjungan Pelosi.
"Ini kesempatan bagi Cina untuk naikkan derajat. Dalam negosiasi itu menaikkan derajat positioning-nya. Jadi kalau kemarin dia tidak bisa pakai latihan perang, sekarang dia coba mengirim rudal, tapi ingat rudal yang dikirim di dalam kerangka military drill. Dia tidak akan melewati batas itu karena kalau melewati batas itu namanya perang," kata Agus kepada Tirto, Minggu (7/8/2022).
Agus melihat, aksi Cina ini akan membawa keseimbangan baru dalam kawasan Asia Timur. Ia beralasan, Amerika tidak merespons aksi Cina tersebut seperti mengirimkan pasukan perang.
Minim respons AS menandakan negara Paman Sam tidak lagi sama seperti 10 tahun lalu. Ia menduga, sikap Amerika yang berbeda tidak lepas dari dampak Perang Ukraina-Rusia dan perang Afghanistan di masa lalu. Cina berusaha mengambil momentum tersebut.
Agus pun menilai konflik Cina-Taiwan sulit menjadi perang di masa depan. Ia beralasan, kerugian dan biaya yang keluar untuk perang tidak sepadan bagi Cina, Korea Selatan, Jepang, Taiwan hingga Amerika Serikat. Perekonomian semua negara itu akan terganggu apabila terjadi perang.
"Cost-nya itu ekonomi karena sebetulnya investment Taiwan di Cina, Cina di Taiwan, Jepang di Cina, Cina di Jepang, Korea di Cina, Cina di Korea itu sudah sangat tinggi bahkan sudah interdependen satu sama lain. Itu menyebabkan sebuah keputusan perang itu akan berbayar mahal, mahal sekali, lebih mahal daripada yang terjadi di Ukraina," kata Agus.
"Jadi ini akan ada equilibrium baru di situ dan ini kesempatan bagi Cina untuk dua alasan. Pertama, ada alasan karena kunjungan itu. Kedua, Amerika yang dia hadapi hari ini bukan Amerika yang dihadapi 10 tahun yang lalu," tegas Agus.
Dampak Konflik China vs Taiwan bagi Indonesia
Lantas apa dampak dan keuntungan apa yang bisa diperoleh Indonesia? Agus melihat Indonesia tetap akan bersikap One China Policy, tetapi Indonesia perlu sadar adanya eskalasi konflik.
Indonesia perlu terlibat dalam upaya menghilangkan eskalasi konflik Cina-Taiwan. Namun, Indonesia sebaiknya tidak menggunakan forum G20, tetapi menggunakan forum ASEAN Regional Forum.
Mengapa ASEAN Regional Forum? Pertama, ASEAN regional forum yang digelar bukan hanya diisi ASEAN, tetapi juga negara-negara Asia Timur dan Amerika Serikat atau Uni Eropa. Indonesia bersama negara-negara ASEAN akan menjadi negara pendamai dan mendorong keseimbangan baru dunia.
Kedua, Indonesia tidak bisa sendiri dalam menyelesaikan konflik ini. Indonesia perlu dukungan ASEAN agar lebih mudah dalam bernegosiasi dan tidak bersifat pamer ketika konflik ini diselesaikan. Situasi ini akan membuat ASEAN lebih solid dalam menghadapi masalah di masa depan.
Efek lain yang bisa diraup secara tidak langsung dari eskalasi Cina-Taiwan adalah realita "Indonesia Surga Investasi". Pemerintah Indonesia bisa mendeklarasikan bahwa Indonesia adalah negara yang aman dari berbagai konflik dan tempat nyaman untuk investasi.
Ia beralasan, Indonesia tidak menjadi daerah rawan perang seperti Asia Timur dan tidak punya hubungan buruk dengan berbagai negara. Indonesia juga tidak punya musuh besar hingga berperang meski ada masalah dari sisi pengupahan yang tinggi pada buruh.
"Kita sebetulnya bisa mengkapitalisasi itu bahwa at the end itu apa sebenarnya investment itu? Di tempat yang mana? Agak mahal dikit boleh, mahal-mahal dikit tapi kan aman. Enggak akan hilang. Coba terjadi perang, hilang semua lah," kata Agus.
"Kita sebenarnya bisa mengkapitalisasi ini bahwa Indonesia is among the country that very beneficial. Ada beberapa masalah memang di kita seperti buruh, dan lainnya, tetapi kita potensi perang kecil," pungkasnya.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri