tirto.id - Gagasan agar TNI aktif bisa bertugas di kementerian maupun lembaga negara kembali ramai dan menjadi sorotan publik. Hal ini tidak lepas dari ide Menteri Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tujuannya agar TNI aktif bisa ditempatkan di kementerian maupun lembaga.
“UU TNI itu sebenarnya ada satu hal yang perlu [revisi] sejak saya Menko Polhukam, yaitu bahwa TNI boleh ditugaskan di kementerian/lembaga atas permintaan dari institusi tersebut, atas persetujuan presiden. Itu sebenarnya akan banyak membantu, tidak perlu banyak bintang-bintang yang tidak perlu di angkatan darat,” kata Luhut dalam acara Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Jumat, 5 Agustus 2022.
Luhut mengklaim, revisi poin TNI boleh aktif di kementerian lembaga akan baik bagi TNI. Ia menuturkan, “Jadi angkatan darat bisa lebih efisien. Tapi perwira angkatan darat tidak perlu juga berkelahi utuk dapatkan posisi.”
Luhut mengaku, prajurit TNI tidak bisa aktif di kementerian maupun lembaga seperti Polri. Ia menyinggung kementeriannya yang hanya bisa menerima polisi aktif. Saat ini, anggota Polri bisa aktif di kementeriannya, kementerian perhubungan, dan instansi lain.
Oleh karena itu, Luhut berharap TNI bersama Kementerian Pertahanan bisa memasukkan revisi soal penempatan prajurit TNI aktif di kementerian maupun lembaga di masa depan. “Sehingga sebenarnya TNI itu nanti bisa berperan lebih lugas lagi dan perwira TNI,” kata Luhut.
Luhut menambahkan, “Ya, kan, tidak semua harus jadi KSAD. Bisa saja tidak [jadi] KSAD, tapi dia di kementerian seperti yang kita lihat teman-teman dari luar.”
Ramai-Ramai Menolak Gagasan Luhut
Namu gagasan Luhut dikritik keras organisasi masyarakat sipil. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) misal menilai usulan revisi UU TNI adalah upaya pengkhianatan agenda reformasi, apalagi tujuannya mengembalikan prajurit TNI aktif ke institusi sipil seperti kementerian/lembaga.
“Pernyataan Luhut semakin memperjelas bahwa ada upaya serius untuk menghidupkan kembali dwifungsi TNI. Selama ini, telah banyak kebijakan rezim Jokowi yang menunjukkan gejala akan kembalinya rezim otoritarianisme orde baru,” kata Ketua Umum YLBHI, M. Isnur.
Isnur menuturkan, gejala otoritarianisme muncul lewat upaya sistem Komando Cadangan bagi Aparat Sipil Negara (ASN) melalui Surat Edaran Menpan RB No. 27/2021 tentang Peran Serta Pegawai ASN sebagai Komponen Cadangan Dalam Mendukung Upaya Pertahanan Negara.
YLBHI juga melihat upaya TNI seperti di orde baru antara lain pengangkatan TNI aktif, yaitu Kepala BIN Sulawesi Tengah sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, serta pengangkatan Penjabat Gubernur Aceh dari kalangan TNI yang mengakali peraturan perundang-undangan.
“Praktik lainnya yang dipertontonkan seperti perintah kepada prajurit untuk terjun ke sawah, menjaga aset vital nasional dan terlibat mengerjakan proyek infrastruktur. Di sisi lain, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu serta penyelesaian konflik Papua yang melibatkan TNI belum mendapat titik terang,” kata Isnur.
Isnur mengatakan, usulan revisi UU TNI seiring dengan menguatnya gejala otoritarianisme rezim Jokowi sangat membahayakan demokrasi sebagai buah dari reformasi. Tidak hanya itu, pernyataan Luhut sebagai pejabat negara merupakan bentuk kesewenang-wenangan (obuse of power) dan pengingkaran konstitusi.
Isnur mengingatkan konstitusi sudah mengatur peran serta TNI, antara lain: Pertama, Pasal 30 ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur peran serta TNI. Kedua, TAP MPR Nomor: X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara yang tertuang pada BAB IV tentang Kebijakan Reformasi Pembangunan pada Sektor Hukum. Ketiga, TAP MPR Nomor: VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan POLRI dan TAP MPR Nomor: VII/MPR/2000 yang menyinggung pemisahan TNI-Polri dan peran TNI di bidang pertahanan.
Keempat, Pasal 10 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang menyebutkan bahwa TNI berperan sebagai alat pertahanan negara. Kelima, Pasal 5 UU 34/2004 yang menegaskan peran TNI adalah sebagai alat pertahanan negara yang pada implikasinya anggota TNI aktif terpisah dari institusi sipil negara.
Selain itu, Isnur juga menilai logika Luhut tidak masuk akal dengan penempatan personel TNI AD di kementerian lembaga. Sebab, penyelesaian masalah efisiensi anggota justru ada pada pembenahan internal TNI.
“Jika alasan efisiensi TNI AD yang dimaksud adalah karena banyak bintang-bintang yang tidak perlu di lingkungan TNI AD, maka solusinya bukan ditempatkan pada jabatan sipil, melainkan pembenahan sistem dan kaderisasi di tubuh TNI AD untuk mewujudkan TNI yang profesional,” kata dia.
Kritik senada diungkapkan Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anadar. Ia menilai, gagasan Luhut soal revisi UU TNI dengan tujuan prajurit aktif bisa ditempatkan di lembaga sipil sebagai bukti semangat orde baru masih ada di pemerintahan.
“Penting bagi presiden untuk menegur sekaligus ‘membersihkan’ para pejabat dari pikiran semacam ini agar bisa fokus untuk menyejahterakan masyarakat dan melunasi janji yang sampai saat ini belum berhasil dituntaskan,” kata Rivanlee dalam keterangan tertulis, Senin (8/8/2022).
Ia sebut, KontraS menilai usulan Luhut kontraproduktif dalam semangat profesionalisme militer yang mengamanatkan TNI fokus pada pertahanan. Selain itu, upaya penempatan TNI pada kementerian atau jabatan sipil lainnya menunjukkan bahwa agenda pengembalian nilai orde baru semakin terang-terangan dilakukan.
KontraS juga beranggapan upaya penempatan TNI pada jabatan sipil lagi-lagi menunjukkan kegagalan manajerial dalam mengidentifikasi masalah di tubuh institusi. Selama bertahun-tahun, TNI terjebak dalam wacana penempatan perwira aktif di berbagai jabatan sipil. Gagasan itu lantas ingin dilakukan sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan berbagai masalah institusi seperti halnya menumpuknya jumlah perwira non-job.
“Alih-alih melakukan evaluasi mendalam dan menyasar pada akar masalah, wacana untuk membuka keran dwifungsi TNI terus diproduksi,” kata Rivanlee.
Rivanlee menambahkan, “Kami mengkhawatirkan bahwa diperkenankannya TNI menempati jabatan sipil, salah satunya di kementerian akan menciptakan ketidakprofesionalan khususnya dalam penentuan jabatan. Sebab, mekanisme bukan lagi berfokus pada kualitas seseorang dalam kerangka sistem merit, melainkan berdasarkan kedekatan atau ‘power’ yang dimiliki. Belum lagi beberapa menteri yang menghuni kabinet Presiden Joko Widodo memiliki latar belakang militer, sehingga akan berpotensi besar melahirkan konflik kepentingan.”
Bertentangan dengan Agenda Reformasi
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, pernyataan Luhut tidak menghormati tujuan dan agenda reformasi, terutama tentang tata kelola pemerintahan dan tata kelola negara.
“Pemisahan dan pembatasan dilakukan bukan semata-mata bertujuan untuk demokratisasi dan penegakan supremasi sipil, namun juga agar penyelenggaraan pemerintahan maupun pertahanan keamanan negara secara keseluruhan menjadi lebih baik dan optimal. Di antaranya dengan membatasi pelibatan TNI pada peran-peran yang tidak relevan terutama dalam kondisi tertib sipil," kata Fahmi kepada reporter Tirto, Senin (8/8/2022).
Fahmi juga melihat klaim Luhut menandakan kuatnya keyakinan elite berlatar belakang militer bahwa ketidakstabilan dalam sistem dan proses politik diakibatkan oleh kegagalan kepemimpinan sipil dan kelemahan sipil dalam penyelenggaraan negara. Logika itu akhirnya menjadi alasan agar militer harus masuk dan ikut memainkan peran-peran non-militer untuk memastikan sistem berjalan dengan baik dan stabilitas dapat terbangun.
Menurut Fahmi, pandangan Luhut juga membuktikan ada kesesatan berpikir dengan mengabaikan fakta bahwa dominasi dan superioritas kelompok militer selama puluhan tahun telah memiliki andil besar terhadap hadirnya inferioritas sipil. Selain itu, efek superioritas TNI juga memicu mitos bahwa militer adalah superhero dan juru selamat, sehingga dianggap layak dan patut hadir dalam segala kondisi. Padahal, kata Fahmi, konsep penyelamat mestinya diletakkan dalam konteks kegentingan dan kedaruratan.
Ia juga menilai, begitu banyak alasan bagi intervensi dan pelibatan militer dalam penyelenggaraan politik dan pemerintahan suatu negara. Beberapa sebab yang dapat menjadi alasan bagi intervensi militer dalam politik suatu negara, di antaranya terkait melemahnya kewibawaan pemerintah atau partai politik yang berkuasa sehingga rezim harus lebih banyak upaya paksa untuk memulihkan situasi, menghadirkan stabilitas, dan mengatasi hambatan dan potensi perpecahan dalam penanganan krisis.
Namun, Fahmi beranggapan, kehendak melibatkan militer dalam pengelolaan pemerintahan juga menunjukkan masih kuatnya kecenderungan menggunakan pendekatan sekuritisasi, alih-alih govermetalisasi dalam mengelola suatu permasalahan yang sesungguhnya hanya memerlukan penanganan ‘biasa’.
Ia melihat masih ada upaya menjadikan masalah biasa menjadi 'seolah' merupakan ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional yang memerlukan tindakan khusus sehingga pendekatan yang bersifat koersif, represif, atau di luar kewajaran kemudian menjadi dapat ditolerir.
“Nah, karakter lain dari penganut pendekatan sekuritisasi ini dapat diamati melalui penggunaan kata-kata, verbalisasi, maupun langkah-langkah kebijakan yang mencirikan kondisi genting, krisis atau kemendesakan yang sedang dihadapi,” kata Fahmi.
Sementara itu, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko enggan berkomentar banyak tentang gagasan revisi UU TNI yang disampaikan Luhut. Ia hanya memastikan bahwa rencana pelibatan TNI di kementerian lembaga masih dalam diskusi.
“Itu baru diskursus,” kata Moeldoko, Senin, 8 Agustus 2022.
Moeldoko enggan berkomentar apakah gagasan tersebut akan ditindaklanjuti atau tidak. Namun ia menyerahkan kepada DPR. “Tergantung DPR,” kata Moeldoko.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz