tirto.id - Irjen Pol Ferdy Sambo, eks Kadiv Propam Mabes Polri harus menjalani pemeriksaan etik lantaran diduga tidak profesional dalam menangani kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Sambo diduga terlibat dalam penyitaan kamera pengawas di sekitar rumah dinasnya di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Pada Sabtu, 6 Agustus 2022, Sambo dipindahkan dari gedung Bareskrim Polri ke Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. “Irjen FS diduga melanggar prosedur dalam penanganan tindak pidana meninggalnya Brigadir Yosua,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Sabtu kemarin. Inspektorat Khusus telah memeriksa 10 saksi terkait masalah tersebut.
Merujuk 10 saksi dan beberapa bukti, Inspektorat Khusus menetapkan bahwa Sambo diduga melanggar terkait ketidakprofesionalan perihal olah tempat kejadian perkara. Hingga kini pengusutan perkara masih berproses. Pada kasus ini, Inspektorat Khusus berfokus kepada dugaan pelanggaran kode etik Polri, sementara Tim Khusus bekerja membuktikan perkara secara ilmiah.
Pemeriksaan etik Sambo ini merupakan buntut duel Bharada Richard Eliezer atau Bharada E dan Brigadir Yosua di rumah dinas Sambo. Kedua polisi aktif itu disebut baku tembak pada 8 Juli 2022, peluru Eliezer bersarang di tubuh lawannya sehingga Yosua tewas.
Penyidik pun telah empat kali memeriksa Sambo. Imbas lainnya, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo memutasi Sambo. Kini si jenderal bintang dua pindah tugas sebagai Perwira Tinggi Pelayanan Markas Polri. Sementara, Bharada E kini resmi jadi tersangka, ia dijerat Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP, serta terancam hukuman 15 tahun penjara.
Belakangan, Brigadir Ricky Rizal (RR), ajudan istri Sambo, Putri Candrawathi, juga ditetapkan sebagai tersangka dan dikenakan pasal pembunuhan berencana.
“(RR disangkakan) Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Pol Andi Rian Djajadi, Senin, 8 Agustus. Ricky terancam hukuman mati.
Kesaksian Bharada E Berubah-ubah
Fakta-fakta baru mulai terkuak selama proses pemeriksaan Bharada E. Bahkan keterangan pemuda itu berubah-ubah. Muhammad Boerhanuddin, salah satu kuasa hukum baru Bharada Eliezer berkata, kliennya mengaku tidak ada baku tembak di rumah dinas Sambo.
“Kalau informasi (dari Eliezer) tidak ada baku tembak. Pengakuan dia tidak ada baku tembak,” kata Boerhanuddin, Senin (8/8/2022).
Hal tersebut berbeda dengan keterangan awal polisi yang menyatakan bahwa Bharada E menembakkan lima pelor ke arah Brigadir Yosua. Sementara Yosua memuntahkan tujuh peluru kepada lawannya. Imbasnya Yosua tewas.
Bharada E, melalui kuasa hukumnya, juga mengaku mendapatkan tekanan atau diperintah untuk menembak. Namun keterangan awal polisi, Bharada E menembak Brigadir Yosua karena Yosua mengancam dirinya dan Putri Candrawathi. Dalih membela diri itulah yang dilontarkan Humas Mabes Polri sebelum Bharada E resmi jadi tersangka pembunuhan.
Divisi Humas Mabes Polri juga berkata lima peluru yang ditembakkan Eliezer bersarang di tubuh Yosua. Namun, Boerhanuddin menyatakan ada tembakan sengaja ke arah dinding agar terkesan ada baku tembak.
Perbedaan keterangan juga diungkap oleh Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi. "(Eliezer) tidak termasuk kategori jago tembak. Latihan tembak terakhir pada Maret 2022," ucap Edwin ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis, 4 Agustus 2022.
Edwin menambahkan bahwa Eliezer merangkap jabatan. Berdasar surat perintah, Eliezer ditugaskan sebagai sopir. Praktiknya, ia turut bertugas sebagai ajudan jenderal.
Komnas HAM pun buka suara perihal hasil pemeriksaan Bharada Eliezer. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik bilang, tembakan pertama Eliezer sekira enam meter dari Yosua, sedangkan tembakan terakhir berjarak dua meter dan menyasar kepala.
Artinya kesaksian Bharada E ini berbeda dengan keterangan awal polisi saat kasus ini pertama dirilis ke publik pada 11 Juli 2022, meski peristiwanya sudah terjadi 8 Juli.
Ungkap Dalang Insiden
Publik pun menyoroti kasus kematian Brigadir Yosua ini dengan respons bermacam-macam. Ada yang berasumsi Eliezer hanya 'tumbal' perkara, sementara ada aktor lain yang berperan dalam kasus ini. Apalagi Eliezer dikenakan pasal turut serta dan pasal sengaja memberi bantuan (Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP).
Artinya, secara tidak langsung kepolisian mengartikan ada orang lain yang berkelindan perihal meregangnya nyawa Brigadir Yosua.
Sementara perihal Sambo yang diduga tak profesional dalam pengusutan perkara, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi berkata, Sambo bisa dijerat hukuman pidana.
“Dia (Sambo) harusnya kena Pasal 233 KUHP," ujar Fachrizal kepada reporter Tirto, Senin, 8 Agustus 2022. "Kalau dia menyuruh menghancurkan, merusak, membuat, sehingga barang bukti tidak bisa dipakai, itu (merupakan) tindak pidana.”
Pasal 233 menyebutkan "Barangsiapa dengan sengaja menghancurkan, merusakkan atau membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan barang yang digunakan untuk meyakinkan atau menjadi bukti bagi kuasa yang berhak, atau surat pembukti (akta), surat keterangan atau daftar, yang selalu atau sementara disimpan menurut perintah kekuasaan umum, atau baik yang diserahkan kepada orang pegawai, maupun kepada orang lain untuk keperluan jabatan umum dihukum penjara selama-lamanya empat tahun."
Apakah Sambo bisa berperan sebagai dalang di balik peristiwa ini? Fachrizal berpendapat “Berpotensi.” Alasannya karena ada Pasal 55 yang dikenakan kepada tersangka lain. Secara hukum pidana, penggunaan Pasal 55 itu mengartikan ada pihak lain yang juga terlibat dalam kematian Yosua.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan kuasa hukum Bharada Eliezer, Deolipa Yumara. "Ya, dia diperintah oleh atasannya," kata Deolipa, Minggu (7/8/2022). Merunut dari keterangan-keterangan tersebut, maka atasan langsung Eliezer diduga ialah Sambo.
Pembuktian Polri Tak Pandang Bulu
Hemi Lavour Febrinandez, peneliti bidang hukum di The Indonesian Institute, menyatakan kasus Brigadir Yosua bisa menjadi pembuktian Polri bahwa lembaga ini dapat menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Presiden Joko Widodo bahkan juga jelas meminta kepada Kapolri untuk melakukan penyidikan kasus ini secara transparan.
“Kami melihat dengan tingginya atensi publik terhadap pengusutan kebenaran dalam kasus ini juga menjadi pendorong bagi kepolisian untuk segera menyelesaikan perkara ini. Jangan sampai tindakan yang hanya dilakukan oleh personel malah mencoreng wajah kelembagaan secara keseluruhan," ujar Hemi kepada Tirto.
Apakah ada dugaan dan dampak politis dari kasus ini? Hemi berkata, lantaran proses penegakan hukumnya masih berjalan, maka dampak politik yang muncul hanya dorongan dari publik agar kasus ini diusut secara transparan dan memberikan keadilan bagi semua pihak. Teka-teki kematian Yosua ini juga menjadi pertaruhan bagi Polri untuk menunjukkan integritas kelembagaan dalam menindak persoalan hukum yang menjerat personelnya.
Dalam kasus ini, polisi diharapkan mencari dalangnya. “Yang harus dilihat itu bukan pangkat dari individu, tapi lebih pada signifikansi peran dari mereka. Apalagi Bharada E sudah mau menjadi justice collaborator, artinya memungkinkan nama-nama baru yang diduga terlibat nantinya akan muncul," tutur Hemi.
Pengamat kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto menyatakan, problem utama Polri usai penembakan Brigadir Yosua adalah mengembalikan kepercayaan publik. Salah satu upaya mengembalikan kepercayaan publik kepada Korps Bhayangakara itu adalah lebih mengutamakan penerapan pidana umum pada anggota kepolisian yang melakukan pidana daripada proses etik.
“Karena proses etik di kepolisian selama ini tidak transparan dan susah dipertanggungjawabkan pada masyarakat,” ucap Bambang.
Kasus Brotoseno misalnya, kata Bambang, ia malah lolos sidang etik padahal sudah merugikan negara dan divonis lima tahun. Meski pada akhirnya dipecat melalui sidang etik ulang karena desakan publik.
Menurut Bambang, proses penegakan etik di kepolisian cenderung tidak menyentuh substansi masalah karena yang dipersoalkan hanya standar operasional prosedur, bukan substansi dampak dari pelanggaran.
Publik sulit percaya bila dalam kasus pembunuhan Yosua, sidang etik akan memberikan rekomendasi hukuman berat pada Sambo bila yang bersangkutan memiliki catatan ‘kedekatan’ dan prestasi seperti Brotoseno, misalnya. Padahal secara substansial sudah melakukan pelanggaran pidana seperti menghalangi penyelidikan pidana.
“Di sisi lain, kenapa tersangka Brigadir RR atau Bharada E tidak dilakukan hal serupa dengan sidang etik dahulu? Sementara semua harus berlaku asas imparsial. Kalau Kapolri tidak bisa memecahkan problem ini, sangat berat masyarakat untuk kembali percaya pada kepolisian,” jelas Bambang.
Penerapan aturan etik bagi personel yang melanggar pidana ini seolah untuk melindungi personel kepolisian dari sanksi pidana umum. Publik mempersepsikan regulasi etik Polri sebagai alat bersembunyi dari jerat pidana umum, padahal anggota Polri itu bagian dari masyarakat sipil.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz