tirto.id - Praktik politik uang menjadi salah satu ancaman serius pada pemilihan umum serentak 2024. Sebab, politik uang atau money politic diprediksi tidak hanya menyasar antara peserta dan pemilih, tetapi merambah ke penyelenggara pemilu.
Hal itu disampaikan Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Ratna Dewi Pettalolo saat menjadi narasumber dalam webinar “Politik Uang: Potensi, Pencegahan, dan Penindakan” yang digelar pada 9 Februari 2023. Hal penting yang harus dilakukan adalah bagaimana melakukan pencegahan, penindakan, dan pemberian sanksi.
Tantangan lainnya di Pemilu 2024, kata Ratna, masyarakat telah menganggap lumrah politik uang. Mengutip hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2019, sebanyak 48 persen masyarakat beranggapan bila politik uang merupakan hal yang biasa.
“Ini merupakan tantangan besar bagi seluruh stakeholder di tanah air, bagaimana membuat regulasi yang jelas sebagai salah satu syarat pemilu yang demokratis. Tentu saja di dalamnya menyangkut bagaimana penindakan dan sanksi bagi pelaku politik uang,” kata Ratna dilansir laman resmi DKPP.
Menyandari bahwa money politic menjadi persoalan pelik setiap pemilu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja pun meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) lebih aktif lagi menyosialisasikan fatwa mereka yang menegaskan “politik uang adalah haram.”
Bagja menegaskan, sejatinya sudah ada fatwa MUI yang mengharamkan politik uang. Sayangnya, kata dia, hasil ijtihad para ulama tersebut kurang disosialisasikan kepada publik.
“Fatwa ini kurang disebarkan, diceramah, dikhotbah, seharusnya lebih intensif,” kata Bagja di Kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat pada 21 Juni 2023.
Menurut Bagja, sosialiasi pengharaman politik uang perlu digencarkan guna menekan praktik buruk tersebut pada Pemilu 2024. Oleh karena itu, kata Bagja, Bawaslu akan segera berkoordinasi dengan MUI guna menggencarkan sosialisasi fatwa tersebut.
Lebih lanjut, Bagja mengatakan, sejatinya politik uang tidak hanya terjadi pada saat masa kampanye. Namun juga terjadi pada saat masa tenang. Apalagi, kata dia, praktik itu juga terjadi pada masa pencoblosan.
“Pengawasan yang dulu aktif di masa tenang, kami akan tarik ke masa kampanye. Kenapa? Karena bukan hanya di masa tenang, masa kampanye juga mulai politik uangnya. Kemudian di hari H, setelah hari H jarang politik uang," tutur Bagja.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Ni'am Sholeh mengatakan, fatwa yang menyebut praktik politik uang haram telah diterbitkan pada 2018. Menurut dia, fatwa itu diterbitkan sebagai bentuk tanggung jawab sosial ulama guna melahirkan demokrasi yang lebih baik.
Selain itu, saat Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan pertimbangan putusan gugatan sistem pemilu proporsional tertutup beberapa waktu lalu, MK sempat meminta pemerintah tegas memberikan sanksi kepada partai politik yang membiarkan praktik politik uang. MK menyebut ada tiga langkah konkret untuk mencegah praktik politik uang.
Pertama, mengurangi politik uang yaitu partai politik dan para calon anggota DPR/DPRD harus memperbaiki dan meningkatkan komitmen untuk menjauhi praktik politik uang setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Kedua, penegakan hukum harus benar-benar dilaksanakan terhadap setiap pelanggaran pemilihan umum, khususnya pelanggaran terkait praktik politik uang, tanpa membeda-bedakan latar belakangnya, baik penyelenggara maupun peserta pemilu.
Agar ada efek jera, MK bahkan mengusulkan agar pemerintah mengusulkan pembubaran terhadap partai politik yang terbukti membiarkan berkembangnya praktik politik uang.
Ketiga, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran dan pendidikan politik agar tidak menerima dan mentoleransi praktik politik uang karena merusak prinsip-prinsip pemilu yang demokratis.
Respons Partai Politik
Politikus PDI Perjuangan, Deddy Sitorus mengakui, sangat sulit menghilangkan praktik politik uang dengan sistem pemilu daftar terbuka. “Karena calon-calon yang tidak punya rekam jejak di masyarakat atau jejaring politik pasti akan ambil jalan pintas dengan melakukan politik uang," kata Deddy saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (27/6/2023).
Di sisi lain, sikap pragmatis masyarakat yang dinilai cukup permisif membuka ruang yang luas untuk praktik politik uang berkembang.
Ia mengatakan, PDI Perjuangan mengandalkan mesin partai dan kaderisasi yang kuat agar caleg-calegnya mampu membangun jaringan dan interaksi di akar rumput. Mereka didukung mesin partai yang militan dan tersebar luas untuk membantu para caleg menggalang suara.
Strategi lain, kata dia, dengan membuat badan saksi yang bertugas merekrut, melatih, dan memobilisasi saksi partai di TPS yang ada.
“Kader-kader yang terlibat politik uang juga biasanya mendapat sanksi atau bahkan diberhentikan oleh Badan Kehormatan jika terbukti secara meyakinkan melakukan politik uang," tutur Deddy.
Ia berharap, Bawaslu menjalankan tugas dan menegakan hukum terhadap pihak yang melakukan praktik politik uang.
Sementara itu, Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi alias Awiek mengatakan, praktik politik uang akan hilang tergantung pendidikan setiap partai politik.
“Tergantung masing-masing parpol dalam melakukan pendidikan politik ke caleg. Khususnya bagi caleg ketika berkampanye di masyarakat yakni kampanye cerdas," kata Awiek saat dihubungi reporter Tirto.
PPP, kata dia, melakukan penyadaran kepada masyarakat guna memerangi praktik politik uang. Namun, Awiek enggan membeberkan secara rinci. Sebab, hal itu merupakan materi kampanye pada Pemilu 2024.
Ia meminta masyarakat jika ada calon yang menerapkan praktik politik uang agar cukup mengambil uangnya dan jangan memilih orangnya.
Koordinator Juru Bicara DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra mengatakan, ada tiga kunci menekan praktik politik uang pada setiap hajatan pemilu, yakni edukasi masyarakat, kemauan kuat dari para caleg, serta dorongan dan dukungan dari pimpinan parpol agar kader-kadernya rajin turun ke lapangan dan menjauhi politik uang.
“Menurut kami, makin sering kader turun ke lapangan, makin dikenali kami oleh warga, makin tak berjarak kami dengan warga, makin minim potensi politik uang, dan semakin besar peluangnya terpilih," kata Herzaky kepada Tirto.
Herzaky mengatakan mencegah praktik politik uang sejatinya tidak susah dilakukan sepanjang setiap partai politik memiliki kemauan untuk memeranginya. Menurut dia, hal itu merupakan tantangan politik masa kini.
“Bisa selagi ada kemauan. Salah satu tantangan dalam politik terkini," tutur Herzaky.
Mengapa Politik Uang Susah Dihilangkan?
Dosen politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo mengatakan, money politic sulit dihilangkan dari perpolitikan Indonesia. Apalagi, kata dia, praktik politik uang sudah ada sejak pemilihan kepala desa di zaman Belanda. Konon, kata dia, ketika pemilih diberikan uang sebenarnya bukan untuk membuat mereka memilih, tapi untuk sekadar mengganti uang buruh mereka di hari itu.
“Banyak orang Jawa dan Indonesia enggak enakan orangnya. Ketika dikasih uang, mereka gak enak akhirnya mereka nyoblos orang yang kasih duit. Akhirnya ini jadi praktik yang umum hari ini. Orang gak lagi gak enak kalau terima duit. Bahkan enak-enak aja, sehingga ini yang menyebabkan sebenarnya dari supplyand demand-nya tak jelas gitu, maksud saya apakah pemilih yang meminta duit, gak juga? Enggak ada eksplisit seperti itu," kata Kunto saat dihubungi reporter Tirto.
Namun, kata Kunto, tidak semua calon melakukan praktik politik uang. Masalahnya, kata dia, politik uang sudah membudaya dalam politik di Indonesia, sehingga sangat susah dihilangkan.
“Di 2024 saya melihatnya pasti masih ada politik uang itu. Baik politik uang itu dalam bentuk uang ke caleg atau kandidat ke warga maupun kandidat ke partai bahkan. Jadi, menurut saya politik uang ini akan sangat susah dihilangkan," ucap Kunto.
Kunto menegaskan, politik uang bukan semata-mata karena sistem pemilu terbuka yang diterapkan di Indonesia. Namun, praktik ini sudah seperti lingkaran setan.
“Bisa jadi justru kalau [sistem pemilu] tertutup, money politic dua kali lipat. Ke partai iya, ke warga iya," kata Kunto.
Kunto menilai, saat ini parpol tak mampu melakukan apa pun untuk menekan praktik politik uang di Indonesia. Bahkan, kata Kunto, parpol justru akan dirugikan jika mereka menghukum calon yang melakukan praktik politik uang.
“Kalau pun partai menghukum calon, misalnya yang melakukan money politic, tetapi dia terpilih dan dia mendapatkan kursi, itu justru merugikan si partai itu sendiri karena di pemilu berikutnya banyak caleg yang kemudian tidak mau masuk ke partai itu. Menurut saya yang efektif adalah terkesan klise kayaknya enggak mungkin juga ya penegakan hukum yang kuat," tutup Kunto.
Hal senada diungkapkan peneliti dari Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah. Ia menyakini, praktik politik uang pada Pemilu 2024 akan terus terjadi. Ia mengungkap sejumlah alasan.
Pertama, kata dia, kondisi parpol yang tidak sehat. Herdiansyah mengatakan, demokratisasi internal parpol belum terbangun dengan baik, sehingga masih tersandera oleh kelompok oligarki alias para pemodal.
“Bibit pragmatisme dipelihara dalam situasi ini," kata Herdiansyah kepada reporter Tirto.
Kedua, kata dia, tumpulnya parpol dalam menjalankan mesin kaderisasi. Syahdan, parpol masih cenderung merekrut para pesohor atau mereka yang memiliki modal besar sebagai pendulang suara.
“Ini juga yang menyuburkan praktik tawar menawar yang berujung politik transaksional," ucap Herdiansyah.
Ketiga, kata dia, parpol juga gagal menjalankan fungsi pendidikan politik untuk publik. Ini berdampak terhadap pragmatisme pemilih yang seolah terus dilanggengkan.
“Faktanya, kendatipun calon memiliki rekam jejak buruk, masih saja terpilih. Ini, kan, anomali dalam politik kita,” kata Herdiansyah
Potensi Politik Uang di Tiga Ranah
Pegiat pemilu dan dosen hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini mengatakan, politik uang dalam pemilu bisa terjadi dalam tiga ranah. Pertama, kata dia, berupa jual beli tiket pencalonan oleh partai politik atau candidacy buying.
“Ini popular disebut sebagai praktik mahar politik atau uang perahu. Calon menyetor sejumlah uang agar bisa dicalonkan oleh partai politik dalam pemilu atau pilkada," kata Titi kepada reporter Tirto.
Kedua, kata dia, jual beli suara atau vote buying di mana calon atau pihak-pihak yang terafiliasi dengan calon, baik resmi ataupun tidak menyuap pemilih dengan sejumlah uang untuk ditukar dengan suara mereka di bilik suara.
“Jual beli suara ini popular disebut money politic di masyarakat kita," ucap Titi.
Ketiga, lanjut dia, politik uang berupa tindakan menyuap otoritas kepemiluan baik penyelenggara pemilu atau hakim pemilu demi memanipulasi suara atau kepentingan pengamanan suara.
“Misalnya terjadi saat Pilkada Garut 2018 atau pun kasus suap terhadap mantan Ketua MK, Akil Mochtar pada 2013,” kata Titi Anggraini.
Lebih lanjut, Titi mengatakan, ada banyak faktor yang menyebabkan politik uang sulit dieliminir. Pertama, kata dia, instrumen hukum yang sangat lemah dan cenderung sulit untuk melakukan penegakan hukum secara efektif.
“Jadi, ada disparitas antara pengaturan dalam UU dengan realitas yang ada di lapangan. Misalnya, soal jual beli suara di pemilu, pengaturan dalam UU hanya bisa menyasar tindakan yang terjadi saat masa kampanye, masa tenang, dan saat hari pemungutan dan penghitungan suara. Sementara praktik jual beli suara juga terjadi di luar masa-masa itu," jelas Titi.
Di sisi lain, menurut Titi, perbedaan pemahaman atau tafsir antara Bawaslu dan aparat penegak hukum dari kepolisian dan kejaksaan sering kali menghambat tindak lanjut penanganan kasus di Sentra Gakkumdu sebagai pintu masuk penanganan perkara tindak pidana pemilu.
“Untuk praktik mahar politik bahkan baik UU Pemilu ataupun UU Pilkada tidak punya skema hukum untuk penegakkannya," kata Titi.
Ia mengakui, memang ada larangan, tetapi tidak ada pasal yang mengatur mekanisme penghukuman atau penjatuhan sanksi. Ia menyebut bisa dibilang, instrumen hukum yang ada memang didesain untuk tidak memungkinkan dilakukannya penegakan hukum yang memberi efek jera terhadap praktik mahar politik ini.
“Bisa jadi pembuat UU memang tidak mau menjerat dirinya sendiri,” kata Titi menambahkan.
Lebih jauh, ia mengatakan, partai politik juga kurang mengawal dan menjaga kadernya untuk menjaga komitmen politik bersih antikorupsi. Partai politik tidak punya skema mengawasi kader agar tidak terlibat dalam praktik jual beli suara.
"Seolah-olah caleg dilepas begitu saja dalam kerja-kerja pemenangan, yang penting mampu mendulang suara sebanyak-banyaknya," jelas Titi.
Lalu, kata dia, pemilih banyak yang pragmatis dengan memanfaatkan momentum pemilu untuk mendapatkan insentif dari para caleg. Hal itu karena pemilih menganggap kalau bukan di masa pemilu maka mereka tidak akan punya posisi tawar terhadap para politisi mengingat ada keterputusan relasi aspiratif antara warga dengan para wakilnya di luar periode pemilu.
"Jadi pemilih terdorong untuk juga berperilaku pragmatis dan oportunistik yang sejatinya dipicu oleh perilaku para politisi itu sendiri," kata Titi Anggraini.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz