Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Beri Sinyal ke Erick & Sulitnya PBNU Lepas dari Politik Praktis

Sinyal dukungan ke Erick Thohir yang dilontarkan Gus Ipul membuat sikap PBNU terkait politik praktis mulai dipertanyakan.

Beri Sinyal ke Erick & Sulitnya PBNU Lepas dari Politik Praktis
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf (tengah), didampingi Menteri BUMN Erick Thohir (kiri), dan personel grup musik Slank Bimbim (kanan) menyampaikan keterangan pers terkait Resepsi Puncak Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) di Plaza PBNU, Jakarta, Jumat (27/1/2023). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/YU

tirto.id - Pemilu 2024 menjadi tantangan berat bagi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk tidak terlibat politik praktis sebagaimana digaungkan KH Yahya Cholil Staquf selaku ketua umum. Salah satunya terkait sinyal dukungan yang dilontarkan Sekjen PBNU, Saifullah Yusuf kepada Erick Thohir.

Saifullah menilai Erick yang juga Menteri BUMN tersebut layak mendampingi bakal calon presiden dari PDIP, Ganjar Pranowo pada Pemilu 2024. “Banyak warga NU memang menginginkan Erick Thohir. Itu bisa dilihat dari hasil survei yang kita baca,” kata pria yang akrab disapa Gus Ipul pada Selasa (25/4/2023).

Erick Thohir, kata Gus Ipul, dianggap sukses menjadi Ketua SC Penyelenggaraan 1 Abad NU. Hal itu menjadikan banyak warga maupun tokoh-tokoh NU menginginkan Erick Thohir bisa mendampingi Ganjar Pranowo.

Jika bisa dipasangkan, Gus Ipul akin keduanya merupakan pasangan ideal yang bisa ditawarkan ke publik. Ganjar dengan pengalaman birokrasinya yang telah dua periode memimpin Jawa Tengah dipadukan dengan Erick yang merupakan tokoh muda yang memiliki visi kuat sangat cocok.

Gus Ipul tidak hanya bicara soal Erick. Ia juga melihat ada tokoh NU lain yang juga potensial seperti Menkopolhukam Mahfud MD hingga Gubernur Jawa Tengah, Khofifah Indar Parawansa.

Pernyataan Gus Ipul di atas tentu menarik. Sebab, publik tidak lupa bahwa ketua umum PBNU saat ini, Gus Yahya menginginkan agar NU tidak terseret politik praktis di masa depan di bawah kepemimpinannya. Ia ingin mengembalikan PBNU kepada khittah sebagaimana muktamar PBNU 1926 bahwa NU berjuang demi kepentingan bangsa.

Dalam keterangan kepada publik, Gus Yahya berulang kali mengingatkan kepada nahdliyin baik struktural maupun kultural jangan menjadikan NU sebagai identitas politik, apalagi bagi mereka yang baru saja atau tiba-tiba mengaku bagian dari NU tanpa jejak rekam yang jelas.

“Maka saya sampaikan tidak akan ada calon presiden dan calon wakil presiden atas nama NU,” kata Gus Yahya kepada wartawan di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Selasa (31/1/2023).

Gus Yahya meminta kepada setiap bakal capres, calon kepala daerah hingga legislatif untuk berani menunjukkan jejak rekam dan prestasi saat berkampanye. Alih-alih menggunakan nama besar NU yang rawan ternodai bila digunakan sebagai alat kampanye.

“Siapapun yang hendak maju, yang hendak menawarkan diri sebagai calon apa pun, hendaknya berdasarkan prestasi diri, kredibilitasnya sendiri, dan track record-nya sendiri. Tidak berdasarkan pada klaim-klaim identitas tertentu," tegasnya.

Pernyataan Sekjen PBNU Bukan Sikap Organisasi?

Analis politik dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai, pernyataan Gus Ipul bukan mewakili instansi, melainkan pernyataan individu.

“Apalagi Gus Ipul sendiri, kan, juga berseragam politikus pula, jadi itu lebih kepada ekspresi dukungan sesama politisi," kata Wasisto, Rabu (26/4/2023).

Wasisto mengatakan, pernyataan Gus Ipul akan dimaknai masing-masing oleh nahdliyin. Ia pun menilai pernyataan Gus Ipul tidak akan memicu NU tertarik pada politik praktis karena hal tersebut kembali pada urusan personal.

“Saya pikir urusan politik praktis biar itu jadi aspirasi personal tiap warga NU saja. Kalau secara institusi, NU berfokus saja jadi sebagai penjaga kebhinekaan dan moderasi beragama," kata Wasisto.

Wasisto tidak memungkiri NU akan ditarik ke politik praktis. Oleh karena itu, kata dia, Gus Yahya selaku ketua umum harus melakukan langkah proaktif agar PBNU tidak terseret lebih jauh ke politik praktis.

“Hal ini yang perlu menuntut ketum PBNU untuk terlibat aktif dalam menjaga NU agat tidak ikut arus politik praktis hingga Februari 2024 melalui adanya imbauan secara kontinu dan adanya konsekuensi bagi yang tak taat melalui surat edaran,” kata Wasisto.

YAHYA CHOLIL STAQUF TERPILIH SEBAGAI KETUM PBNU 2021-2026

Ketua Umum PBNU terpilih Yahya Cholil Staquf (tengah) melambaikan tangan usai pemilihan Ketua Umum PBNU pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 di Universitas Lampung, Lampung, Jumat (24/12/2021). Yahya Cholil Staquf terpilih sebagai Ketua Umum PBNU periode 2021-2026 pada Muktamar NU ke-34 mengalahkan Said Aqil Siradj. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

Sementara itu, analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah menilai, prnyataan Gus Ipul yang mengarah pada nama-nama kandidat, terutama Erick tidak lepas dari sikap Gus Yahya yang lebih menolak Muhaimin Iskandar selaku ketua umum PKB. Dukungan kepada Erick sebagaimana diucapkan oleh Gus Ipul menandakan bahwa Erick berkontribusi besar bagi PBNU.

“Meski demikian, suara NU untuk Erick tidak akan signifikan karena pengaruh PBNU, sebaliknya PKB dan Muhaimin juga tidak bisa dengan mudah kehilangan suara lantaran propaganda ketua umum PBNU yang cenderung memusuhi,” kata Dedi, Rabu (26/4/2023).

Dedi menerangkan, suara NU sudah dimiliki PKB, bahkan jauh sebelum kepemimpinan KH Said Aqil Siradj yang disebut NU dekat dengan PKB. Said Aqil tidak mengajak PBNU memilih PKB, tapi memang pemilih NU cenderung konsisten memilih PKB.

“Yahya Staquf sendiri tidak konsisten dengan pendapatnya, satu waktu ia menyatakan PBNU tidak harus PKB, waktu lainnya ia menyatakan NU tidak haram memilih PAN, sehingga terlihat jelas yang Yahya sampaikan ‘PBNU tidak berpolitik adalah PBNU tidak ber PKB.’ Untuk itu, statement sekjen secara normatif tidak akan bermasalah bagi PBNU, terlebih hubungan PBNU dengan Erick juga semakin dekat, bahkan Erick pun secara administratif telah masuk dalam keluarga NU," kata Dedi.

“Persoalannya, statement itu tidak lantas menggiring suara NU ke Erick, sebaliknya tanpa ada statement itu kelompok pemilih NU yang cenderung ke Erick pun sudah cukup banyak, dalam beberapa survei Erick memang alami peningkatan popularitas dan elektabilitas di kalangan nahdliyin," lanjut Dedi.

Lantas, apakah NU akan lepas dari politik praktis di masa depan? Ia menilai sulit. Dedi mengatakan, memenangkan suara NU sama dengan memenangkan Pemilu 2024.

“PBNU tidak akan lepas dari politik praktis, termasuk menentukan dan berharap ada kader mereka yang ikut kontestasi, sulit melepaskan PBNU dari upaya politik, karena PBNU sejauh ini masih sebatas organisasi Islam berbasis massa, berbeda dengan Muhammadiyah yang miliki jalur perjuangan, semisal pendidikan dan kesehatan, mereka tentu fokus pada jalur perjuangan itu, sementara NU tidak," kata Dedi.

Akan tetapi, kata dia, upaya memenangkan NU tidak mudah karena tidak bisa sekadar memegang elite NU. Kandidat harus mengambil suara massa NU lewat simpul-simpul di daerah yang berasal dari berbagai partai.

Oleh karena itu, kata Dedi, restu elite NU tidak bisa dikategorikan mendapat suara massa NU karena akar rumput NU tidak serta merta mendengarkan elite. Hal ini yang membuat NU berbeda dengan ormas Islam lain.

“Memenangkan pemilih NU sama halnya memenangkan pemilu, tetapi tidak lantas suara NU dapat dikendalikan oleh elit di PBNU, karena sebagian besar NU adalah kader kultural yang bisa saja tidak mengenal elite NU secara organisasi. Mengambil suara NU harus melalui simpul-simpul tokoh di tingkat bawah, dan kelompok ini bisa menyebar ke banyak partai, bahkan ke PDIP sekalipun," kata Dedi.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz