Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Manuver Partai Baru dan Non-Parlemen Mengerek Elektabilitas

Masih ada ceruk yang bisa diambil partai baru dan non-parlemen, salah satunya pemilih pemula atau anak muda.

Manuver Partai Baru dan Non-Parlemen Mengerek Elektabilitas
Ilustrasi Partai Politik Baru. tirto.id/Fuad

tirto.id - Partai baru dan parpol non-parlemen tak mau ketinggalan dan mulai bersuara jelang Pemilu 2024. Mereka mulai melakukan sejumlah kegiatan dan membangun narasi politik setelah lolos sebagai peserta pemilu pada 14 Februari 2024.

Partai Buruh salah satunya. Said Iqbal, sang ketua umum pada Minggu, 9 April 2023 menyebut, wacana koalisi besar yang dihembuskan partai-partai parlemen sebagai manuver politik yang membahayakan Indonesia. Partai Buruh pun akan membentuk “koalisi orang kecil” untuk melawan narasi tersebut.

“Untuk melawan koalisi besar parpol, Partai Buruh akan mengajak partai politik non-parlemen dan partai politik baru untuk menggagas koalisi orang kecil demi menghadang sistem demokrasi terpimpin," kata Iqbal dalam keterangannya.

Partai yang terdiri atas 4 konfederasi buruh serta kelompok organisasi masyarakat ini meyakini bahwa sistem demokrasi terpimpin pada masa lalu sudah terbukti menghancurkan sistem politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan demokrasi di Indonesia. Hal ini karena kekuasaan terpusat pada sekelompok elite yang seolah-olah bisa mengatur semua kemauan rakyat.

“Partai Buruh melihat arah politik yang dijalankan oleh koalisi besar parpol membahayakan demokrasi karena semakin membatasi jumlah capres-cawapres yang sudah terbatas akibat presidential threshold,” ujar Said Iqbal.

Oleh karena itu, koalisi orang kecil yang digagas Partai Buruh akan melibatkan parpol non-parlemen, akademisi, aktivis pergerakan, serikat buruh, serikat petani, mahasiswa, penggiat lingkungan, penggiat hak asasi manusia, aktivis perempuan, dan gerakan sosial lainnya untuk melawan hegemoni parpol besar yang merasa paling mengetahui cara membangun Indonesia dan sistem demokrasi yang sehat.

“Koalisi orang kecil ini akan melawan dengan cara konstitusional yaitu menghapus presidential threshold, parliamentary threshold, dan membatalkan omnibus law UU Cipta Kerja melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Manuver politik juga dilakukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Bedanya, PSI yang notabene bagian dari koalisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf justru menyatakan akan merapat ke Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang saat ini terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP. Wacana “koalisi besar” sendiri muncul dari Airlangga Hartarto, ketum Golkar usai silaturahim Ramadan di Kantor DPP PAN.

Partai yang didirikan eks presenter Grace Natalie itu mengklaim upaya mereka merapat ke KIB tidak lepas dari wacana koalisi besar di mana KIB diisukan akan melebur dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang yang terdiri dari Gerindra dan PKB. Alasannya, PSI yakin koalisi besar akan melanjutkan program Jokowi.

“PSI tegak lurus masuk dalam koalisi tim Jokowi mulai hari ini," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (DPP PSI) Giring Ganesha di Jakarta Pusat, Rabu (5/4/2023).

Selain dua partai di atas, Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Perindo sebagai parpol non-parlemen, belakangan juga aktif melakukan manuver politik. Sama dengan PSI, PBB dan Partai Perindo ini menjadi bagian dari koalisi parpol pendukung Jokowi-Ma’ruf pada Pemilu 2019.

Misalnya, PBB di bawah nakhoda ketua umum Yusril Ihza Mahendra belakangan aktif melakukan safari politik dengan sejumlah parpol. Sebut saja, Yusril bertemu dengan para petinggi PDIP, PPP hingga Prabowo Subianto –salah satu bakal kandidat capres yang dijagokan Gerindra dan selalu masuk tiga besar dalam sejumlah survei—di Kertanegara, Jakarta Selatan.

Langkah PBB bertemu Prabowo diikuti dengan Hary Tanoesoedibjo selaku Ketua Umum Perindo. Hary Tanoe membawa sejumlah pengurus untuk bersilaturahmi dengan salah satu kandidat bakal calon presiden yang akan maju pada pemilu mendatang.

Selain itu, ada juga manuver partai baru yang melakukan deklarasi langsung kepada kandidat yang mencul jelang 2024, seperti Partai Ummat. Pada Rabu (15/2/2023), parpol yang didirikan Amien Rais ini mendeklarasikan terbuka terkait dukungan mereka terhadap Anies Baswedan. Sejauh ini, Anies dijagokan oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang digawangi Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat.

“Jadi tadi mengenai presiden itu disebut langsung namanya Anies Baswedan,” kata Amien Rais yang juga Ketua Majelis Syuro Partai Ummat saat pembacaan hasil Rakernas Partai Ummat di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur pada Rabu (15/2/2023).

Manuver yang Tidak Serta-merta Jadi Suara

Meskipun sejumlah manuver dilakukan partai baru maupun partai lama non-parlemen, toh prediksi perolehan suara mereka tidak terlalu besar, bahkan masih berpotensi tidak lolos ambang batas parlemen yang dipatok 4 persen.

Dalam rilis Lembaga Survei Indonesia pada 9 April 2023 misalnya, suara partai baru masih belum mencapai ambang batas minimal suara parlemen. Suara tertinggi dipegang Perindo (3,1 persen).

Di bawah Perindo ada PSI dengan perolehan 1 persen, Partai Ummat (0,9 persen), Partai Buruh (0,5 persen), Partai Bulan Bintang (0,3 persen), bahkan PKN 0 persen. Angka tersebut diperoleh berdasarkan survei terhadap 1.229 responden dengan margin of error 2,9 persen dan dilakukan pada 31 Maret hingga 4 April 2023.

Analis politik dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) Wasisto Raharjo Jati tidak memungkiri bahwa manuver partai baru dan non-parlemen saat ini adalah upaya mereka menarik perhatian pemilih. Hal ini tidak lepas dari perhatian publik yang lebih fokus pada partai parlemen.

“Selama ini pemilih lebih banyak disuguhkan berbagai pemberitaan para parpol besar. Tentu berbagai manuver adalah upaya menunjukkan eksistensi sekaligus pemanasan awal," kata Wasisto kepada reporter Tirto, Senin (10/4/2023).

Wasisto menilai, partai non-parlemen memiliki kans lebih rendah untuk masuk parlemen. Mereka perlu mesin yang kuat dan usaha lebih agar bisa meraup suara.

Ia juga mengingatkan bahwa manuver bisa saja membuat efek elektoral atau justru menurunkan efek elektoral. Ia beralasan, elektoral kerap muncul di Indonesia karena dua faktor, yakni kekuatan figur dan memanfaatkan blunder rival politik yang kemudian diolah menjadi narasi kampanye.

Di sisi lain, pemilih Indonesia sudah mulai tersegmentasi kepada pilihan figur maupun parpol. Situasi itu membuat partai perlu kerja keras untuk merebut ceruk suara pemilih untuk bisa lolos parlemen, apalagi partai non-parlemen yang perlu membuat basis massa.

“Hal ini yang menjadi tugas berat bagi kontestan pemilu untuk berupaya merebut ceruk suara pemilih, utamanya pemilih pemula yang masih bisa diubah preferensinya,” kata Wasisto.

Akan tetapi, Wasisto melihat masih ada ceruk yang bisa diambil partai baru, salah satunya adalah pemilih pemula yang didominasi anak muda yang belum memilih. Partai non-parlemen perlu menyesuaikan agenda mereka untuk meraup suara pemilih tersebut meski perlu effort lebih.

“Diperlukan usaha lebih. Meskipun sudah tersegmentasi, namun ada populasi pemilih pemula yang sebagian besar didominasi anak muda belum menyatakan pilihan manapun. Tentu kalau manuver tersebut disinkronkan dengan aspirasi dan kondisi pemilih tersebut, bisa jadi menjadi efek elektoral," kata Wasisto.

Wasisto mencontohkan manuver yang bisa digunakan memainkan isu krusial pemilih pemula, seperti masalah ketersediaan lapangan kerja, perumahan, maupun juga aksesibilitas yang mungkin akan lebih diapresiasi oleh pemilih muda. Namun, ia kembali mengingatkan tidak semua manuver bisa menjadi elektabilitas.

Selain itu, isu lain yang bisa dimanfaatkan adalah soal pencapresan. Ia tidak memungkiri bahwa permainan isu pencapresan bisa membawa pemilih. Saat disinggung soal Partai Ummat yang belum mendapat efek politik setelah mendeklarasikan Anies, Wasisto menduga efek elektoral lebih dulu ke partai pengusung primer seperti Nasdem, PKS maupun Demokrat.

“Hal itu mungkin dikarenakan keikusertaan partai tersebut yang baru muncul setelah parpol besar, deklarator utama beserta koalisinya sehingga efeknya mengalir ke deklarator utama dulu,” kata Wasisto.

Akan tetapi, Wasisto menilai partai baru tetap akan mendapatkan efek elektoral di kemudian hari selama sosialisasi atau masa kampanye.

Sementara itu, analis politik dari Indonesia Political Power, Ikhwan Arif menilai, aksi partai non-parlemen saat ini tengah berupaya menggeser posisi partai parlemen. Mereka melakukan manuver demi menaikkan elektabilitas di Pemilu 2024 dan menggeser partai yang sudah ada saat ini.

“Dengan demikian manuver politik yang dilakukan partai non-parlemen terkait isu-isu politik yang populis akan berpengaruh terhadap arah pilihan pemilih,” kata Ikhwan.

Ikhwan menambahkan, “Secara tidak langsung para pemilih yang berorientasi pada partai politik akan menjadi sasaran utama partai untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas partai.”

Ikhwan juga menilai, manuver politik yang terus digencarkan partai non-parlemen akan memberikan efek elektoral secara signfikan untuk memenangkan pemilu apabila partai nonparlemen mampu membaca celah ketika partai parlemen tidak mampu membawa keseluruhan aspirasi dan tuntutan dari rakyat.

Ia tidak memungkiri bahwa partai non-parlemen harus ada usaha maksimal untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang ada pada partai parlemen. Ia mencontohkan partai baru harus mampu mengembangkan isu-isu terkait UU Ciptaker yang bersinggungan langsung dengan kepentingan rakyat, dengan demikian partai non-parlemen bisa mengisi kekosongan porsi yang ada di legislatif.

Ikhwan juga tidak memungkiri, berdasarkan sejumlah lembaga survei, partai baru atau partai lama non-parlemen masih ada yang berpotensi gagal masuk parlemen atau ada yang lolos, tetapi masih di margin of error. Ia menduga, kejadian tersebut tidak lepas dari semakin kompetitifnya persaingan dalam merebut kursi di parlemen. Hal itu tidak lepas dari semakin banyak partai, sementara sangat sedikit pemilih yang menjadi pemilih loyal terhadap partai itu sendiri.

“Di samping itu partai politik juga sangat bergantung pada faktor tokoh kuat di dalam partai. Tanpa dukungan tokoh yang punya pengaruh kuat, partai politik juga akan kesulitan untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas partai," kata Ikhwan.

Hal ini menunjukkan bahwa manuver partai politik ini masih sulit membuat mereka memiliki suara yang besar, tanpa didorong oleh tokoh-tokoh kuat yang punya elektabilitas dan kapabilitas sebagai tokoh partai.

Oleh karena itu, Ikhwan menilai, partai baru perlu figur kuat untuk menarik suara pemilih. Ia pun tidak memungkiri bahwa capres-cawapres bisa membawa efek elektoral ke partai. Ia menilai kandidat di pilpres akan membawa efek signifikan suara pemilih. Oleh karena itu, partai perlu hati-hati dalam mengusung kandidat.

“Mencari figur yang kuat akan membantu menyelamatkan partai agar tidak gagal masuk parlemen,” kata Ikhwan.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz