Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Polemik Penghapusan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye

Kebijakan KPU soal LPSDK menuai kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih.

Polemik Penghapusan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye
Ilustrasi Partai Politik Peserta Pemilu. tirto.id/Ecun

tirto.id - Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang meniadakan ketentuan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) peserta pemilu menuai polemik. Hal ini dinilai hanya demi mengakomodir kepentingan politik peserta pemilu yang tidak ingin disibukkan dengan urusan administrasi pelaporan keuangan.

Di sisi lain, KPU berdalih menghapus ketentuan LPSDK peserta pemilu karena tidak diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Anggota KPU RI, Idham Holik menegaskan hal ini dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI bersama KPU, Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Kementerian Dalam Negeri di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta sebagaimana dikutip Antara.

Sebagai catatan, KPU sebelumnya mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 34 tahun 2018 tentang Dana Kampanye Pemilu. Aturan tersebut mewajibkan peserta Pemilu 2019 untuk menyusun pembukuan penerimaan sumbangan dana kampanye yang diterima setelah pembukuan laporan awal dana kampanye (LADK) serta menyampaikan laporan kepada KPU sesuai tingkatan.

Selain alasan tidak diatur dalam UU Pemilu, KPU juga beralasan pemilu akan berlangsung sebentar. Waktu kampanye Pemilu 2024 berbeda dengan Pemilu 2019 yang mencapai mencapai 6 bulan 3 minggu. Oleh karena itu, KPU memutuskan LPSDK cukup dimuat dalam Laporan Akhir Dana Kampanye dan Laporan Penerimaan Pengeluaran Dana Kampanye.

Sontak, kebijakan KPU tersebut dikritik koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih. Peneliti ICW yang juga anggota koalisi, Kurnia Ramadhana menuntut, agar KPU mengakomodir kembali pelaksanaan LPSDK pada Pemilu 2024.

“Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia mencabut keterangannya dan tetap mengakomodir Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye untuk pemilihan umum tahun 2024 mendatang,” kata Kurnia dalam keterangan tertulis, Jumat (9/6/2023).

Kurnia menuturkan, sejumlah alasan agar LPSDK kembali dilanjutkan. Pertama, LPDSK diartikan sebagai mandat langsung pelaksanaan pemilu sesuai Pasal 3 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, yakni jujur, terbuka dan akuntabel.

Selain itu, kata Kurnia, Pasal 4 huruf b UU Pemilu juga menyatakan penyelenggaraan pemilu bertujuan mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas.

Kedua, kata dia, alasan waktu kampanye pendek tidak masuk akal. Koalisi masyarakat sipil, kata Kurnia, menilai proses administrasi pelaporan bukan beban KPU, melainkan partai politik. KPU cukup menerima, memverifikasi dan mempublikasikan ke publik.

“Selain itu, praktik LPSDK ini sudah terjadi sejak lama dan mestinya telah diketahui oleh setiap peserta pemilu. Kami khawatir tindakan para anggota KPU ini hanya untuk mengakomodir kepentingan politik peserta pemilu yang tidak ingin disibukkan dengan urusan administrasi pelaporan keuangan," kata Kurnia.

Ketiga, kata Kurnia, logika KPU dinilai bengkok karena LPDSK masuk dalam LADK dan LPPDK. Ia mengatakan, LADK dan LPPDK berbeda posisi, yakni pelaporan dilakukan awal dan setelah kampanye, sementara LPSDK berisi laporan tengah kampanye. LPSDK bermanfaat untuk menjadi alat pengecek transparansi dan keterbukaan, bahkan kesesuaian sebelum pemungutan suara.

Terakhir atak keempat, kebijakan LPSDK sudah diterapkan sejak 2014. Para Komisioner KPU saat ini adalah mereka yang pernah aktif sebagai pengurus KPU daerah maupun praktisi kepemiluan sehingga tidak bisa dikatakan para pelaku lupa urgensi dari LPSDK.

Selain meminta KPU untuk tetap menerapkan LPSDK, kata Kurnia, koalisi masyarakat sipil mendesak agar Bawaslu menegur KPU soal penghapusan LPSDK.

“Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang dimandatkan untuk menjalankan fungsi pengawasan harus menegur Komisi Pemilihan Umum dalam hal penghapusan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye," kata Kurnia.

RDP Komisi II DPR RI dengan Bawaslu

Suasana rapat dengar pendapat (RDP) Bawaslu, KPU, dan DKPP bersama Komisi II DPR RI, Senin (27/3/2023). (Tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama)

Respons Partai Politik

Sejumlah partai politik merespons soal penghapusan ketentuan laporan LPSDK ini. Wakil Ketua Umum DPP Partai Perindo, Ferry Kurnia Rizkiyansyah meminta agar semua ketentuan dikembalikan pada undang-undang yang berlaku.

“Yang pasti harus sesuai undang-undang,” kata Ferry usai kegiatan penandatanganan kerja sama politik PDIP-Perindo di DPP PDIP, Jakarta Pusat, Jumat (9/6/2023).

Ferry yang juga mantan komisioner KPU RI mengatakan, posisi Partai Perindo bukan mendukung atau menolak. Ia hanya ingin KPU mengikuti regulasi yang ada. “Jadi jangan keluar itu saja," kata Ferry.

Sementara itu, Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto mengatakan, PDIP mendorong agar dana kampanye itu dibuka. Ia menilai hal itu perlu dilakukan dalam menjaga nilai keadilan atau fairness.

“Kami tetap mengusulkan bahwa memang di dalam menjaga fairness laporan dana kampanye itu penting. Mengapa? Karena ada ketentuan UU dalam pemilu presiden, UU di dalam pileg, dalam parpol tentang pentingnya akuntabilitas parpol,” kata Hasto.

Hasto mengatakan, pertanggungjawaban anggaran penting karena ada batasan penerimaan bantuan yang diterima partai lewat korporasi atau individu. PDIP, kata Hasto, berharap agar ekspektasi tersebut bisa direspons dengan baik.

PDIP, kalaim Hasto, berupaya mempertanggungjawabkan pengelolaan dana kampanye partai dengan baik. PDIP sendiri sudah menerima sertifikasi ISO manajemen aset sehingga partai berubah menjadi partai terbuka, mampu mengelola bantuan rakyat, diterima dan transparan.

“Kami punya rekening gotong royong. Sehingga kami tetap akan pertanggungjawabkan karena itu bagian dari akuntabilitas partai, transparansi yang harus dikedepankan oleh parpol,” kata Hasto.

KPU: Dana Kampanye Wajib Disampaikan dalam LADK

KPU pun menanggapi kritik ihwal menghapuskan LPSDK bagi peserta pemilu. Komisioner KPU, Idham Holik mengklaim, dihapuskannya LPSDK bukan berarti peserta pemilu tidak diwajibkan melaporkan sumbangan dana kampanye yang diterima.

“Bukan berarti sumbangan dana kampanye tidak disampaikan ke KPU,” kata Idham saat dikonfirmasi, Minggu (11/6/2023).

Idham mengatakan, sumbangan dana kampanye tetap wajib disampaikan ke KPU yang dicantumkan dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK). Peserta pemilu menyerahkannya sebelum masa kampanye dimulai.

“Jadi, kalau peserta pemilu baik partai politik, calon DPD, ataupun pasangan calon presiden-wakil presiden, itu menerima dana kampanye, maka wajib disampaikan dalam LADK," ucap Idham.

Idham mengatakan peserta pemilu juga wajib membuka Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) yang memuat sumbangan dana kampanye satu hari setelah ditetapkan sebagai peserta pemilu.

Di sisi lain, KPU meminta agar penerimaan dan pengeluaran dana kampanye oleh peserta pemilu dilaporkan setiap hari lewat aplikasi sistem informasi dana kampanye (Sidakam). Perihal informasi terkait dana kampanye di Sidakam dapat diakses publik melalui situs infopemilu.kpu.go.id.

“Misalkan pada hari ketiga, partai politik menerima sumbangan dana kampanye, besoknya, itu kami minta agar disampaikan ke Sidakam. Nah, Sidakam ini nanti kita akan mirroring-kan pada info pemilu," tutur Idham.

Idham mengakui, memang informasi dalam Sidakam itu tidak detail, karena hanya menampilkan nama penyumbangnya dan tidak mencantumkan nomor identitas kependudukan si penyumbang.

“Jadi tetap, misalnya yang bersangkutan menerima dana kampanye di hari ketiga masa kampanye, di hari keempat, kami akan meminta ke mereka untuk meng-updete informasi itu dan ditampilkan ke publik,” kata Idham Holik.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz