Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Menyoal PKPU yang Beri 'Karpet Merah' Eks Napi Korupsi Nyaleg

Titi Angraini menilai, KPU melakukan penyelundupan pasal terkait persyaratan mantan terpidana korupsi nyaleg.

Menyoal PKPU yang Beri 'Karpet Merah' Eks Napi Korupsi Nyaleg
Petugas keamanan bersiaga di halaman kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Sabtu (29/6/2019). ANTARA FOTO/Reno Esnir/aww.

tirto.id - Kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menerbitkan aturan yang terkesan memberikan 'karpet merah' terhadap mantan terpidana korupsi, banjir kritik. KPU dinilai menghilangkan persyaratan masa jeda lima tahun bagi eks terpidana korupsi yang dicabut hak politiknya.

Beleid yang dipersoalkan itu, yakni Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPD (PKPU 11/2023).

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menduga, KPU menyelundupkan pasal yang membuka celah eks terpidana korupsi maju dalam kontestasi pemilu legislatif tanpa melewati masa jeda waktu lima tahun. Celah itu tertuang dalam Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023.

Dua aturan itu secara sederhana menyebutkan, mantan terpidana korupsi diperbolehkan maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda waktu lima tahun sepanjang vonis pengadilannya tak memuat pencabutan hak politik.

“ICW meyakini ada rentetan kekeliruan logika pikir dari KPU menyangkut hal tersebut," kata Kurnia dalam keterangannya kepada reporter Tirto, Selasa (23/5/2023).

Kurnia mengatakan, dua beleid tersebut, baik PKPU untuk calon anggota DPR, DPRD, maupun DPD bertentangan dengan Putusan MK No 87/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No 12/PUU-XXI/2023.

Menurut Kurnia, dua putusan MK itu sama sekali tidak memberikan pengecualian syarat berupa adanya pencabutan hak politik jika mantan terpidana korupsi ingin maju sebagai calon anggota legislatif.

Berikut bunyi putusan MK terkait pengujian Pasal 240 ayat (1) huruf g dan Pasal 182 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu):

Putusan MK No 87/PUU-XX/2022 menyatakan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut.

Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:

(i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;

(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Sementara itu, Putusan MK No 12/PUU-XXI/2023 menyatakan norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:

Perseorangan dapat menjadi calon anggota DPD RI setelah memenuhi persyaratan:

(i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;

(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang- ulang.

Kurnia mengatakan, dua putusan MK sama sekali tidak memberikan pengecualian syarat berupa adanya pencabutan hak politik jika mantan terpidana korupsi ingin maju sebagai calon anggota legislatif. Karena itu, ia menilai KPU terkesan menunjukkan sikap permisif terhadap praktik korupsi politik serta memberikan 'karpet merah' kepada para koruptor dalam mengikuti pesta demokras pada 2024.

KPU membuat aturan turunan guna menjelaskan pasal tersebut, yakni Keputusan KPU Nomor 352 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR RI dan DPRD (KepKPU 352/2023).

KPU turut melampirkan simulasi perhitungan yang digunakan ketika menghadapi peristiwa mantan terpidana korupsi yang dikenakan pencabutan hak politik dan ingin maju sebagai calon anggota legislatif.

“Mantan terpidana yang diputus pidana tambahan pencabutan hak politik 3 (tiga) tahun, yang bersangkutan bebas murni pada 1 Januari 2020. Jika mendasarkan pada amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 maka jeda waktu untuk bisa dipilih harus melewati 5 (lima) tahun sehingga jatuh pada 1 Januari 2025. Namun, berdasarkan pertimbangan hukum yang termuat pada halaman 29 Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud yang mempertimbangkan 'sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap', sehingga mantan terpidana yang mendapatkan pidana tambahan pencabutan hak politik 3 (tiga) tahun, maka hanya berlaku pencabutan hak pilih tersebut. Yang bersangkutan telah memiliki hak untuk dipilih per tanggal 1 Januari 2023, terhitung 3 (tiga) tahun sejak bebas.”

Berdasarkan KepKPU itu, kata Kurnia, ICW menilai KPU seperti berpura-pura tidak memahami konstruksi putusan MK. Semestinya, kata dia, perhitungan yang benar tetap berpijak pada kewajiban melewati masa jeda waktu lima tahun, kemudian dikurangi dengan lamanya pencabutan hak politik.

Oleh karena itu, lanjut Kurnia, jika terpidana dikenakan pencabutan hak politik selama tiga tahun sebagaimana simulasi tersebut, hak politiknya tetap tidak bisa langsung digunakan, melainkan harus menunggu dua tahun lagi agar mandat putusan MK berupa masa jeda waktu dapat terpenuhi.

MK pun telah menguraikan alasannya mengapa waktu lima tahun harus dipatuhi sebagai masa jeda sebelum seorang mantan terpidana maju dalam kontestasi politik.

“Sebagaimana telah dikutip dalam pertimbangan hukum putusan-putusan sebelumnya masa tunggu 5 (lima) tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang dipandang cukup untuk melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah, termasuk dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.”

KPU Dinilai Selundupkan Pasal

Pengajar Kepemiluan di Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menilai, KPU jelas telah melakukan penyelundupan pasal soal pengaturan persyaratan mantan terpidana. Sebab, kata dia, mengurangi masa jeda lima tahun bagi mantan terpidana yang mendapatkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dalam durasi yang lebih pendek. Sehingga masa jeda lima tahun bisa dikurangi.

“KPU telah menyimpangi Putusan MK yang telah terang benderang dan KPU telah memberikan karpet merah bagi mantan terpidana khususnnya koruptor," kata Titi kepada reporter Tirto, Rabu (24/5/2023).

Ia mengatakan dalam halaman 48 butir 3.13 Putusan MK Nomor 12/PUU-XXI/2023, sudah menegaskan soal pemberlakuan syarat seragam soal masa jeda lima tahun bagi mantan terpidana yang menjadi calon anggota DPR, DPRD, dan DPD.

"Menimbang bahwa terhadap petitum permohonan, pemohon yang juga menghendaki adanya pemaknaan tambahan, yaitu tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap," ucap Titi.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu menambahkan, pada satu sisi, pemaknaan tambahan demikian akan mengakibatkan perbedaan persyaratan antara calon kepala daerah, anggota DPR dan anggota DPRD dengan persyaratan calon anggota DPD.

Hal demikian menciptakan ketidakselarasan dan ketidakharmonisan norma syarat pencalonan bagi semua jabatan yang dipilih dalam pemilihan, kata Titi Angraini.

Di sisi lain, kata dia, pemaknaan tambahan tersebut potensial menciptakan ketidakpastian hukum. Pasalnya, pidana tambahan merupakan jenis pidana yang bersifat fakultatif yang dapat dijatuhkan hakim untuk kasus konkret yang ditangani oleh lingkup peradilan di luar Mahkamah.

Terlebih lagi, menurut Titi, dalam penjatuhan pidana tambahan yang bersifat sementara tidak mudah menemukan ukuran waktu antara pemberlakuan pidana tambahan dengan tenggang waktu masa tunggu (jeda) bagi mantan terpidana untuk mengajukan diri sebagai calon peserta pemilu, sehingga menyulitkan dalam penerapannya.

Sementara itu, kata dia, penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik secara permanen atau seumur hidup adalah di luar konteks mantan terpidana sebagaimana dimaksud dalam putusan-putusan MK.

“Dengan demikian, agar tercipta perlakuan yang sama bagi semua calon yang akan ikut kontestasi jabatan-jabatan publik yang dipilih melalui pemilihan (elected officials), hingga saat ini Mahkamah tetap dengan pendirian sebelumnya dan belum terdapat alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk menambahkan dalam syarat kumulatif berupa pidana tambahan sebagaimana dimohonkan pemohon,” kata Titi.

KPU Sesat Tafsir Putusan MK?

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman mengatakan, KPU menafsirkan putusan MK dengan keliru dan sangat tidak perlu. Seharunya KPU tidak perlu membuat tafsir terhadap putusan MK tersebut.

“KPU seharunya perhatikan saja di dalam amar putusannya dan tidak perlu membuat tafsir-tafsir sendiri yang justru tafsir tersebut yang sesat," kata Zaenur saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (24/5/2023).

Ia mengatakan, KPU seharunsya mengikuti dua putusan MK itu bahwa seorang mantan terpidana itu harus sudah melewati lima tahun setelah selesai melewati pidana penjara berdasar keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, sebagai syarat untuk maju sebagai anggota caleg.

“Sehingga tidak menimbulkan kontradiktif. Nah, kalau dengan logika saja, tanpa ada penjatuhan terhadap pencabutan hak politik itu saja sudah harus melewati masa lima tahun, apalagi diikuti dengan penjatuhan pencabutan hak dipilih dan hak pilih. Itu secara logika, maka seharusnya ditambahkan. Bukan malah dikurangi," ucap Zaenur.

Padahal dahulu kala, kata dia, KPU sempat membuat larangan bagi eks pidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Namun, kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) karena dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Menurut Zaenur, penerbitan dua beleid itu melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Dampaknya adalah mereka-mereka yang terpidana rasuah dapat lebih cepat maju menjadi calon anggota legislatif.

Selain itu, kata dia, hal tersebut dapat menghilangkan efek jera, semangat pemberantasan korupsi, dan juga menunjukkan bahwa KPU tidak punya komitmen dalam pemberantasan korupsi.

“Sangat disayangkan. Karena seharusnya pemilu dapat menjadi ajang memilih wakil-wakil terbaik, bukan mereka yang bermasalah secara hukum,” kata Zaenur.

KPU Klaim Tak Bertentangan dengan Putusan MK

Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari mengatakan, dua beleid itu sebetulnya tidak bertentangan dengan putusan MK. Ia mengatakan masa jeda lima tahun sudah tidak berlaku apabila mantan terpidana korupsi mendapatkan hukuman pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.

“Maka kemudian ketentuan yang lima tahun menjadi tidak berlaku,” kata Hasyim di Jakarta.

Hasyim memberikan simulasi terkait putusan MK yang menyatakan jedanya adalah lima tahun sejak bebas atau selesai menjalani pidana sampai dengan batas pendaftaran bakal calon. Namun, kata, dia, ternyata mantan narapidana korupsi itu dalam putusan pengadilannya pernah terkena pidana dan kemudian ada sanksi berupa pencabutan hak politik selama tiga tahun.

Sebagai contoh, jika ada eks terpidana korupsi memperoleh pidana tambahan pencabutan hak politik selama 3 tahun pada 1 Januari 2020, ketika bebas pada 2023, KPU tak lagi menganggap narapidana yang bersangkutan telah selesai menjalani masa hukumannya.

“Yang bersangkutan cukup durasinya 3 tahun, tidak sampai ke 5 tahun sebagaimana jeda yang diatur MK. Itu substansinya," tutur Hasyim.

Hasyim juga membantah terkait tudingan KPU melakukan penyelundupan pasal, sehingga kemudian terkesan mengistimewakan eks narapidana korupsi untuk ikut nyaleg pada Pemilu 2024.

Ia mengklaim PKPU Nomor 10 Tahun 2023 telah melalui berbagai serangkaian prosedur. Mulai dari focus group discussion dengan ahli, uji publik bersama elemen masyarakat, rapat dengar pendapat dengan DPR dan pemerintah hingga masuk harmonisasi.

“Kalau ada pihak-pihak yang menuduh KPU melakukan penyelundupan hukum, saya kira kita perlu diskusi lagi soal ini," tutur Hasyim.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz