tirto.id - Rapat pleno verifikasi administrasi pada awal Februari 2023 menetapkan sembilan bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, salah satu dari daftar bakal calon tersebut pernah divonis penjara akibat kasus korupsi.
Kesembilan bakal calon tersebut ialah: Hilmy Muhammad, Ahmad Syauqi Soeratno, Tugiman, Sindu Kurniawan, GKR Hemas, A. Khudhori, Trisno Sunardi, R. A. Yashinta Sekarwangi Mega, dan Cinde Laras Yulianto. Mereka mendapatkan tak kurang dari 2.000 dukungan minimal pemilih yang tersebar di tiga kabupaten di Provinsi DIY.
Kendati demikian, Ketua KPU DIY, Hamdan Kurniawan memilih tidak berkomentar atas hal tersebut. Ia juga mengaku belum tahu menahu perihal bakal calon eks terpidana korupsi itu. Pasalnya, saat ini, KPU baru melakukan verifikasi factual terhadap dukungan pemilih minimal dari setiap bakal calon.
“Sekarang masih proses verifikasi faktual,” kata Hamdan singkat saat dikonfirmasi kontributor Tirto pada Senin (20/2/2023).
Adapun, verifikasi rekam jejak akan dilakukan pada masa pendaftaran calon. Apabila saat pendaftaran bakal calon terbukti memiliki rekam jejak pidana, maka ia akan mendapatkan syarat tambahan. Syarat tambahan ini diatur UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2022.
Berdasarkan UU Pemilu, eks narapidana yang hendak mencalonkan diri menjadi peserta pemilu, termasuk calon anggota DPD RI wajib menyatakan secara terbuka bahwa dirinya pernah menjadi terpidana.
Aturan tersebut diperinci dalam Peraturan KPU yang mewajibkan eks narapidana melampirkan empat dokumen tambahan. Pertama, surat keterangan dari kepala lembaga pemasyarakatan. Kedua, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Ketiga, eks narapidana juga mesti melampirkan potongan atau tangkapan layar surat pernyataannya di media massa. Terakhir, ia juga mesti menyertakan surat dari pemimpin redaksi media massa lokal maupun nasional. Surat tersebut akan menjadi bukti bagi mantan narapidana yang telah mengemukakan ke publik perihal kasusnya secara jujur dan terbuka.
“Semua itu akan diberikan kalau sudah pendaftaran calon. Kalau sekarang, belum tahu,” imbuh Hamdan.
Secara terpisah, anggota Bawaslu DI Yogyakarta, Agus Muhamad Yasin juga menjelaskan hal yang sama. Ia mengatakan Bawaslu masih mengawasi proses verifikasi faktual yang yang belum selesai di tiga kabupaten: Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta.
“Kami belum akan bersikap karena proses pendaftarannya masih agak lama. Sesuai dengan peraturan UU No 7, maupun Peraturan KPU, termasuk Peraturan Bawaslu yang mengatur terkait itu,” tutur Yasin saat diwawancara Tirto, Selasa (21/2/2023).
Menyoal Peraturan KPU
Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM menyebut, Peraturan KPU yang membolehkan eks koruptor mencalonkan diri di pemilu merupakan jalan tengah. Pasalnya, ada anggapan bahwa pelarangan eks narapidana mencalonkan diri merupakan pelanggaran HAM.
Ditambah, amar putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 telah memberi syarat tambahan untuk eks koruptor: ia mesti menjalani masa jeda selama lima tahun untuk kembali turut serta dalam pemilu.
“Titik tengahnya ada di-cooling period ini, masa pendinginan selama 5 tahun, memberi kesempatan kepada mereka untuk berintegrasi kepada masyarakat, mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik, memberi kesempatan untuk bertobat,” terang Zaenur kepada Tirto.
Akademisi Hukum Tata Negara (HTN) dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El Guyanie menyatakan hal serupa. Hanya saja, menurut dia, Peraturan KPU semestinya bisa melarang mantan koruptor untuk mencalonkan diri.
Gugun menambahkan, jika ada aturan di PKPU yang melarang mantan koruptor mencalonkan diri, maka hal itu tidak berarti bertabrakan dengan UU Pemilu.
“Tidak ada larangan untuk melarang eks koruptor menjadi caleg. Dia (UU Pemilu) hanya membolehkan. Artinya tidak ada potensi tabrakan norma. Tidak ada tabrakan aturan,” jelas Sekretaris Prodi HTN ini.
Gugun menjelaskan, pembatasan mantan koruptor untuk mencalonkan diri menjadi legislator adalah perlu. Sebab korupsi, menurutnya, termasuk extraordinary crime—kejahatan yang memiliki dampak negatif dan sisi destruktif luar biasa.
“Korupsi masuk extraordinary karena kejahatan ini menimbulkan kemiskinan, negara bisa bangkrut. Setara dengan terorisme yang juga mengancam kedaulatan, mengancam ideologi bangsa; narkotika juga, bisa merusak generasi bangsa. Itu termasuk kategori extraordinary crime sehingga perlakuannya, mantan narapidananya juga harus berbeda,” terang Gugun.
Maka dari itu, Gugun menyatakan publik mesti mendorong KPU untuk berani membuat larangan baru terhadap koruptor.
Mantan Koruptor, Patutkah Mencalonkan Diri?
Kendati demikian, Gugun menyatakan, mantan koruptor tak bisa dilarang begitu saja menjadi peserta pemilu. Hanya saja, keturutsertaan eks napi kasus korupsi itu mesti dilimitasi oleh beberapa syarat. Maka dari itu masa jeda lima tahun yang diatur putusan MK sudah cukup.
“Lima tahun itu untuk eks koruptor introspeksi diri. Masa itu juga untuk merenung bagi pemilih. ‘Lima tahun apa sih yang harus dipilih ini? Calon-calonnya siapa?’” tutur Gugun. “Kalau melarang sepenuhnya itu menabrak pasal HAM, dan itu hak aturan konstitusional.”
Secara terpisah, Zaenur mengungkapkan pendapat berbeda. Ia mengatakan orang yang memiliki riwayat cacat, punya jejak rekam buruk perihal integritas, tak semestinya mengisi jabatan publik.
“Masih banyak anak muda atau putra-putri terbaik bangsa yang tidak berasal dari latar belakang bermasalah seperti eks terpidana korupsi,” tegas Zaenur.
Zaenur juga mengungkapkan pembiaran eks koruptor mengisi jabatan publik mengusik rasa keadilan masyarakat. “Karena masyarakat ketika mau melamar kerja (perlu) memenuhi persyaratan kelakukan baik dengan menunjukkan SKCK, sedangkan bagi para pejabat tidak dibutuhkan syarat itu,” lanjut Zaenur.
Karena itu, Zaenur menyatakan, masyarakat juga memiliki kewajiban untuk tidak memilih mantan koruptor. Dukungan terhadap mantan koruptor akan menghapus efek jera dari penindakan perkara korupsi.
“Tidak ada juga penghargaan untuk orang-orang yang jujur dan itu mencederai upaya-upaya untuk membudayakan nilai kejujuran. Karena ternyata orang yang tidak jujur saja bisa menjadi penjabat,” kata Zaenur.
Tak menutup kemungkinan mantan koruptor menjadi residivis—melakukan tindak korupsi di masa yang akan datang. Meski istilah residivis, tambah Zaenur, seringkali merupakan kejahatan jalanan, ia juga bisa disematkan pada pelaku korupsi.
“Apakah mungkin terjadi residivis dalam tindak pidana korupsi juga? Ada,” kata Zaenur. “Ada residivis, eks terpidana korupsi, menjadi bupati, kemudian menjadi tersangka lagi, terpidana lagi. Kasus kayak gitu ada.”
Penulis: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Editor: Abdul Aziz