Menuju konten utama
Pemberantasan Korupsi

Saat Parpol Justru Memberikan Karpet Merah bagi Eks Napi Korupsi

Kasus Romy ini mengungkap kembali sejumlah kader partai yang sempat terjerat korupsi, tapi kembali menduduki posisi strategis di parpol.

Saat Parpol Justru Memberikan Karpet Merah bagi Eks Napi Korupsi
Terdakwa kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama Romahurmuziy meninggalkan ruangan seusai menjalani sidang vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (20/1/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nz.

tirto.id - Penunjukan Muhammad Romahurmuziy sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menuai kritik. Sebab, pria yang akrab disapa Romy itu baru keluar dari penjara pada April 2020 karena terseret kasus korupsi. Alih-alih karier politiknya mandek, ia justru dapat “karpet merah” jelang Pemilu 2024.

Plt. Ketua Umum DPP PPP, Mardiono menjawab alasan pemberian jabatan penting di partai kepada Romy yang notabene adalah eks napi koruptor. Pertama, Romy telah selesai menjalani vonis pidana. Oleh karena itu, hak Romy sebagai warga negara sudah pulih.

Kedua, kata Mardiono, PPP mengangkat Romy karena pria kelahiran 10 September 1974 tersebut berpengalaman dengan kasus korupsi sehingga bisa mencegah praktik rasuah di tubuh partai berlambang ka'bah.

“Kami butuh beliau agar memberikan guidance pada kader-kader kami agar tidak terjerembab dalam hal yang sama. Dengan kata lain, beliau bisa menjadi duta antikorupsi di tengah-tengah masyarakat, bisa menjadi duta antikorupsi di tengah-tengah kader-kader Partai Persatuan Pembangunan,” kata Mardiono di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (3/1/2023).

Mardiono juga menjelaskan bahwa Romy adalah aset PPP. Ia adalah cicit dari KH Tholhah Mansur yang notabene adalah salah satu pendiri Nahdlatul Ulama, ibu Romy juga politikus andal PPP, sementara ayah Romy adalah tokoh di ikatan pemuda NU.

Mardiono menilai, Romy bisa saja tersandung kasus korupsi karena kecelakaan. “Belum tentu apa yang menimpa beliau sengaja dilakukan, kan belum tentu, karena undang-undang pidana korupsi kita, kan, barangsiapa sengaja dan tidak sengaja,” tutur Mardiono.

“Bisa saja kecelakaan lalu lintas, orang juga gak sengaja. Tapi karena terjadi harus dihukum,” kata eks Wantimpres ini.

Mardiono menegaskan, PPP memberi ruang kadernya untuk berkiprah. Ia juga menegaskan bahwa PPP tidak mendukung praktik korupsi. Ia menegaskan bahwa partai berlambang ka'bah tersebut mendukung semangat antikorupsi, tetapi tidak menutup hak asasi.

“Kan mereka punya hak, kecuali pengadilan mencabut hak politiknya, juga hak asasi manusia negara juga menjamin hak politik warganya,” kata Mardiono.

Mengapa Eks Napi Korupsi Masih Bisa Dapat Kursi Strategis di Partai?

Kejadian Romy mengungkap kembali sejumlah kader partai yang sempat terjerat kasus korupsi, tetapi kembali menduduki posisi strategis di parpol.

Di masa lalu, ada juga M. Taufik yang sempat aktif sebagai Ketua DPD Partai Gerindra Jakarta. Taufik pernah menjadi terpidana korupsi dan divonis 18 bulan karena terbukti bersalah dalam kasus korupsi pengadaan barang dan jasa hingga Rp488 juta pada Pemilu 2004. Kala itu, Taufik adalah Ketua KPU DKI Jakarta.

Selain itu, ada juga nama Nurdin Halid yang juga sempat tersandung kasus korupsi. Ia pernah dihukum dua tahun penjara pada 2007 karena dinilai terbukti bersalah dalam kasus tindak pidana korupsi pengadaan minyak goreng. Nyatanya, saat ini ia tercatat sebagai wakil ketua umum DPP Partai Golkar 2019-2024.

Nama lain yang cukup populer adalah Andi Alfian Mallarangeng. Eks menpora era Presiden SBY ini pernah tersandung kasus korupsi proyek pembangunan pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor.

Atas kasusnya tersebut, Andi Mallarangeng divonis 4 tahun penjara serta denda Rp200 juta oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Juli 2014. Vonis ini diperkuat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Ia sempat mengajukan kasasi, tapi Mahkamah Agung menolaknya.

Setelah keluar dari penjara pada April 2017, Andi Mallarangeng memilih tetap aktif di dunia politik. Ia kembali ke Partai Demokrat yang sempat melambungkan namanya di masa lalu. Saat ini, ia tercatat sebagai Sekretaris Majelis Tinggi Parta Demokrat.

Peneliti antikorupsi Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman menyayangkan masih ada partai yang mau menempatkan eks koruptor di kursi strategis partai, padahal mereka telah menciderai amanah dan merusak nama baik partai.

“Kedua juga menunjukkan buruknya kaderisasi, seakan-akan tidak ada kader lain yang mumpuni, yang mampu untuk menduduki jabatan penting sehingga harus sampai kader yang pernah menjadi terpidana korupsi itu dipercaya untuk duduk lagi di jajaran pengurus partai,” kata Zaenur, Selasa (3/1/2023).

Ketiga, partai dinilai tidak memiliki standar etik dengan memberikan kursi strategis parpol ke eks napi korupsi. Hal ini tidak lepas dari kondisi Indonesia yang masih permisif dengan menerima pelanggar, termasuk menerima kembali eks koruptor. Hal ini sangat berbeda dengan negara lain seperti Jepang yang berani mundur penuh ketika ada kesalahan.

Zaenur mengingatkan penerimaan eks napi korupsi sebagai kader akan merugikan partai politik karena publik akan melihat partai menjadi sarang koruptor.

“Meskipun semua orang yang selesai menjalani pidana berhak untuk kembali terintegrasi di masyarakat, tetapi bukan berarti mereka harus diberikan posisi-posisi penting di partai," kata Zaenur.

Ia menilai ada sejumlah faktor mengapa para eks koruptor seperti Romy bisa kembali duduk di kursi strategis partai. Pertama, kata dia, eks koruptor itu punya jasa besar untuk membesarkan partai, termasuk soal finansial partai.

Kedua adalah kedekatan pengurus atau petinggi partai dengan eks napi koruptor, sehingga bisa dipercaya duduk kembali di kursi strategis. Ketiga adalah sikap partai yang melihat bahwa eks koruptor itu masih potensial untuk memperkuat jajaran partai.

Karena itu, Zaenur menyarankan agar partai perlu memperbaiki dasar etik di masa depan. Ia juga mengajak publik untuk memberi sanksi dengan tidak memilih partai yang mendukung eks koruptor sebagai pengurus partai. Ia mengingatkan bahwa para eks koruptor adalah orang yang pernah mencederai amanat sehingga aksi koruptif tidak terulang.

Ia mengingatkan partai punya wewenang untuk mengusung caleg sehingga partai seharusnya bisa memberikan kader berkualitas, bukan mendorong eks koruptor nyaleg, apalagi MK sudah menunjukkan komitmen politik dan hukum lewat putusan eks napi koruptor tidak bisa langsung nyaleg.

Sementara itu, analis politik dari Universitas Jember, M. Iqbal menilai, pengusungan kembali eks koruptor merusak demokrasi bangsa. “Bekas koruptor kembali masuk jadi elite partai politik atau pejabat publik itu sejatinya merobohkan sendi demokrasi,” kata Iqbal.

Iqbal mengingatkan bahwa putusan MK sudah tepat dengan memberi jeda waktu 5 tahun. Hal itu dilakukan agar ada instrospeksi diri eks napi koruptor sebelum maju kembali ke publik. Ia menambahkan, substansi demokrasi dan moral seharusnya dipegang oleh setiap pengisi jabatan publik.

Iqbal menjelaskan bahwa MK telah keluarkan Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 yang mengatur antara lain, mantan narapidana kasus korupsi baru boleh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif setelah lima tahun bebas dari penjara.

“Maka, sudah seharusnya partai politik khususnya, menghormati amanat konstitusi berdasarkan substansi moral Putusan MK tersebut. Ketika PPP misalnya, menjadikan Romy sebagai Ketua Majelis PPP, sejatinya juga turut mencoreng moral demokrasi,” kata Iqbal.

Iqbal beralasan, demokrasi bangsa tak akan pernah sehat, matang dan dewasa jika kejahatan korupsi masih merajalela. Hal ini juga berlaku bagi parpol dan elite politik yang absen pada nilai-nilai integritas dan moralitas.

“Korupsi itu sangat memiskinkan, sarat kejahatan ekstraordinari, dan memperdalam jurang ketidakadilan. Tapi, narasi seperti itu boleh jadi hanya sebatas slogan wacana, jika para elite politik, pejabat publik dan seluruh elemen warga makin permisif dan tidak ada aksi keteladanan yang nyata,” kata Iqbal.

Baca juga artikel terkait PARTAI POLITIK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz