tirto.id - Pernyataan Ketua KPU RI, Hasyim Asyari soal Pemilu 2024 yang kemungkinan akan menggunakan sistem proporsional tertutup menuai polemik. Sebab, jika wacana yang dilontarkan Hasyim ini diberlakukan, maka pemilihan calon anggota legislatif tidak lagi ditentukan oleh suara terbanyak, melainkan nomor urut.
Nantinya pemilih tidak lagi mencoblos calon anggota legislatif yang disediakan dalam surat suara, tapi cukup logo parpol. Sehingga dengan sistem proporsional tertutup, maka parpol yang akan menentukan kadernya apakah dipilih atau tidak karena suara rakyat terhimpun dalam partai politik.
“Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup,” kata Hasyim di Kantor KPU pada Kamis (29/12/2022).
Komentar Hasyim bermula atas uji materiel terhadap sistem pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai frasa ‘proporsional’ Pasal 168 ayat 2. Uji materiil ini diajukan Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Sikap Hasyim mengenai dukungannya terhadap sistem pemilu yang pernah diterapkan di era Orde Baru bukan yang pertama kali. Dia juga membeberkan sejumlah keunggulan bila pemilu kembali dilakukan secara proporsional tertutup.
“Kalau di antara pilihan itu kami memilih proporsional tertutup karena desain surat suaranya lebih simpel," kata Hasyim.
Sontak, Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia mengkritik pernyataan Hasyim. Menurut Doli, Hasyim sebagai ketua KPU yang notabene adalah penyelenggara pemilu semestinya harus bersikap netral, termasuk dalam persoalan aturan pelaksanaan pemilu.
“Saudara Hasyim dalam kapasitas apa mengeluarkan pernyataan seperti itu? KPU adalah institusi, pelaksana undang-undang," kata Doli.
Doli mengingatkan bahwa perubahan sistem pemilu adalah wewenang pemerintah dan DPR atau uji materiel di Mahkamah Konstitusi.
“Perubahan undang-undang hanya terjadi bila direvisi atau diterbitkan Perppu yang hanya bisa dilakukan pemerintah, DPR atau berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Politikus Partai Golkar itu menambahkan, bila Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan atau judicial review tersebut, maka Undang-Undang Pemilu akan rusak dan dipandang sebelah mata oleh banyak orang.
“Hukum pemilu kita seperti tambal sulam. Tidak mencerminkan sistem bangunan yang establish dan futuristik. Itu yang harus menjadi pertimbangan MK,” kata Doli.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB, Yanuar Prihatin mengingatkan, KPU agar tidak bersikap pragmatis sehingga berharap kemudahan dengan disahkannya sistem proporsional tertutup. Menurutnya, sistem tersebut membawa mudharat lebih besar terutama bagi anggota legislatif di daerah. Karena keberadaan mereka bukan ditentukan oleh rakyat, tapi partai.
“Lebih jauh, akan berdampak pada buruknya hubungan anggota legislatif terpilih dengan masyarakat di daerah pemilihannya,” kata Yanuar.
Yanuar meminta Hasyim untuk berhenti beropini di luar wewenang dan tugasnya. Menurutnya, opini Hasyim dapat menjadi bumerang karena belum menjadi keputusan yang ditetapkan secara resmi dan bisa merugikan banyak pihak terutama partai politik.
“Dampak perubahan sistem proporsional ke arah yang tertutup cukup besar. Bukan saja mengubah hal-hal teknis, tetapi juga memengaruhi suasana mental kebatinan dan cara kampanye partai politik,” terangnya.
Perlu Kajian yang Lebih Matang
Pengajar Ilmu Politik dari Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana menilai, opsi pelaksanaan sistem proporsional tertutup dapat dibahas kembali seusai Pemilu 2024. Menurut dia, hal itu perlu melalui kajian panjang, tidak hanya berdasarkan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Karena perubahan sistem pemilu berkaitan dengan kondisi sosial, politik, budaya, dan ekonomi.
Selain itu, Aditya meminta Ketua KPU Hasyim Asyari selaku penyelenggara pemilu untuk fokus pada pekerjaan dan tidak memberi pendapat yang menimbulkan kegaduhan publik.
“Revisi UU Pemilu dan Pilkada dapat dibicarakan secara serius di tahun berikutnya, 2025 dan seterusnya. Penyelenggara dan Pengawas Pemilu kemudian dapat fokus menyelenggarakan dan mengawasi tahapan pemilu dengan baik,” kata Aditya dalam keterangan tertulis.
Aditya beranggapan sistem pemilu dengan proporsional terbuka yang sudah dilakukan semenjak 2004 masih baik dan layak dipertahankan. Meski terdapat sejumlah evaluasi seperti politik biaya mahal hingga personalisasi calon legislatif dalam kampanye ketimbang partai.
“Idealnya, sistem pemilu kita makin mendekatkan kepada pemilih, bukan malah semakin menjauhkan pemilih,” kata dia.
Saat ini, hampir seluruh fraksi di DPR mengecam keras pernyataan Hasyim yang menyiratkan dukungan terhadap perubahan dari sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup. Namun hal itu tidak berlaku bagi PDIP.
Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto berpendapat, sistem proporsional terbuka, justru menyebabkan liberalisasi politik, dan calon terpilih lebih digerakkan oleh paham individu yang mengedepankan popularitas diri dan sering tidak berkorelasi dengan kapasitas menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
“Saya melakukan penelitian secara khusus dalam program doktoral saya di Universitas Indonesia, di mana liberalisasi politik telah mendorong partai-partai menjadi partai elektoral, dan kemudian menciptakan dampak kapitalisasi politik, munculnya oligarki politik, kemudian persaingan bebas dengan segala cara," kata Hasto.
Ucapan Hasto juga sejalan dengan keputusan Kongres V PDIP yang digelar pada Agustus 2019, agar sistem pemilu bisa dilakukan dengan proporsional tertutup. Menurut Hasto, proporsional tertutup justru akan mendorong kaderisasi di parpol dan mencegah terjadinya liberalisasi politik.
“Dan pada saat bersamaan karena ini adalah pemilu serentak antara pileg dan pilpres, maka berbagai bentuk kecurangan bisa ditekan, sebab pelaksanaan pemilu menjadi lebih sederhana," ungkapnya.
Inisiasi PDIP tersebut akan diperjuangkan di parlemen melalui fraksi yang bertugas di Komisi II DPR RI. Meski demikian, Hasto membenarkan bahwa ada kader partainya yang saat ini melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Namun kader tersebut tidak dianggap merepresentasikan sebagai perwakilan partai, karena PDIP tidak memiliki legal standing sebagai pihak yang mengajukan uji materi.
“PDI Perjuangan taat asas karena sebagai partai yang memiliki fraksi di DPR RI tidak memiliki legal standing untuk melakukan judicial review. Namun, sikap partai sebagaimana ditetapkan dalam Kongres V PDIP setuju dengan sistem proporsional tertutup," terangnya.
Gagasan PDIP tersebut juga mendapat dukungan dari Menkopolhukam, Mahfud MD yang menginginkan agar sistem pemilu kembali menggunakan proporsional tertutup. Namun, Mahfud menyampaikan bahwa gagasan itu agar digunakan setelah Pemilu 2024, sehingga dapat dibahas secara matang di DPR.
“Itu bukan saya usul, nanti partai yang akan mengusulkan di DPR,” kata Mahfud.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz