tirto.id - Nani Suyatni was-was. Ibu dari dua orang anak itu, khawatir kebijakan pembatasan pembelian Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram (Kg) akan berdampak kepada dirinya. Sebagai masyarakat kelas menengah rentan, selama ini ia masih menikmati subsidi gas melon tersebut. Baik untuk keperluan memasak, maupun lainnya.
“Kalau ada kebijakan pembatasan tentu khawatir, takutnya besok-besok sudah enggak dikasih lagi kalau beli," ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (27/12/2022).
Sebagai warga berkebutuhan cukup, subsidi LPG 3 Kg turut membantu menekan pengeluarannya. Dia tidak bisa membayangkan adanya pembatasan gas melon tersebut, jutsru membuat dirinya terlempar dari daftar penerima subsidi sebelumnya.
Pemerintah sendiri memang akan mengubah mekanisme penyaluran LPG 3 Kg pada 2023. Penyaluran akan dilakukan menjadi subsidi berbasis orang dan juga akan dikombinasikan dengan program bantuan sosial (bansos). Rencana kebijakan ini dituangkan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2023.
“Arah kebijakan subsidi energi pada 2023 akan melanjutkan transformasi subsidi LPG 3 Kg menjadi berbasis target penerima melalui integrasi dengan bantuan sosial," tulis KEM PPKF yang diterbitkan Kemenkeu.
Transformasi subsidi LPG 3 Kg dilakukan untuk memperbaiki ketepatan sasaran dengan membatasi golongan masyarakat yang bisa mengonsumsinya, sehingga hanya masyarakat miskin yang menikmati. Hal ini sejalan dengan ketentuan pemberian subsidi dalam UU Energi Nomor 30 tahun 2007.
Selain masyarakat miskin, mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 tahun 2007, subsidi LPG 3 Kg juga diberikan pada golongan rumah tangga dan usaha mikro. Serta berdasarkan Perpres Nomor 38 Tahun 2019, LPG 3 Kg bersubsidi itu juga bisa dinikmati oleh nelayan dan petani kecil.
Namun, beleid yang mengatur penyaluran LPG 3 Kg tersebut perlu penyempurnaan agar bisa tepat sasaran. Seperti pada Perpres 104/2007, regulasi justru belum mengatur perihal pembatasan golongan rumah tangga baik miskin dan rentan.
“Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan atas kebijakan subsidi LPG tabung 3 Kg yang berlaku saat ini yang mengacu pada program konversi minyak tanah (mitan) ke LPG 3 kg pada 2007," tulis pemerintah dalam KEM PPKF.
Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi menekankan, pembatasan untuk golongan rumah tangga ini memang menjadi krusial karena belum diatur secara khusus. Menurutnya, hal ini perlu dirumuskan oleh Kementerian ESDM dan berkoordinasi dengan Kementerian Sosial mengenai nasib masyarakat rentan miskin.
“Itu ditentukan dulu. Misalnya yang rentan miskin kemudian miskin itu datanya bisa saja yang sudah ada tidak perlu mencari dengan menggunakan KTP, ini kan buang waktu dan biaya saja. Jadi paling penting adalah mengubah sistem distribusi terbuka menjadi tertutup," ujar Fahmy kepada Tirto.
Pembelian LPG 3 Kg akan Menggunakan KTP
Dalam upaya melakukan transformasi subsidi Kementerian ESDM akan mewajibkan pembelian LPG 3 Kg menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP). KTP tersebut nantinya akan disinkronkan dengan basis data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji optimistis skema penyaluran LPG 3 Kg secara tertutup dengan menggunakan KTP pada tahun depan dapat menekan angka kebocoran atau penyalahgunaan gas melon selama ini. Dengan demikian, beban subsidi LPG yang ditanggung pemerintah bakal berkurang.
“Kalau kita terapkan batasan tadi bagi konsumen yang benar-benar berhak tentunya ada kriteria yang kita punyai untuk diterapkan dengan dua hal itu," ujar Tutuka.
Meski begitu, Tutuka belum dapat membeberkan secara pasti besaran pengurangan angka subsidi LPG 3 Kg dari program penyaluran subsidi tepat sasaran itu. Mengingat pemerintah masih perlu mengombinasikan antara data DTKS dengan P3KE.
“Sehingga akhir nanti kalau kita estimasi berapa itu jadi akurat kita belum bisa keluarkan angka estimasi tersebut tapi kita mempunyai angka estimasi tersebut sehingga kita mempunyai dorongan keberanian untuk melakukan program ini," ungkapnya.
Sebagai badan penugasan, PT Pertamina (Persero) menjamin kebijakan tersebut tidak akan menyulitkan masyarakat dalam pembelian LPG 3 Kg. Karena pembelian sendiri masih bisa dilakukan seperti biasanya.
“Pembelian masih seperti biasa, kita hanya melakukan pencocokan data," jelas Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting kepada Tirto.
Saat ini pihaknya sedang mensinkronkan data P3KE dengan data pembeli LPG 3 kg. Nantinya data P3KE akan diinput dalam web based subsidi tepat atau aplikasi MyPertamina.
Dia menyebut bagi yang sudah masuk database P3KE, bisa lanjut membeli dengan cukup tunjukan menunjukan KTP. Namun bagi yang datanya belum masuk, maka data yang bersangkutan akan diupdate dan langsung bisa beli seperti biasa.
“Dengan begitu, masyarakat nantinya tidak perlu men-download aplikasi ataupun QR Code. Membeli seperti biasa," jelasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR, Sartono berharap penerapan aplikasi tersebut bisa dibarengi dengan keakuratan data. Sebab selain melalui KTP, Pertamina sendiri akan melakukan pendataan melalu aplikasi MyPertamina.
“Ini harus diantisipasi untuk masyarakat membutuhkan, sebab bisa di akses melalui HP Android, (namun) tidak semua masyarakat di pelosok memilikinya. Karena sumber utama tidak tepatnya sasaran subsidi itu adalah data,” kata Sartono.
Politikus Partai Demokrat itu meminta implementasi kebijakan ini harus konsisten dan jangan ada penggunaan aplikasi atau sistem baru yang justru membuat rumit. Sosialiasi sistem tersebut pun harus menyeluruh, agar seluruh lapisan masyarakat betul-betul merasa terbantu.
“Jika kebijakan itu dilakukan pemerintah harus sangat berhati-hati," jelasnya.
Dinilai Tidak Efektif
Disi lain, Fahmy Rahdi jutsru menilai kebijakan pembelian LPG 3 Kg dengan MyPertamina melalui pendataan lewat KTP justru tidak akan efektif. Sebaiknya, kata Fahmi, pemerintah menggunakan instrumen lebih tepat dengan menggunakan data dari Kementerian Sosial dan Kantor Wakil Presiden tentang pengentasan kemiskinan.
“Itu dia sudah punya data yang valid by name by adress. Itu saja yang kemarin dipakai dasar pemberian bantalan sosial, sudah itu saja dipakai, kemudian dipilih. Karena sasaran subsidi 3 Kg itu adalah orang miskin jadi saya kira tidak akan efektif (kalau pakai KTP)," jelasnya kepada Tirto.
Fahmy melanjutkan, pemerintah juga bisa menggunakan instrumen lainnya agar subsidi bisa lebih tepat sasaran. Misalnya dibagikan barcode atau kartu khusus kepada kelompok masyarakat miskin yang berhak membeli. Dengan begitu, jika ada masyarakat tidak memiliki kartu atau barcode, maka mereka harus membeli LPG 3 Kg dengan harga keekonomian.
“Jadi yang tertutup itu berhak mendapatkan subsidi," jelasnya.
Dia memahami selama ini distribusi gas LPG 3 Kg salah sasaran dalam jumlah cukup besar karena sistem pendistribusiannya yang digunakan Pertamina salah. Selama ini distribusi dilakukan perseroan terbuka, buka tertutup.
“Sehingga siapapun bisa membeli 3 Kg tanpa pembatasan lainnya. Oleh karena itu solusinya adalah mengubah sistem distribusinya dari terbuka menjadi tertutup dari subsidi untuk komoditas ke target tadi," jelasnya.
“Kalau KTP dikaitkan dengan Pertamina sudahlah itu Pertalite saja gagal ngapain diterapkan lagi." sambung Fahmi.
Anggota DPR RI Komisi VII, Diah Nurwitasari juga menyinggung kebijakan terlebih dahulu, yakni mengenai pembelian bahan bakar subsidi jenis pertalite yang juga menggunakan aplikasi MyPertamina. Menurutnya kebijakan tersebut menyulitkan masyarakat.
“Kami berharap tidak terulang kasus sebagaimana pertalite ketika menggunakan aplikasi MyPertamina,” singgung Diah.
Karenanya, Diah meminta Kementerian ESDM dan juga PT Pertamina agar kebijakan tersebut dikaji dengan baik dan jangan menimbulkan keresahan terlebih dahulu di tengah masyarakat.
“Kami berharap baik Kementerian ESDM maupun PT Pertamina merapikan terlebih dulu data dan melakukan validasi data dengan sungguh-sungguh baru kemudian menerapkan kebijakan ini,” tegas Diah.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz