Menuju konten utama
Kinerja Kepolisian

Citra Polri Buruk Akibat Anggotanya, Apa yang Perlu Dibenahi?

Peneliti BRIN Sarah Nuraini Siregar sebut citra Polri sepanjang 2022 merupakan titik terendah sejak reformasi Polri digulirkan pada 1999.

Citra Polri Buruk Akibat Anggotanya, Apa yang Perlu Dibenahi?
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (tengah) bersama Kapolda Jabar Irjen Pol Suntana (kanan) memberikan keterangan kepada awak media di tempat kejadian perkara dugaan bom bunuh diri di Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat, Rabu (7/12/2022). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/aww.

tirto.id - Sepanjang 2022 ini Polri menghadapi masalah serius. Problem-problem yang dilakukan oleh anggota kepolisian berhasil menyita atensi publik. Akibatnya, citra Polri buruk, bahkan lebih parah dibandingkan dengan 2021.

Salah satu kasus yang menjadi perhatian publik adalah polisi yang diduga melakukan pungutan liar (pungli) Rp500.000 kepada sopir pikap yang ditilang di Tol Lebani, Gresik. Peristiwa ini sempat viral pada September 2022.

Terdapat dua persepsi dalam kasus ini. Polisi merasa perlu menindak lantaran sopir pikap tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), pajak kendaraan mati, dan tidak memiliki KIR. Sedangkan bagi sopir, ia perlu memberikan duit yang dianggap sebagai pungli.

Bukan hanya “perkara kecil” di jalan tol itu saja. Pada 2022 ini, publik juga dikejutkan dengan kasus polisi tembak polisi. Kasus ini menyeret Ferdy Sambo, seorang jenderal bintang dua yang menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri yang diduga membunuh ajudannya, Brigadir Yosua Hutabarat.

Kematian Yosua pada Jumat, 8 Juli 2022 itu baru diungkap oleh Divisi Humas Polri pada Senin berikutnya. Bagi sebagian orang hal itu aneh karena mengapa polisi baru mengklaim ada kematian anggota Korps Bhayangkara karena tembak-menembak tiga hari setelah korban tewas.

Akibatnya, 95 polisi diperiksa karena dianggap terlibat dalam skenario Sambo. Tujuh polisi dianggap menghalangi penyidikan dan mereka harus ikuti proses hukum demi mempertanggungjawabkan aksinya.

Belum kelar urusan Sambo, wajah Polri kembali tercoreng. Irjen Polisi Teddy Minahasa, ketika menjabat sebagai Kapolda Sumatra Barat diduga menyuruh eks Kapolres Bukittinggi, AKBP Dody Prawiranegara untuk menukar 5 kilogram sabu dengan tawas, kemudian sabu itu dijual di Jakarta.

Hingga kini, sindikat tersebut masih dalam penelusuran polisi. Sama seperti Ferdy Sambo, Teddy pun jadi tersangka tindak pidana.

Kepercayaan Publik ke Polri Terus Menurun

Dalam kasus ini, sejumlah lembaga survei mulai menjalankan tugasnya. Mereka mencari tahu pandangan masyarakat terkait lembaga dan aparat penegak hukum.

Merujuk pada data survei Charta Politika Indonesia periode 8-16 Desember 2022, Polri menempati urutan ketiga dengan 20,3 persen perihal penilaian kinerja lembaga hukum. Posisi Polri di bawah Kejaksaan Agung (25,5 persen) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (21,6 persen).

“Kecenderungan Polri ini dilihatnya ekstrem. Ada yang suka sekali, ada yang sangat tidak suka sekali,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya.

Dia menganalogikan Polri bisa sebagai Batman atau Joker karena satu-satunya lembaga yang berurusan langsung dengan masyarakat. “Semoga dengan adanya kasus Sambo ada sebuah kesadaran,” kata dia.

Polri juga mendapatkan citra buruk karena tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Polisi yang berjaga di lapangan menembakkan gas air mata kepada Aremania, suporter klub Arema. Ratusan orang tewas karena ulah polisi itu.

Pihak kepolisian pun telah menetapkan enam tersangka dalam kasus ini, tiga di antaranya adalah polisi, yakni Komandan Kompi III Brimob Polda Jawa Timur AKP Hasdarman, Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu SS, dan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi.

AREMANIA TUNTUT PENUNTASAN TRAGEDI KANJURUHAN

Suporter Arema FC (Aremania) melakukan longmarch dan memblokir jalan saat berunjuk rasa di perempatan jalan Ciliwung, Malang, Jawa Timur, Minggu (4/12/2022). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/aww.

Sementara itu, data Lembaga Survei Indonesia menunjukkan 70,1 persen masyarakat tahu janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk usut tuntas masalah Kanjuruhan. Mayoritas publik cukup atau sangat percaya kepolisian akan mengusut tuntas kasus itu (52,5 persen).

Hal itu tercantum dalam “Survei Nasional Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Penegakan Hukum dan Persepsi terhadap Kasus Kanjuruhan” dengan periode survei 6-10 Oktober 2022.

Perihal kondisi penegakan hukum, 29,2 persen publik menyebut penegakan hukum buruk dan 20,1 persen menyebut baik; kemudian 45 persen percaya, 37 persen kurang percaya, dan 8 persen tidak percaya sama sekali terhadap Polri.

Secara umum kepercayaan terhadap lembaga banyak menurun, terutama kepada kepolisian. Saat ini, Polri cenderung paling rendah bersama KPK.

Kesimpulan dari Lembaga Survei Indonesia ialah kondisi penegakan hukum tampak tidak jauh berbeda ketimbang temuan sebelumnya, persepsi negatif masih dominan. Selain kasus Sambo, isu Kanjuruhan juga sangat krusial menjadi momentum pemulihan kepercayaan publik terhadap Polri.

Lagi-Lagi Pembenahan

Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Hemi Lavour Febrinandez berkata, jika publik objektif melihat masalah dalam instansi penegak hukum, maka tak hanya Polri, tapi juga kejaksaan dan peradilan.

“Khusus kepolisian, mencuat permasalahan-permasalahan yang belakangan terjadi, yang menjadi perbincangan publik, membuat seakan-akan kepolisian itu sangatlah buruk,” kata dia kepada Tirto, Senin, 26 Desember 2022.

Karena itu, kata dia, Polri perlu evaluasi dan perbaikan secara internal dan dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk memberi masukan seperti apa polisi yang menjadi idaman rakyat.

“Saya berkeyakinan, ketika dilakukan evaluasi dan penataan terhadap Polri, setiap permasalahan yang terjadi bisa saja tidak terjadi kembali di masa depan,” terang Hemi.

Hemi mengingatkan problem-problem yang lahir dari tubuh Polri karena ulah anggotanya. Dia bilang, jangan melunturkan muruah kepolisian, yang perlu dibenahi secara simultan adalah institusinya. Ketika ada anggota yang melakukan salah, maka itu menjadi tanggung jawab pribadi dan jangan dilimpahkan menjadi tanggung jawab lembaga.

SIDANG PUTUSAN SELA FERDY SAMBO

Terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo tiba untuk menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (26/10/2022). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/rwa.

Sementara itu, peneliti dari Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sarah Nuraini Siregar berucap, citra Polri sepanjang 2022 merupakan titik terendah sejak reformasi Polri digulirkan pada 1999.

“Lebih dari dua dekade reformasi, perubahan Polri menjadi institusi penegak hukum yang mandiri, serta upaya pembenahan internal ternyata tidak mendorong performa Polri semakin baik,” tutur dia kepada Tirto, Senin (26/12/2022).

Pada tahun ini kasus pembunuhan Brigadir Yosua memang menjadi tren puncak atas persoalan institusi kepolisian. Jika publik mengevaluasi ke belakang, terutama 2022 ini, banyak fenomena yang telah memperlihatkan persoalan di internal Polri yang berimbas kepada perilakunya.

SIDANG LANJUTAN HENDRA KURNIAWAN DAN AGUS NURPATRIA

Terdakwa kasus merintangi penyidikan atau 'obstruction of justice' pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Agus Nurpatria (tengah) dan Hendra Kurniawan (kedua kanan) berjalan meninggalkan ruangan saat jeda sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (27/10/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa.

Sarah menilai ada dua hal dalam jangka pendek yang dapat dilakukan Polri. Pertama, memperkuat kelembagaan dan kewenangan pengawasan lembaga oversight. Sementara parlemen juga harus kritis pada setiap persoalan yang terjadi dalam masyarakat, yang berhubungan dengan Polri.

“Jadi tidak hanya kasus-kasus prestisius seperti terorisme atau sejenisnya yang menjadi perhatian, tetapi juga penegakan hukum yang berimbas pada prinsip keadilan masyarakat juga penting,” jelas Sarah.

Kemudian perluasan pengawasan tidak hanya di lembaga oversight, tetapi juga civil society (masyarakat madani), kata Sarah.

Dalam negara demokrasi, keterlibatan masyarakat merupakan elemen penting. Bercermin pada perkara-perkara besar yang melibatkan Polri, peran serta masyarakat (seperti menciptakan tagar, penggunaan media sosial, atau jargon no viral no justice) dalam mengawal, turut berkontribusi pada respons maupun tindakan penyelesaian atas pelanggaran hukum yang melibatkan anggota Polri.

Upaya kedua dalam jangka panjang, yaitu reformasi kultural perlu dicek ulang oleh semua pihak. Ada yang salah atau tidak berfungsi dalam instansi.

“Langkah awal yang dapat dilakukan adalah pembenahan di level rekrutmen dan semua unsur lembaga pendidikan Polri,” ujar Sarah.

Baca juga artikel terkait POLRI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz