tirto.id - Indonesia dihadapkan dengan permasalahan kesehatan selama 2022. Salah satunya adalah pandemi COVID-19 yang dihadapi oleh sejumlah negara di dunia. Selain Corona, Indonesia juga dihadapkan dengan deretan penyakit akut lain, seperti virus PMK (penyakit mulut dan kuku), cacar monyet, hingga gangguan ginjal pada anak.
Pandemi COVID-19 melanda Indonesia sejak 2 Maret 2020. Hingga saat ini, virus yang pertama kali muncul di Wuhan, China itu masih menghantui Indonesia dengan varian-varian baru. Sekitar Juni 2022 misal, muncul varian BA.4 dan BA.5. Kedua varian ini muncul dari Afrika dan diduga merupakan mutasi dari varian Omicron yang gampang menyebar di masyarakat.
Varian ini pertama kali ditemukan saat perayaan Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) pada Mei 2022. Varian ini pula yang diduga memicu lonjakan kasus pada pertengahan 2022.
Selain varian BA.5 dan BA.5, muncul varian baru COVID-19 dengan kode BA.2.7.5 dan XBB. Dua varian ini ditemukan di India. Varian ini pun dikabarkan mengepung di Singapura pada Oktober 2022.
Terlepas dari lonjakan kasus yang naik-turun sepanjang 2022, pemerintah berencana untuk mengakhiri masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) maupun Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai upaya pemerintah dalam menangani COVID-19. Hal itu disampaikan Jokowi setelah melihat data kasus COVID yang terus melandai.
“Hari ini, kemarin, kasus harian kita berada di angka 1.200 dan mungkin nanti akhir tahun kita akan menyatakan berhenti PSBB, PPKM kita,” kata Jokowi saat acara Ekonomi Outlook 2023 di Jakarta, Rabu (21/12/2022).
Jokowi juga memastikan langkah Indonesia untuk menghentikan PPKM meski akhir tahun mulai ada lonjakan kasus. Terbaru, selama Desember 2022, lonjakan kasus COVID-19 terjadi di China.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin sepakat agar PPKM dihentikan. “Jadi kalau PPKM hilang, aku setuju sebagai proses transisi ke endemi, biar kembali ke masyarakat,” kata Budi saat diwawancarai khusus oleh Tirto di Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Selasa (27/12/2022).
Menurut Budi, PPKM merupakan intervensi pemerintah yang bersifat “memaksa.” Menkse Budi juga mengatakan seharusnya masyarakat tidak perlu dipaksa.
“Kalau ini menjadi endemi, kita mesti pelan-pelan mendidik masyarakat, meyakinkan masyarakat,” kata Budi.
Deretan Penyakit Akut yang Dihadapi Indonesia Selama 2022
Selain masalah COVID-19, Indonesia dihadapkan dengan masalah PMK. Penyakit kuku dan mulut ini berawal ketika sekitar 19 provinsi dengan total 213 kabupaten kota terdampak oleh PMK pada hewan. Kala itu, angka kasus tembus mencapai 200 ribu lebih.
Pemerintah pun merespons dengan membentuk Satgas PMK dengan komposisi mirip dengan Satgas COVID-19 yang dikepalai Kepala BNPB Letjen Suharyanto.
“Bapak Presiden sudah menyetujui struktur satgas penanganan PMK yang nanti akan dipimpin oleh kepala BNPB,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto usai rapat intern dengan Presiden Jokowi dan jajaran di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (23/6/2022).
Suharyanto akan dibantu sejumlah wakil, antara lain: Dirjen Peternakan Kementan, Dirjen Bangda Kemendagri, Deputi Kemenko Perekonomian, serta Asops Kapolri maupun Panglima TNI. Struktur satgas, kata Airlangga, akan dibuat sama seperti Satgas COVID-19.
Pemerintah juga memberikan kompensasi bila sapi terpapar dengan ganti rugi sebesar Rp10 juta per sapi. Pemerintah juga melakukan pengadaan vaksin secara gratis.
Dalam data terakhir, kasus PMK berada di angka rendah. Dikutip per Kamis (29/12/2022), kasus PMK aktif sebanyak 587.471; sembuh 540.199; potong bersyarat 13.840; dan mati 10.592, sementara belum sembuh 22.840.
Selain itu, Indonesia juga dihadapkan dengan kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak. Semua berawal ketika Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menemukan lonjakan kasus gangguan kesehatan anak akibat gangguan ginjal akut pada awal Oktober 2022. IDAI mengungkapkan bahwa mereka menemukan lonjakan kasus dalam 2 bulan terakhir kala itu.
Per 24 Oktober 2022, angka kasus ginjal akut mencapai 245 kasus dengan perincian 141 anak meninggal. Angka kasus terus naik dan tidak sedikit anak meninggal dunia hingga saat ini.
Pemerintah lantas membentuk tim khusus untuk menelusuri kejadian tersebut. Kabar terakhir, kasus ginjal akut pada anak diduga akibat senyawa obat yang berbahaya pada anak sehingga memicu kasus kematian.
Di sisi lain, BPOM mengeluarkan ketentuan, yaitu menarik setidaknya 5 obat yang diduga memiliki kandungan Etilen Glikol (EG) yang melebihi ambang batas aman dari peredaran. BPOM pun terus melakukan monitoring obat kala itu.
Akan tetapi, publik masih belum sepenuhnya puas dalam penanganan gangguan ginjal akut pada anak ini. Keluarga korban gangguan ginjal akut melapor ke Ombudsman RI karena melihat kinerja pemerintah lalai untuk memitigasi kasus ginjal akut pada anak tersebut.
Selain itu, ada juga cacar monyet. Penyakit yang sudah lama tidak didengar ini sempat menjadi perhatian publik karena mewabah secara internasional pada pertengahan 2022.
Pemerintah lewat Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu melakukan mitigasi untuk mencegah penyebaran virus tersebut di Indonesia. Kala itu, ia mengatakan akan bekerja sama dengan sejumlah organisasi dan lembaga masyarakat sipil dalam surveilans.
Kemenkes menerbitkan Surat Edaran Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit nomor HK.02.02/C/2752/2022 tentang Kewaspadaan Terhadap Penyakit monkeypox di Negara non Endemis pada Mei 2022. Kemenkes juga merevisi dan menyosialisasikan pedoman pencegahan dan pengendalian cacar monyet menyesuaikan situasi terkini, keilmuan, dan rekomdasi WHO.
Selain itu, Kemenkes menyiapkan laboratorium pemeriksaan dan rumah sakit rujukan cacar monyet.
Kebijakan Kemenkes tersebut menindaklanjuti penetapan cacar monyet sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Tak hanya deretan penyakit-penyakit di atas, Indonesia juga masih dihantui penyakit yang mewabah tiap tahun. Sebagai contoh DBD yang sepanjang 2021, Indonesia mencatat total 73.518 kasus, dengan 705 di antaranya meninggal.
Yang Perlu Diperhatikan Pemerintah pada 2023
Epidemiolog dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) M. Bigwanto menilai wajar pemerintah fokus pada kasus penyakit menular. Akan tetapi, Bigwanto meminta pemerintah jangan melupakan penyakit tidak menular dalam penanganan masalah kesehatan masa depan.
“Pesan saya ke pemerintah jangan lupa masalah PTM (penyakit tidak mejular) juga banyak. Penyakit ini diam-diam tapi mematikan, sebut saja stroke, diabetes, jantung,” kata Bigwanto kepada Tirto, Kamis (29/12/2022).
Harus diakui, angka PTM sejak 2010 mulai meningkat. Berdasarkan data Kemenkes, kegiatan pola makan, pola asuh, pola gerak dan pola makan seperti tinggi kalori, rendah serat, tinggi garam, tinggi gula dan tinggi lemak diikuti gaya hidup sedentary lifestyle, memilih makanan junk food/siap saji, ditambah dengan kurangnya aktivitas fisik, stress dan kurangnya istirahat memicu timbulnya penyakit hipertensi, diabetes militus, obesitas, kanker, jantung, dan hiperkolesterol.
Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, PTM menjadi penyebab utama dari beban penyakit. Pembiayaan kesehatan sebanyak 23,9% - 25% untuk pengeluaran penyakit katastropik. Pengeluaran katastropik akan terus meningkat seiring meningkatnya angka PTM. Empat penyakit katastropik tertinggi yakni penyakit jantung, gagal ginjal, kanker dan stroke.
Bigwanto mengapresiasi langkah pemerintah dalam penanganan kasus kesehatan seperti COVID dan penyakit menular lain di 2022. Aksi pemerintah pada kasus gangguan ginjal akut anak pun, kata Bigwanto, responsif.
Namun, Bigwanto memberikan sejumlah catatan selain soal PTM. Pertama, pemerintah perlu mengedepankan sistem monitoring atau surveillance penyakit dan alert sistem untuk penyakit menular. Ia meminta pemerintah tidak melupakan upaya promotif dan preventif meski sudah mulai upaya pembelian alat canggih dan beasiswa dokter spesialis.
“Beli alat canggih sama beasiswa dokter spesialis boleh lah, tapi jangan kebablasan ke arah sana, karena itu tidak menyelesaikan akar masalah,” kata Bigwanto.
Bigwanto menilai aksi kerja keras di hulu bersama garda depan kesehatan (Puskesmas) perlu di genjot lagi, imunisasi, perilaku hidup bersih dan sehat, terutama faktor risiko PTM seperti merokok dan kesehatan mental juga perlu diatensi. Ia menilai, pemerintah perlu mengedepankan poin tersebut agar tidak terkesan fokus pada pengobatan.
“Saya lihat saat ini Pak Menkes lebih ke kuratif fokusnya, contohnya pengadaan dokter spesialis dan alat medis untuk RS. Meskipun sering sampaikan tentang promotif preventif, tapi saya khawatir hanya jargon saja,” kata Bigwanto.
Perspektif pemerintah mesti menyeluruh dalam penanganan kesehatan. Ia tidak ingin pemerintah melihat Indonesia jangan dari kacamata Jakarta. Alat medis dan dokter spesialis itu mahal biayanya, belum tentu juga merata pemanfaatannya.
“Saya cuma khawatir menakjodai kesehatan di Indonesia disamakan seperti menakhodai perusahaan. Asal ada dokter dan alat, semua selesai, satu solusi untuk semua,” kata Bigwanto.
Dalam kasus COVID, Bigwanto tidak memungkiri tahun depan akan masuk masa endemic. Eropa sudah lama masuk fase ini, meski di China dan Jepang kasus sedang naik, tapi ia memprediksi akan turun di 2023. Oleh karena itu, pemerintah disarankan fokus pada masalah kesehatan lain seperti PTM dan stunting.
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman sebut, ada sejumlah catatan penting dalam bidang kesehatan. Pertama, Dicky mengapresiasi hasil survei imunitas Indonesia bahwa tingkat imunitas Indonesia tembus 90 persen. Angka imunitas itu menjadi modal penting dalam menghadapi krisis pandemi COVID agar beban fasilitas kesehatan tidak berat.
“Ini tentu hal yang menggembirakan karena bagaimanapun untuk keluar dari situasi krisis kita butuh modal imunitas ini, dalam hal ini antibodi yang didapat baik itu dari vaksinasi maupun kombinasi vaksinasi dan infeksi karena adanya antibodi ini membuktikan atau memberikan modal mengecilnya potensi beban di fasilitas kesehatan," kata Dicky kepada Tirto, Kamis (29/12/2022).
Akan tetapi, Dicky mengingatkan, masih banyak masyarakat di level dunia yang belum divaksin. Hal itu memberi ruang bagi virus untuk bermutasi dan menyasar orang-orang yang memiliki kekebalan dari satu penyakit.
Kedua, kata Dicky, pandemi COVID harus membuka mata dunia tentang pentingnya mitigasi kesehatan yang tidak secara jangka panjang, tapi juga jangka menengah. Saat ini, publik masih belum sadar soal keberadaan Long COVID. Padahal, Long COVID membawa dampak gangguan kesehatan jangka panjang.
Ketiga, publik harus menyadari bahwa pemanasan global berdampak pada gangguan kesehatan selain akibat COVID-19. Ia mencatat sejumlah penyakit yang sebelumnya biasa-biasa saja menjadi perlu penanganan luar biasa. Ia mencontohkan kemunculan kejadian luar biasa (KLB) hepatitis hingga ginjal akut di masyarakat pada 2022.
Selain itu, ada potensi bahwa penyakit mewabah tidak lagi dalam waktu lama seperti 4-5 tahun, tetapi bisa 1-2 tahun. Di sisi lain, fasilitas kesehatan Indonesia harus mengalami perbaikan agar lebih siap dalam menghadapi tantangan gangguan kesehatan masa depan.
“Pelajaran penting dari 2022 adalah endemik itu berbahaya. Endemik itu tidak boleh jadi tujuan. Endemik itu merugikan dan endemik itu tidak stabil dan bisa menjadi epidemik yang mengancam kesehatan nasional maupun global. Itu yang di 2022," tutur Dicky.
Contoh lain dari kasus gangguan ginjal akut, kata Dicky, menunjukkan bahwa banyak negara, khususnya negara berkembang atau miskin termasuk Indonesia belum memiliki sistem pengawasan obat dan makanan yang berkualitas, yang memenuhi standar good governance. “Itu akhirnya merugikan kesehatan masyarakat," kata Dicky.
Bagaimana pada 2023? Dicky menilai, COVID-19 masih menjadi teror di dunia. Selain soal bahaya mutasi, Dicky menegaskan, COVID-19 belum berstatus endemi.
Ia menyatakan ada dua syarat. Pertama, angka reproduksi kasus harus di bawah 1, sementara saat ini angka COVID-19 tengah melonjak di China dan Jepang. Kedua, penyakit harus bisa diprediksi dengan kriteria tertentu dengan status iklim tertentu. Ia mencontohkan kasus H1N1 yang butuh puluhan tahun untuk menjadi endemi.
“Apakah ini akan sama? Ya kurang lebih seperti itu, tidak mungkin dalam 1-2 tahun, 3-4 tahun langsung ini, nggak dan oleh karena itulah, saya memprediksi bahwa dampak COVID ini atau gelombang wabah yang termasuk subvarian ini akan tetap menjadi masalah dalam setidaknya 2 tahun ke depan," kata Dicky
Dicky menambahkan, “Artinya 2023 masih termasuk di situ sampai 2024 masih akan ada gelombang-gelombang ya, walaupun itu cenderung semakin mengecil dampaknya pada fasilitas kesehatan atau kematian akan semakin menurun, seiring dengan modal imunitas dari vaksinasi itu terus dijaga dan dibangun.”
Dicky juga memprediksi, dunia bisa memasuki epidemi COVID jika 1/3 dunia bisa menjaga laju penyebaran COVID-19. Ia mengingatkan, status COVID-19 sebagai epidemi dunia ditentukan WHO sehingga perlu peran negara-negara untuk menekan dan menjaga penyebaran kasus.
“WHO sudah punya dasar yang kuat untuk mencabut status public health emergency internasional concern yang otomatis pandemi itu kemungkinan akan selesai, masa krisisnya dilewati, dicabut di akhir dari kuartal pertama tahun depan,” kata Dicky.
Kemudian, Dicky mengingatkan, penyakit baru atau penyakit lama yang bangkit kembali seperti TBC, flu burung, monkeypox, maupun malaria bisa kembali mewabah. Hal ini tidak lepas dari pengaruh perubahan iklim yang berpotensi “menghidupkan” penyakit yang sudah lama tidak muncul.
Selain itu, di 2023, pemerintah harus mulai memperhatikan penyakit tidak menular seperti stroke, kanker termasuk stunting. Khusus stunting, pemerintah harus mengatensi karena kerap menjadi pekerjaan rumah yang belum kunjung selesai. Pemerintah perlu membuat program kesehatan yang mencegah penyakit tidak menular tersebut, apalagi anggaran kesehatan 2023 berkurang.
“Harus ada fokus prioritas yang lebih mengarah pembangunan kesehatan atau program kesehatan yang memiliki daya ungkit dalam mencegah atau menurunkan kematian, bukan hanya kematian secara umum, tapi khusus di ibu anak dan kelompok rawan lain,” kata dia.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz