tirto.id - Pembahasan mengenai persoalan di bidang kesehatan diharapkan muncul dalam agenda debat capres pada Minggu (4/2/2024). Dalam palagan paslon di panggung debat terakhir ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengangkat tema Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan, Pendidikan, Teknologi Informasi, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sumber Daya Manusia, dan Inklusi.
Sejumlah pakar menanti adanya kemauan politik dan kebijakan kesehatan yang berkelanjutan dari agenda yang akan dibawa para calon pemimpin negeri. Persoalan kesehatan mendesak dibahas secara komprehensif oleh para capres, sebab menyangkut hajat masyarakat luas. Beberapa persoalan di bidang kesehatan masih menjadi isu kronis yang memerlukan solusi untuk segera dituntaskan.
Pakar kesehatan masyarakat sekaligus anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Iqbal Mochtar, menilai salah satu isu kronis di bidang kesehatan adalah soal pemerataan distribusi dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia. Iqbal menyatakan persoalan ini sudah ada lama sekali dan belum menemui titik terang.
“Pemerataan tenaga kesehatan sudah kronis dan lama sekali terus bergulat yang menunjukkan hingga saat ini belum ada penataan sistemik terhadap isu ini. Padahal gampang kalau pemerintah mau mengalokasikan pendanaan soal ini,” kata Iqbal dihubungi reporter Tirto, Kamis (1/2/2024).
Iqbal menilai, banyak dokter dan tenaga kesehatan sudah melalui proses pendidikan hingga belasan tahun. Maka, wajar masih ada yang khawatir tidak mendapatkan kesejahteraan yang pantas saat diminta bertugas di daerah-daerah. Seharusnya, kata dia, pemerintah dapat menjamin kesejahteraan para dokter dan tenaga kesehatan yang bertugas di seluruh Indonesia.
“Ini bisa diatasi kalau pemerintah mau memberikan insentif. Kalau pemerintah menjamin income yang sama [pada mereka] seperti dokter dan tenaga kesehatan di kota atau misalnya jaminan tingkat kesejahteraan yang baik,” jelas Iqbal.
Masalahnya, pemerintah saat ini malah menghapus anggaran wajib kesehatan dengan disahkannya Undang-Undang Kesehatan terbaru. UU Omnibus Law Kesehatan itu, dipandang Iqbal membuat pemerintah saat ini terkesan tidak memprioritaskan bidang kesehatan dalam agenda pemerintahan.
“Buktinya, UU Kesehatan tidak ada alokasi minimal anggaran kesehatan. Dulu ada lima persen sekarang hilang,” ujar Iqbal.
Iqbal menyatakan di dua periode pemerintahan Presiden Jokowi, bidang kesehatan terlalu fokus pada capaian kualitas. Namun, efektifitas dan kualitas yang dihasilkan kerap diabaikan dalam prosesnya.
“Baru ini lagi didistribusikan ribuan ultrasound ke puskesmas, sementara kita tidak tahu siapa di sana yang bisa menjalankannya. Kemudian dibuat institusi atau unit cath lab untuk pemeriksaan jantung, sementara tenaga untuk pengoperasiannya tidak ada,” kata dia.
Tidak Banyak Berubah
Di sisi lain, Iqbal mengapresiasi sistem jaminan kesehatan di masyarakat seperti BPJS Kesehatan yang berjalan baik. Namun, bukan berarti sistem jaminanan kesehatan ini tanpa masalah. Dia melihat masih ada sejumlah isu seperti sistem rujukan dan kuota dalam pengaplikasian BPJS Kesehatan, dan berimbas pada pelayanan kesehatan pasien.
“Masih ada sistem kuota dalam pelayanan BPJS ini masih ada laporannya. Misal kayak stroke dia diberikan kuota hari perawatan dan setelah itu dia harus keluar. Ini tidak etis dan tidak tepat,” kata Iqbal.
Senada dengan Iqbal, Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, menyampaikan BPJS Kesehatan memang perlu dievaluasi dan memang sudah ada rencana terkait hal tersebut. Debat nanti seharusnya dapat memperlihatkan kapasitas capres soal pengetahuan dan kemauan, terhadap pembenahan sistem jaminan kesehatan masyarakat ini.
“Bukan sekadar ngatasin masalah administrasi ya, kayak urusan antrean yang susah, kartu yang bermasalah, tapi lebih fundamental dari itu. Gimana BPJS ini akan dibiayai dan bagaimana sistem payment yang paling tepat untuk semua provider kesehatan,” kata Grace kepada reporter Tirto, Kamis (1/2/2024).
Sementara itu, Grace menilai persoalan kesehatan di Indonesia belum banyak berubah. Debat capres seharusnya dapat menunjukkan pemahaman capaian dan status bidang kesehatan Indonesia di sepuluh tahun terakhir sehingga kontestan bisa mendasarkan program dari data-data tersebut.
“Bukan sekadar masalah mau meneruskan atau mengubah,” ujar dia.
Grace melihat persoalan kesehatan masih diwarnai dengan angka kematian ibu yang tinggi, masalah stunting (tangkes), dan tingginya konsumsi tembakau. Dia menyatakan spending health kita memang tumbuh terus sampai lebih dari 5 persen GDP, namun hal itu lebih banyak untuk biaya menangani penyakit lanjutan, terutama biaya layanan rumah sakit.
“Bukannya untuk mengatasi langsung masalah kesehatan yang jadi masalah, yaitu masalah kematian ibu misalnya. Bagaimana mereka [capres] akan mengubah paradigma dari kesehatan sebagai cost menjadi investasi, itu yang saya ingin tahu,” ungkap Grace.
Wasekjen Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) sekaligus Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir, menganggap penting untuk mengubah paradigma sistem kesehatan nasional. Perubahan paradigma menjadi mengutamakan preventif yang bukan hanya sekedar jargon, tapi juga nyata implementasinya.
“Karena sejatinya upaya-upaya promotif dan preventif perlu menjadi perhatian bukan hanya memikirkan kuratif. Kesehatan itu investasi, artinya apa yang dilakukan sekarang berdampak ke jangka panjang, penyelesaian masalah kesehatan bukan hanya di hilir tapi di hulunya,” kata Narila kepada reporter Tirto.
Di sisi lain, Narila menyoroti masalah kesehatan ibu dan anak yang merupakan indikator kesehatan secara global. Kematian ibu dan bayi, terutama bayi baru lahir, masih menjadi masalah di Indonesia. Sudah sepantasnya, kata dia, bukan cuma mengukur kematian (mortalitas) tapi juga kesakitan (morbiditas) ibu dan anak.
“Faktor lain juga diperhitungkan, diperbaiki, baik faktor langsung maupun tidak langsung. Misalnya status sosial ekonomi, pendidikan, budaya, kedudukan perempuan dalam keluarga, pemberdayaan perempuan dan sebagainya,” ujar dia.
Narila menilai, banyak program silih berganti terkait penurunan kematian ibu dan anak, namun hasilnya masih belum memuaskan. Imunisasi misalnya, cakupannya masih belum semua tercapai, padahal banyak penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
“Oleh karena itu pendekatan untuk mengatasi masalah kesehatan ibu dan anak itu harus komprehensif, dari berbagai aspek,” tegas Narila.
Agenda Kubu Pasangan Capres-Cawapres
Ketiga paslon memang memasukkan agenda di bidang kesehatan dalam bidang visi-misi mereka. Kendati demikian, program dan agenda yang dibawakan masing-masing paslon memang berbeda-beda satu sama lain.
Misalnya paslon nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), yang membawa agenda di bidang kesehatan seperti membangun RS skala A di tiap provinsi, sistem JKN mudah, insentif kader kesehatan, menurunkan prevalensi tangkes, menghadirkan penitipan anak, konselor kesehatan mental, dll.
Juru bicara Timnas AMIN, Ramli Rahim, menyatakan Anies akan menguasai bidang kesehatan dalam debat mendatang. Hal ini karena prestasi Anies di bidang kesehatan di klaim Ramli sudah membuahkan bukti.
“Pak Anies punya program mengubah rumah sakit menjadi rumah sehat dan sudah diimplementasikan di Jakarta. Perubahan itu bukan cuma nama, tapi juga perspektif dan operasional,” kata Ramli kepada reporter Tirto, Kamis (1/2/2024).
Selain itu, AMIN akan memastikan posyandu menyediakan susu, vitamin, dan makanan sehat untuk balita dan ibu hamil. Serta ingin memperbanyak puskesmas dan rumah sakit agar merata di seluruh daerah.
“Jadi kalau menurut Pak Anies, rumah sakit itu rumah yang nyaman, bukan tempat sakit. Perubahan itu kalau beliau jadi presiden akan mengubah itu dari rumah sakit menjadi rumah sehat,” terang dia.
Sementara itu, dalam visi-misi paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, membawa beberapa agenda di bidang kesehatan seperti membangun RS lengkap, menjamin peningkatan pelayanan kesehatan, menaikan gaji ASN tenaga kesehatan, menambahkan kartu anak sehat, cegah tangkes dengan bagi-bagi susu.
Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Erwin Aksa, menilai debat nanti akan sangat penting jika membahas bagaimana capres dapat menanggulangi penyakit tidak menular, seperti hipertensi, diabetes, obesitas, kanker, jantung, dan stroke.
“Penyakit-penyakit ini disebut menyebabkan kematian dini, biaya kesehatan yang tinggi, dan hilangnya produktivitas,” kata Erwin kepada reporter Tirto, Kamis (1/2/2024).
Wakil Ketua TKN lainnya, Afriansyah Noor, menambahkan Prabowo-Gibran akan membenahi persoalan BPJS Kesehatan yang saat ini masih mengalami sejumlah hambatan. Dia menekankan, bahwa pelayanan kesehatan harus berpihak pada pasien yang kurang mampu.
“Pelayanannya [BPJS] belum maksimal masih ada beberapa penyakit yang belum bisa dihandel,” ujar Afriansyah.
Di sisi lain, paslon nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, membawa sejumlah agenda di bidang kesehatan dalam visi-misi mereka, seperti satu desa satu puskesmas, memperbaiki pelayanan BPJS, layanan konsultasi keliling, membangun pos konseling, mengentaskan tangkes.
Juru bicara TPN Ganjar-Mahfud, Chico Hakim, menyatakan Ganjar memiliki rekam jejak yang secara jelas dan konkret menunjukkan upaya membangun kesehatan masyarakat dan memastikan rakyat mendapat pelayanan kesehatan yang prima. Misalnya, meningkatkan akses kesehatan dengan membangun 71 puskesmas baru dan pemberian bantuan peserta jaminan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu dengan penerima mencapai 16.634.072 orang, ketika masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah.
“Ke depan, Pak Ganjar akan memastikan masyarakat mendapatkan akses pelayanan kesehatan melalui program 1 Desa, 1 Faskes/Pustu, 1 Dokter/Nakes yang sesuai dengan standar. Serta meningkatkan kesehatan ibu dan anak melalui dukungan gizi dan pelayanan kesehatan di periode kehamilan hingga menyusui serta dan memberi Uang Saku Kader Posyandu,” kata Chico kepada reporter Tirto, Kamis (1/2/2024).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz