Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Fenomena Kuis Kawula17 & Upaya Menumbuhkan Pemilih Rasional

Kawula17 tidak bertujuan mengarahkan pemilih, melainkan upaya membuat pemilih bisa menentukan sikap.

Fenomena Kuis Kawula17 & Upaya Menumbuhkan Pemilih Rasional
Ilustrasi pemilu. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Awalnya teman share di percakapan WA, ada hasil pertanyaan dicocokkan sama program capres-cawapres.”

Pernyataan tersebut diungkapkan Indri (32 tahun). Ia bercerita bagaimana dirinya mengisi survei Kawula17, sebuah lembaga swadaya yang kini ramai dibahas di media sosial. Perempuan yang tinggal di Jakarta itu mengaku ikut mengisi survei yang disebut berkaitan masalah capres-cawapres.

Saat menceritakan pengalaman menggunakan aplikasi tersebut, ia mengaku isi pertanyaan yang diberikan cukup dekat dengan visi-misi kandidat capres-cawapres yang ada saat ini. Ia mengatakan pertanyaan yang diberikan juga menggunakan nada netral.

Indri menilai hasil survei yang diperoleh dari Kawula17 itu bisa menjadi gambaran yang mewakili pilihannya. Akan tetapi, ia mengaku hasil survei tidak serta-merta membuat dirinya mengikuti hasil survei tersebut.

“Kalau dibilang mungkin memengaruhi, enggak juga, tapi dengan survei ada gambaran paslon mana yang programnya sesuai dengan saya atau match. Walaupun ada faktor-faktor lain seperti ideologi, latar belakang paslon, rekam jejak, dan sebagainya. Sebagai pemilih kita punya preferensi masing-masing,” kata Indri.

Cerita berbeda diungkapkan Esther (34). Ia juga mengaku mengisi survei Kawula17 karena melihat di lini masa media sosial. Ia pun iseng mencoba. Saat mencoba, ia mengaku jawaban yang diberikan bersifat pilihan ganda yang setiap jawaban sudah menunjukkan arah kepada paslon tertentu.

“Sebenarnya kalau dilihat-lihat dari poin-poin pilihan jawaban, bisa ditebak-tebak ini kira-kira kalau kuisnya selesai kita entar hasilnya gimana, lebih ke paslon siapa gitu. Semacam, sudah bisa ditebak,” kata Esther saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (30/1/2024).

Perempuan yang tinggal di Lenteng Agung, Jakarta Selatan itu mengaku hasil survei tidak serta-merta mencerminkan pilihan dirinya. Ia juga mengaku tidak merasa teredukasi karena informasi yang didapat lebih banyak ia dapatkan di publik. Karena itu, ia bilang, hasil kuisnya tidak akan memengaruhi keyakinan dalam menggunakan hak pilih.

Fenomena Kawula17 di Tengah Banjir Infomasi di Medsos

Kawula17 saat ini ramai menjadi perbincangan karena tidak sedikit netizen mengikuti kuis tersebut. Kawula17 dikenal karena meluncurkan kuis yang memberikan saran pemilihan capres-cawapres secara multiplatform.

Program tersebut, berdasarkan keterangan resmi dari Kawula17, sudah digunakan 210 ribu pengguna dalam kurun waktu 24 jam dan sempat menjadi trending topic. Aplikasi Kawula17 yang didirikan oleh Yayasan Pelopor Pilihan 17 selaku organisasi non-profit untuk mendorong proses pemilihan umum.

“Di dalam Kawula17, PP17 menghadirkan formasi pemilu dengan cara yang lebih mudah diakses, mulai dari Voting Advice Application (VAA) yang membantu pemilih muda menentukan pilihan calon presiden dan wakil presiden berdasarkan visi misi serta partai mana yang sesuai posisi mereka terhadap isu, profil partai, kuis spektrum politik hingga survei nasional yang berusaha menangkap perspektif anak muda atas isu terkini,” bunyi keterangan yang diterima.

Analis politik dari Universitas Multimedia Nusantara, Silvanus Alvin, menilai keberadaan survei seperti Kawula17 bisa dikategorikan angin segar bagi anak muda dalam menghadapi situasi banjir informasi dan fenomena echo chamer di media sosial. Pemilih muda berpotensi bingung akibat begitu banyak informasi, apalagi ada kejadian yang dipotong atau diframing.

“Survei Kawula17 ini dalam satu sisi bisa memberi efek simplifikasi, dari pilihan yang diambil pengguna berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bagi yang bingung harus memilih paslon mana, maka survei ini bisa membantu. Singkatnya, untuk membantu atau menambah wawasan, survei ini adalah hal baik,” kata Alvin, Selasa (30/1/2024).

Akan tetapi, Alvin menekankan bahwa hasil kuis Kawula17 tidak sepenuhnya mempengaruhi pemilih. Ia mengingatkan bahwa dinamika politik saat ini tidak bisa disimplifikasi lewat pertanyaan di survei maupun kuis seperti yang dibuat Kawula17.

“Di era digital saat ini, saya rasa paradigmanya bukan lagi publik yang disuruh mencocokkan dengan program kerja dari paslon yang ada. Melainkan, paslon harus bisa menyerap apa yang diinginkan publik,” kata Alvin.

Ia mencontohkan muncul gerakan Pol.is di Taiwan yang mengajak publik untuk berdiskusi secara sehat menentukan kebijakan, manakala Uber pertama kali masuk ke Taiwan dan berkonfrontasi dengan taksi konvensional. Kemudian, Pia Mancini menjadi salah satu pelopor dari DemocracyOS, sebuah aplikasi yang memungkinkan publik membangun komunikasi dua arah dengan pejabat politik.

“Jadi menurut saya, di Indonesia saat ini publik jangan hanya sekadar memilih dari pilihan yang terbatas, melainkan perlu dilibatkan dalam diskusi untuk kebijakan atau program kerja paslon,” kata Alvin.

Co-Founder Kawula17, Dian Irawati, menegaskan Kawula17 bukan survei, melainkan semacam kuis untuk membuat penikmat kuis mengetahui masalah politik. Ia mengatakan, Kawula17 berdiri dalam rangka membagikan informasi soal pemilu dengan mudah.

“Untuk pilihan presiden, kami pilih demikian karena tujuan kita yang utama adalah berkeinginan membagikan informasi, pendidikan demokrasi dan politik secara supel, secara ramah,” kata Dian, Selasa (30/1/2024).

Dian mengaku ada tantangan dalam mengubah bahasa visi-misi ke bahasa yang lebih supel. Akan tetapi, mereka berupaya untuk membuat pendekatan agar publik yang ikut bisa terlibat dalam pemilu. Ia berharap publik jadi berpartisipasi dalam pemilu dan mau mengerti soal pemilu.

Ia juga mengatakan, aksi ini tidak lepas dari keinginan mereka membuat para pemilih generasi X dan Y yang tidak lepas dengan internet memperhatikan soal politik.

“Cara yang paling mudah adalah meng-engage mereka melalui seperti kuis ini, kelihatan sederhana, mudah, tapi waktu ngerjain kita minta mereka mencurahkan pikiran, merenungkan mereka dengar dan terbantu sekali dengan ada capres-cawapres, ya kalau niat ngedengerin kelihatan bisa isi gampang,” kata Dian.

Dia mengatakan, pilihan pada hasil dilakukan dalam rangka sebatas nasihat. Kawula17 tidak bertujuan mengarahkan pemilih, melainkan upaya untuk membuat pemilih bisa menentukan sikap. Ia mengakui pemilihan bentuk persentase lebih baik untuk membuat pemilih sadar dalam posisi dia. Ia mengaku ada peserta kuis ikut kuis malah baper.

“Kayaknya kalau yang agak baper mungkin karena mereka berharap dengan mengikuti kuis ini pilihan mereka dijustifikasi, tapi kalau memang belum benar-benar mengenali paslonnya selalu ada kemungkinan pasti dapat yang lain. Nah ini biasa dituduh-tuduh," kata Dian.

Dian menegaskan bahwa mereka sadar masyarakat yang ikut kuis ingin tahu tentang diri mereka dalam menggunakan hak pilih. Ia juga menegaskan mereka tidak ingin mempengaruhi pemilih. Namun, Kawula17 ingin membangun kesadaran dalam penggunaan hak pilih.

“Ya pada akhirnya kita berharap pilihan yang diambil adalah pilihan yang sudah dipikirkan masak-masak dan kalau dilihat dari respons diberikan sih yang menarik bukan hanya bahwa diskusi di antara mereka, ini jadi semacam diskusi meja makan antar keluarga,” kata Dian.

Dian bercerita, keinginan membangun Kawula17 menumbuhkan semangat anak muda untuk ikut pemilu dan tidak golput. Ia pun menegaskan, dirinya tidak menggunakan Kawula17 untuk kepentingan mendorong paslon tertentu. Ia justru ingin publik mulai bisa berbicara soal politik.

“Apakah mereka pada akhirnya setuju atau tidak, itu another aspect of learning. Sudah mulai senang, saya peduli hak sebagai pekerja. Itu saja (...) kalau masalah mempengaruhi, itu indirect effect cuma ya generasi Z itu bukan generasi yang gampang chewy. Mereka punya banyak term of reference," kata Dian.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz