tirto.id - Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Setelah mengunggah konten dugaan belum digaji selama dua bulan oleh manajemen klub, 23 pemain Kalteng Putra, klub divisi 2 Liga Indonesia, dilaporkan ke polisi. Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali berpotensi memakan korban.
Menurut kuasa hukum klub, Jefrico Seran, 23 pemain itu sudah menjalani pemeriksaan oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Kalimantan Tengah (Kalteng).
“Yang dilaporkan hanya mereka yang memposting surat bahwa manajemen tidak membayar gaji selama dua bulan di akun instagram mereka, sehingga hal tersebut membuat gaduh atau menggiring opini publik. Sedangkan keterlambatan tersebut hanya 15 hari saja,” kata Jefrico.
Jefrico mengatakan, unggahan 23 pemain di media sosial membuat manajemen klub dirisak di media sosial. Padahal menurutnya, pemain bisa berkomunikasi dengan manajemen secara baik.
Ia menegaskan, atas perbuatan tersebut, 23 pemain yang dilaporkan ke Reskrimsus Polda Kalteng dituding melanggar Undang-Undang ITE dengan ancaman hukuman kurungan penjara lima tahun dan denda sebesar Rp700 juta.
Jefrico menambahkan, jika nantinya ada itikad baik dari para pemain, pihak manajemen menyerahkan semuanya ke pihak penyidik Polda Kalimantan Tengah. Ia hanya mengatakan pelaporan sudah berjalan sesuai hukum.
“Sebelum melakukan perbuatan tersebut alangkah lebih baik diomongkan dengan baik jangan seperti ini, kalau seperti ini tentunya mencemarkan nama baik Manajemen Kalteng Putra,” ujarnya.
Menurutnya, manajemen klub sudah menyampaikan dokumen dugaan keterlambatan pembayaran gaji tersebut.
“Ya, terkait bukti-bukti gaji dan lain sebagainya ada sama kami, dan ini akan disampaikan ke pihak penyidik,” ungkap Jefrico Seran.
Laporan Perlu Dihentikan
Direktur Eksekutif ELSAM (Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat), Wahyudi Djafar, menilai pelaporan terhadap para pemain Kalteng Putra sebaiknya tidak diproses lebih lanjut.
Ia beralasan, pernyataan para pemain yang belum dibayar gaji adalah ekspresi yang tidak bisa dipidana, sehingga kasusnya sebaiknya diselesaikan dengan pendekatan lain.
"Itu bagian dari ekspresi yang legitimate, yang sah. Yang kedua, sebenarnya dalam konteks ini ada relasi ketenagakerjaan yang mestinya tunduk pada skema-skema perburuhan atau ketenagakerjaan karena kaitannya dengan upah," kata Wahyudi, Senin (29/1/2024).
Wahyudi menilai, kualifikasi unsur pidana tidak terpenuhi, terutama konteks penghinaan dan pencemaran nama baik lewat UU ITE. Ia menekankan, pasal pencemaran nama baik itu mengarah untuk melindungi individu dan bukan pada reputasi, martabat, dari suatu institusi atau perusahaan.
Oleh karena itu, Wahyudi mendorong agar penyelesaian kasus pemain bukan pada pendekatan pasal pidana, melainkan penyelesaian bentuk ketenagakerjaan.
Ia juga menilai, polisi sebaiknya tidak menindaklanjuti dengan pendekatan pidana dan lebih menggunakan pendekatan ketenagakerjaan.
"Jadi sangat tidak tepat ketika pasal itu digunakan untuk melaporkan dalam kasus ini, pemain sepakbola ini. Jadi mestinya dari awal kepolisian bisa langsung menolak laporan ini karena yang diduga dicemarkan dalam tanda kutip bukan orang perorangan, bukan individu, tapi institusi. Perusahaan atau badan tertentu tidak dilindungi oleh pasal penghinaan atau pencemaran nama baik," kata Wahyudi.
Sementara ahli pidana dari Universitas Brawijaya, Fahrizal Affandi, juga menyoalkan bentuk kerugian yang dialami oleh pihak klub.
Fahrizal mengingatkan bahwa pasal pencemaran nama baik di UU ITE itu dalam rangka melindungi harkat dan martabat seseorang. Hal itu tidak lepas dari kemunculan pasal penghinaan dalam KUHP lama, kecuali untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Oleh karena itu, Fachrizal menyarankan polisi tidak melanjutkan proses hukum para pemain.
"Menurut saya didrop saja, itu juga nanti akan merugikan klub. Kalau kita lihat undang-undang ketenagakerjaan pun ada pelanggaran kalau misalnya belum dibayar [gajinya]," kata Fachrizal, Senin (29/1/2024).
Fachrizal mengatakan, dirinya memang belum tahu status terakhir pemain sudah dibayar atau belum. Akan tetapi, ia menekankan bahwa para pemain yang berekspresi di media sosial tidak bisa dipidana jika benar belum dibayar.
Ia pun menilai, klaim bahwa ujaran para pemain di medis sosial merusak citra klub tidak bisa dibenarkan.
Ia mengaku belum membaca UU ITE yang baru, tetapi menurutnya KUHP baru hanya membolehkan lembaga yang dilaporkan ketika diseret kasus pencemaran nama baik hanya DPR, MA, MK dan Presiden.
Ia pun menilai, definisi keonaran tidak bisa dikenakan kepada pemain akibat unggahan di medsos.
"Nggak lah. Terlalu jauh. Keonaran [yang dimaksud adalah] onar yang mengakibatkan mengancam ketertiban umum. Kalau gitu nggak ada kritik, negara demokrasi jadi negara otoriter," kata Fachrizal.
Oleh karena itu, Fachrizal meyakini sebaiknya laporan tidak ditindak oleh penegak hukum karena pihak klub tidak punya legal standing.
Jawaban Kepolisian
Pihak kepolisian, lewat Kabid Humas Polda Kalteng Kombes, Erlan Munaji, mengakui bahwa mereka sudah menerima laporan tersebut. Polisi, ujarnya, tentu akan profesional dalam kasus tersebut.
"Laporan sudah diterima oleh krimsus, Polda Kalteng berkomitmen untuk selalu profesional dan proporsional dalam setiap perkara yang ditangani. Sampai dengan saat ini proses dalam penyelidikan dan baru pelapor yang dilakukan pemeriksaan," kata Erlan dalam keterangannya, Senin (29/1/2024).
Erlan mengatakan, proses penyelidikan masih berjalan. Sampai saat ini mereka masih melihat apakah ada dugaan pelanggaran tindak pidana atau sebaliknya. Ia menjamin segala pelaporan akan ditangani secara profesional.
"Intinya Polda Kalteng komitmen untuk profesional dan proporsional dalam menangani setiap laporan dari masyarakat," pungkasnya.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Irfan Teguh Pribadi