tirto.id - Kota Depok digemparkan dengan kasus pembunuhan yang menimpa seorang mahasiswi di awal tahun ini. Pelaku pembunuhan disertai kekerasan seksual adalah Argiyan Arbirama (19), pemuda tanggung yang punya catatan kriminal. Korban yang berinisial KRA (20), berkenalan dengan Argiyan lewat aplikasi Line. Argiyan bahkan sempat dikenalkan ke anggota keluarga korban.
KRA ditemukan tidak bernyawa pada Jumat (18/1/2023), di sebuah kontrakan dengan kondisi terikat. Mulanya, Argiyan meminta korban menjemput dirinya di kontrakan yang terletak di kawasan Sukmajaya. Korban sempat menolak, namun akhirnya memutuskan menemui Argiyan.
Sesampainya, Argiyan justru memaksa korban berhubungan badan. Karena menolak dan berteriak, Argiyan mencekik korban hingga lemas dan akhirnya melakukan aksi biadabnya dengan memperkosa korban. Setelah itu, korban diikat dan diambil barang-barangnya seperti ponsel dan dompet. Korban ditinggalkan dalam kondisi lemas dan saat itu masih hidup.
Setelahnya, perilaku keji Argiyan terungkap setelah dia menelpon ibunya untuk pamit pergi ke tempat yang jauh. Dia juga mengabarkan bahwa ada perempuan di kontrakan. Sontak ibu pelaku memeriksa kontrakan dan menemukan korban sudah tidak bernyawa dalam kondisi terikat. Ibu pelaku lantas melaporkan ke Polres Metro Kota Depok.
Argiyan berhasil dibekuk polisi pada Sabtu (19/1/2023) sekira 15 jam setelah laporan masuk. Pelaku berhasil ditangkap oleh Subdirektorat Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya di Terminal Ki Ageng Cempaluk, Kesesi Utara, Pekalongan, Jawa Tengah. Argiyan disebut ingin kabur ke rumah kakek neneknya di Pekalongan.
Saat pengungkapan kasus, Senin (22/1/2023), Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Wira Satya Triputra, mengungkapkan bahwa Argiyan sebelumnya sudah pernah terlibat dalam kasus tindak kekerasan seksual pada dua korban perempuan lain.
“Korban persetubuhan anak yang dilaporkan pada 3 Januari 2024, serta kasus pemerkosaan yang dilaporkan pada 4 Januari 2024, jadi ada dua perbuatan pidana,” ujar Wira.
Wira menyatakan, seluruh korban sama-sama berkenalan dengan Argiyan lewat aplikasi percakapan. Atas kejahatannya, Argiyan dijerat dengan Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 285 KUHP, dan Pasal 351 Ayat 3 KUHP. Dia terancam hukuman 15 tahun penjara.
“Semuanya berkenalan melalui aplikasi percakapan,” ungkap Wira.
Kasus kejahatan Argiyan menambah daftar panjang tindakan kriminal yang dimulai dari interaksi pelaku dan korban di ruang siber. Biasanya interaksi itu dilakukan lewat aplikasi percakapan dan aplikasi kencan, sebelum akhirnya memutuskan bertemu secara fisik. Hal ini menjadi sinyal alarm bagi remaja dan dewasa muda (14-24 tahun) yang cukup banyak menjadi pengguna aplikasi kencan.
Sebuah survei pada aplikasi kencan Tinder di 2021 misalnya menunjukkan, mayoritas penggunanya berusia 18-24 tahun (35 persen). Meski survei tidak dilakukan di Indonesia, banyaknya remaja yang aktif menggunakan aplikasi kencan bisa menjadi gambaran.
Sejumlah kasus kriminal yang berawal dari perkenalan korban dan pelaku lewat ruang siber seperti aplikasi kencan atau media sosial juga cukup banyak tercatat. Misalnya, awal tahun ini, seorang karyawati berinisial NAZ, menjadi korban pencurian oleh kenalannya yang disebut bernama Elvan di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Korban baru mengenal pelaku empat hari lewat aplikasi kencan sebelum akhirnya memutuskan bertemu. Pertemuan itu berakhir nahas, karena Elvan membawa kabur motor korban.
Ada pula kasus yang menggemparkan warga Desa Blendung, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang pada 22 Agustus 2023. Jasad perempuan mengenakan seragam pramuka ditemukan oleh warga. Perempuan tersebut ternyata merupakan korban pembunuhan dan perampokan yang dilakukan pria berinisial AM (26). Korban merupakan karyawati rumah makan dan berkenalan dengan AM lewat media sosial Facebook. Polisi mengungkapkan bahwa pelaku memalsukan profil dirinya di Facebook dan sengaja mencari target kejahatannya lewat media sosial itu.
Kasus lainnya, pada September 2022, seorang mahasiswa berinisial ER (24) asal Tuban, menjadi korban pemerkosaan dan pencurian oleh pelaku bejat yang dikenalnya dari aplikasi kencan Tantan. Pelaku ANS (25), yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima, mengambil tas berisi uang dan ponsel korban. ANS yang berasal dari Ngawi ini, dikenakan Pasal 285 dan 365 Ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman sembilan tahun penjara.
Membangun Citra dan Manipulatif
Pengamat sosial Devie Rahmawati menyatakan, aksi kejahatan dan penipuan berkedok cinta bukan hal yang baru terjadi di zaman modern. Hanya saja, ruang siber saat ini dengan berjamurnya aplikasi kencan dan percakapan membuat praktek jahat itu menemukan celah keleluasaan yang lebih.
“Karena medium [digital] sekarang dahsyat, sekarang adalah sifat anonimitasnya sehingga [pelaku] tidak terlacak bahkan dari lintas negara,” ujar Devie kepada reporter Tirto, Jumat (26/1/2023).
Devie menilai, biasanya pelaku kejahatan yang memanfaatkan aplikasi kencan untuk mencari korban, akan membangun citra yang baik di ruang siber. Lalu, ada proses untuk mendapatkan kepercayaan korban yang waktunya bergantung pada sikap manipulatif pelaku untuk meyakinkan korban.
“Lalu mulai eksploitasi keuangan [korban] di mana sudah ada modal sosial kepercayaan maka saat pelaku meminta pertolongan atas dasar cinta maka korban membantu, tahap keempat baru pelecehan terjadi, lantas korban baru menyadari sudah tertipu,” kata dia.
Pelaku kejahatan lewat aplikasi kencan ini, kata Devie, bisa laki-laki ataupun perempuan. Jika pelaku adalah laki-laki, biasanya profil dirinya di aplikasi kencan akan menunjukan kemapanan dan simbol kesuksesan.
Bila perempuan, biasanya menyusun profil diri yang menawan dan tidak lebih dari usia 30 tahun. Perlu diingat, profil diri bisa dipalsukan sedemikian rupa di aplikasi kencan dan mampu berbanding terbalik dengan profil asli pelaku.
“Biasanya korban dari dari segi knowledge ciber security masih lemah, itu biasanya akan lebih tinggi terjebak penipuan asmara. Dan orang yang mendambakan romantisme akan mudah tergoda dan terbujuk rayu, pelaku hadir bak malaikat mengisi kekosongan yang diharapkan,” jelas Devie.
Devie menilai bahwa remaja memang entitas yang berpotensi rentan menjadi korban kejahatan yang berawal dari aplikasi kencan. Seharusnya, kata dia, orang dewasa di sekitar para remaja yang bertanggung jawab memastikan mereka tetap aman.
“Orang dewasa yang membiarkan remaja kita sendirian kesepian itu dapat menjadi lubang atau ranjau,” tutur dia.
Risiko pada Remaja
Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menyatakan yang membuat remaja rentan terjerat kejahatan lewat aplikasi kencan karena kelompok usia ini sering memiliki kepercayaan bahwa mereka kurang rentan terhadap risiko dibandingkan dengan orang lain. Hal ini menjadikan mereka kurang waspada terhadap bahaya potensial.
“Selain itu, popularitas aplikasi kencan telah menormalisasi ide bertemu dengan orang asing yang mereka temui di aplikasi tersebut. Remaja yang tumbuh di era digital mungkin melihatnya sebagai bagian standar dari kehidupan sosial,” kata Wawan kepada reporter Tirto, Jumat (26/1/2024).
Wawan menilai, remaja sering kali berada dalam fase eksplorasi identitas, termasuk identitas seksual dan romantis. Aplikasi kencan memungkinkan mereka untuk menjelajahi aspek-aspek ini dalam persepsi yang terasa lebih aman atau pribadi.
Di sisi lain, pelaku kejahatan melihat aplikasi kencan sebagai sarana yang mudah untuk menargetkan korban yang rentan. Hal ini mengingat anonimitas dan kepercayaan yang sering dibangun dalam interaksi daring.
“Aplikasi kencan seringkali memiliki pengawasan yang lebih sedikit dibandingkan dengan interaksi sosial di dunia nyata, memudahkan pelaku kejahatan untuk beroperasi tanpa terdeteksi,” ujar Wawan.
Kriminolog Yogo Tri Hendiarto, menyatakan aplikasi kencan memang seharusnya tidak diperuntukan untuk kelompok usia di bawah umur. Masalahnya, masih terdapat celah verifikasi yang lemah dari penyedia aplikasi dalam pengecekan data pribadi pengguna.
“Sehingga anak-anak di bawah umur belasan tahun bisa masuk tanpa kesulitan,” ujar Yogo kepada reporter Tirto, Jumat (26/1/2024).
Pelaku memang melakukan tindakan manipulatif untuk mengelabui korban sehingga mau bertemu dengannya secara fisik. Saat mengajak bertemu, pelaku yang memiliki niat jahat biasanya akan membawa korban ke tempat tertutup seperti hotel, tempat tinggal pribadi, atau tempat-tempat sepi.
“Harusnya bertemu di ruang publik yang diketahui dan harus diketahui pihak keluarga. Namun kadang-kadang memang private ada rasa malu, tapi justru berisiko,” kata Yogo.
Selain itu, kata dia, tindakan kriminal yang dilakukan pelaku kepada korban bisa saja spontan dan tidak terencana. Modus ini biasanya berawal dari interaksi kurang baik antara korban dan pelaku sehingga muncul pertikaian verbal yang berujung pada kekerasan kepada korban, bahkan tindakan pemerkosaan hingga menghilangkan nyawa.
“Memang tidak semua pelaku kejahatan ini sengaja mencari korban lewat dating apps. Namun pelaku biasanya punya daya manipulatif maka sebelum bertemu pastikan re-check data diri kenalan,” ujar dia.
Sementara itu, Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI), Mamik Sri Supatmi, menilai justru mayoritas pelaku kejahatan yang berawal dari perkenalan di aplikasi kencan, sengaja menargetkan korban dari awal. Artinya, ada niat terencana dari pelaku lewat aplikasi kencan untuk menyasar korban yang rentan.
“Memang meniatkan, merencanakan, dan bahkan secara khusus menargetkan orang-orang tertentu dalam hal ini seperti perempuan,” kata Mamik kepada reporter Tirto, Jumat (26/1/2024).
Mamik menilai kasus kejahatan yang berawal dari aplikasi kencan atau ruang siber ini bukan netral gender. Misalnya kasus kejahatan Argiyan di Depok, menyasar perempuan lewat aplikasi kencan atau ruang siber karena dianggap target yang rentan. Mamik menilai kejahatan ini sebagai bentuk femisida atau pembunuhan kepada perempuan karena gender mereka.
“Karena ini merupakan kekerasan yang secara spesifik menargetkan perempuan sebagai korban dan pelakunya adalah laki-laki yang menyalahgunakan internet,” jelas Mamik.
Dia menyayangkan sikap masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih menganggap perempuan sebagai entitas yang lemah dan mudah diatur. Di sisi lain, pemerintah dan penyedia layanan aplikasi seharusnya bertanggung jawab pada keamanan perempuan di ruang siber.
“Kita tidak akan pernah mencegah atau menghapus kekerasan pada perempuan di ruang siber kalau masih terjadi ruang fisik yang tidak aman bagi perempuan,” seru Mamik.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz