tirto.id - Firli Bahuri masih getol melawan atas tudingan kasus gratifikasi yang membelitnya. Bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu kembali mengajukan permohonan praperadilan terkait penetapannya sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Firli diduga melakukan pemerasan kepada bekas Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.
Pihak Firli mengajukan permohonan ini, Senin (22/1/2024). Praperadilan ini diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dengan nomor perkara 17/Pid.Pra/2024/PN JKT.SEL. Dia mengajukan praperadilan dengan termohon Direktur Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya.
Sebelumnya, upaya serupa pernah dilakukan Firli. Namun, hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Imelda Herawati, menyatakan gugatan praperadilan yang diajukan Firli ditolak sepenuhnya. Gugatan tersebut juga berkaitan dengan penetapan dia sebagai tersangka pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo.
Berdasarkan pertimbangannya, hakim menolak salah satu petitum gugatan bahwa penetapan tersangka tidak sah karena tidak adanya dua alat bukti yang cukup. Kemudian, mengenai tidak adanya mens rea dari pemohon untuk melakukan tindak pidana korupsi, juga tidak dapat diterima. Sebab, praperadilan hanya menilai aspek formil apakah ada alat bukti yang cukup, bukan materi perkara.
Terkait upaya praperadilan kedua yang diajukan Firli, Humas PN Jaksel, Djuyamto, menjelaskan gugatan praperadilan tersebut akan digelar perdana pada pekan depan. “Betul (ada pengajuan gugatan), sidang pertama 30 Januari 2024,” kata Djuyamto saat dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (23/1/2024).
Menurut dia, sidang praperadilan ini akan dipimpin oleh hakim tunggal. Namun, hakim yang ditunjuk berbeda dari gugatan pertama. “Hakim tunggal Estiono (yang memimpin sidang nanti),” tutur Djuyamto.
Di sisi lain, KPK mewajarkan sikap Firli Bahuri yang kembali mengajukan praperadilan. Kabag Litigasi dan Perlindungan Saksi Biro Hukum KPK, Iskandar Marwanto, menyebutkan pengajuan praperadilan merupakan hak tersangka kasus apa pun.
“Itu hak daripada siapa pun yang ditetapkan sebagai tersangka untuk mengajukan upaya, itu bagian dari proses yang diatur dalam KUHAP,” kata Iskandar.
Upaya perlawanan Firli atas penetapan tersangka dirinya kembali disoroti sejumlah pakar hukum dan pegiat antikorupsi. Masalahnya, hingga saat ini, pensiunan jenderal bintang tiga Polri itu belum juga ditahan oleh Polda Metro Jaya meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak 23 November 2023.
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah, menilai Polda Metro Jaya terlalu memberikan previlase terhadap Firli Bahuri. Padahal, bebas berkeliarannya Firli sudah dikritik publik sejak awal penetapan tersangka.
“Padahal orang seperti Firli mestinya ditahan untuk memotong jejaring dan informasi dengan pihak lain yang berpotensi menghalangi proses penanganan perkara,” kata pria yang akrab disapa Castro ini kepada reporter Tirto, Rabu (24/1/2024).
Castro berpendapat, tidak adanya penahanan serta lambannya penanganan perkara yang menjerat Firli Bahuri, menciptakan ruang transaksional atau tawar menawar. Dia menyatakan, maka tidak mengherankan kalau publik menuding Polda Metro Jaya ‘masuk angin’ akibat ketidaktegasan menghadapi Firli.
“Dalam banyak kasus situasi macam ini pertanda buruk. Ada kemungkinan diujung perkara, Firli bebas. Ini yang publik khawatirkan,” ucap Castro.
Hukum Tumpul ke Atas
Ogah-ogahannya penahanan terhadap Firli menimbulkan keburaman pada prinsip keadilan di benak publik. Pasalnya, bila dibandingkan kasus-kasus dugaan pidana yang menjerat rakyat kecil atau warga biasa, kepolisian terasa begitu kilat dalam memproses hukum ‘wong cilik’. Bahkan tidak jarang langsung dilakukan penahanan pada kasus-kasus yang menimpa masyarakat kecil.
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan mempertimbangkan prinsip keadilan, maka jelas perlakuan Polda Metro Jaya terhadap Firli tidak adil dibandingkan tersangka kasus-kasus lain. Namun, persoalan penahanan tersangka memang merupakan hak subjektif penegak hukum.
“Jadi penahanan itu selalu dikaitkan dengan kepentingan (urgensi). Maka karena itu terkesan diskriminatif terhadap tokoh-tokoh tertentu yang tidak dilakukan penahanan,” kata Fickar kepada reporter Tirto, Rabu (24/1/2024).
Menyoroti hal tersebut, beberapa contoh kasus pidana yang menjerat rakyat kecil terkesan kontras jika disandingkan dengan perkara Firli. Proses hukum terasa menghujam tajam dengan cepat ke rakyat kecil, seolah-olah keadilan bagi orang miskin terasa laiknya utopia belaka.
Sebut saja kasus yang menimpa Mbah Minto (Kasminto) pada September 2021. Pria lansia tersebut divonis 1 tahun 2 bulan karena tudingan tindak pidana penganiayaan kepada Marjani. Padahal, sejumlah pihak menilai Mbah Minto hanya melindungi kolam ikan yang diduga hendak dicuri Marjani.
Sementara itu, di Lampung pada awal Juni 2022, seorang ibu harus mendekam di penjara bersama anaknya yang masih berusia 2 tahun. Permohonan penangguhan penahanan ditolak Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Ibu muda itu disangkakan dalam dugaan peredaran obat pelangsing ilegal.
Di Sumatera Utara, seorang kakek berusia 68 tahun bernama Samirin divonis hukuman penjara selama 2 bulan 4 hari oleh Pengadilan Simalungun, Rabu (15/1/2020). Samirin dihukum akibat terbukti bersalah memungut sisa getah pohon karet di perkebunan milik PT Bridgestone. Ia terbukti mengambil getah seberat 1,9 kilogram yang jika dirupiahkan sekitar Rp17.000.
Nasib serupa juga sempat dirasakan seorang Nenek bernama Asyani pada Desember 2014. Warga Dusun Krastal, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng, Situbondo itu dijebloskan ke penjara karena dituduh mencuri 7 kayu jati yang ditebang oleh suaminya dari lahan yang disebut milik Perhutani. Padahal ia merasa lahan tersebut adalah miliknya sendiri, dan tidak masuk lahan milik perusahaan BUMN itu.
Sederet kasus serupa masih berulang dan menyasar masyarakat kecil. Padahal, kasus dugaan korupsi baru-baru ini saja dapat langsung dilakukan penahanan dan menyasar orang dengan latar belakang atas. Sebut saja kasus rekayasa transaksi logam mulia yang menjerat pengusaha kaya Budi Said.
Fickar menyampaikan, Polda Metro Jaya seharusnya sudah dapat melakukan penahanan pada Firli Bahuri. Dia menjelaskan, menangkap dan menahan itu merupakan upaya paksa yang merupakan kewenangan penegak hukum.
Kepentingannya adalah agar tersangka atau terdakwa tidak menghambat jalannya pemeriksaan sidang dalam perkara yang dijalani. Jika tidak terjadi penahanan, maka Polda Metro Jaya menganggap belum ada upaya untuk menghambat penanganan kasus Firli Bahuri.
“Jika dibandingkan dengan kasus lain ya tidak adil, tapi itu tadi tergantung pada kewenangan penegak hukum dalam proses peradilan. Akan lain halnya jika sudah ada putusan tetap bersifat memaksa,” terang Fickar.
Lakukan Upaya Paksa
Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, mendesak penyidik Polda Metro Jaya segera melakukan upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan terhadap Firli. Hal ini dilakukan guna mencegah Firli melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
“Jika kita melihat gelagat Firli yang kerap kali mangkir sehingga menimbulkan kesan bahwa yang bersangkutan tidak menghormati proses hukum, maka kami memandang seharusnya tidak ada alasan bagi penyidik untuk tidak segera melakukan upaya paksa tersebut,” kata Diky kepada reporter Tirto.
Diky menilai, upaya paksa berupa penahanan perlu dilakukan untuk mempercepat proses pemberkasan perkara. ICW meminta penyidik segera mengirimkan kembali berkas perkara yang sempat dikembalikan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, agar berkas pemeriksaan segera dinyatakan lengkap (P-21) dan dapat dilimpahkan ke dalam persidangan.
“Kami juga turut mendesak agar Kapolri Listyo Sigit untuk melakukan supervisi atau bahkan mengambil alih perkara ini melalui Bareskrim Polri,” ujar Diky.
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT), Zaenur Rohman, menyatakan agar perkara Firli dapat segera dilakukan penuntutan. Karena sebelumnya, Kejaksaan mengembalikan berkas yang dikirimkan Polda Metro Jaya.
“Maka agar ini segera dilimpahkan ke pengadilan. Kalau sudah dilimpahkan ke pengadilan, maka praperadilan otomatis gugur. Kenapa? Karena sudah masuk ke pokok perkara,” ujar Zaenur kepada reporter Tirto, Rabu (24/1/2024).
Perkara Firli perlu segera disidangkan demi kepastian hukum. Termasuk, demi melindungi hak-hak Firli Bahuri sendiri yang sudah menjadi tersangka. “Jadi semua pihak akan lebih terjamin hak-haknya kalau perkara ini segera bisa disidangkan,” kata Zaenur.
Jika terus berlarut-larut, kata Zaenur, maka bisa menimbulkan kecurigaan publik. Serta ada risiko tersangka menghilangkan barang bukti, perusakan barang bukti, dan lain-lain.
“Jadi menurut saya memang sudah harus segera dilimpahkan ke pengadilan,” ujar dia.
Respons Polisi
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Ade Safri Simanjuntak, mengatakan pihaknya siap menghadapi upaya praperadilan kedua Firli. Dia menyatakan bidang hukum Polda Metro Jaya bakal menghadapi gugatan tersebut.
“Terkait dengan gugatan praperadilan kedua yang diajukan oleh tersangka FB atau kuasa hukumnya ke PN Jaksel. Pada prinsipnya penyidik melalui tim advokasi Bidkum Polda Metro Jaya sangat siap untuk menghadapinya,” kata Ade, Selasa (23/1/2023).
Menurut Ade, penyidikan yang dilakukan penyidik dalam penanganan perkara dan penetapan status tersangka Firli sudah sah. Dia menegaskan penanganan kasus Firli dilakukan dengan profesional, transparan, dan akuntabel.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebelumnya buka suara soal Firli yang tak kunjung ditahan. Dia menilai Polda Metro Jaya memiliki alasan subjektif sehingga belum melakukan upaya penahanan tersangka.
“Ya ikuti saja prosedurnya, tentunya penyidik memiliki alasan-alasan subjektif,” ujar Listyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (4/12/2023).
“Sepanjang itu masih dimaknai bisa ditoleransi oleh penyidik, saya kira semuanya tetap berproses, dan saya kira yang penting bagaimana kasus ini dituntaskan,” tambah dia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz