Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Efektivitas Fatwa Haram Golput MUI Dongkrak Partisipasi Pemilih

Berdasarkan data KPU, angka golput sejak Pilpres 2004 hingga 2014 tercatat meningkat. Apakah fatwa haram golput oleh MUI akan efektif?

Efektivitas Fatwa Haram Golput MUI Dongkrak Partisipasi Pemilih
Header Pileg. tirto.id/quita

tirto.id - Azra, bukan nama sebenarnya, tidak merasa bergairah mengikuti kontestasi Pemilu 2024. Wanita berusia 27 tahun itu merasa gerah dengan sikap elite politik yang sering umbar janji. Azra merasa, konstelasi politik saat ini tidak akan banyak mengubah nasib orang banyak.

“Yang tetap akan kaya dan untung mereka-mereka itu yang dicoblos. Rakyat cuma dipakai untuk hitungan suara aja sih,” kata Azra ditemui Tirto, di Jakarta, Senin (18/12/2023).

Skeptisisme yang menjalar di kepala Azra membuatnya mantap memutuskan tidak memilih atau menyumbang suara untuk Pemilu 2024. Kita pasti akrab dengan sikap Azra yang umum dinamai sebagai golongan putih (golput) ini.

Bukan kali ini saja, kata dia, pada Pemilu 2019 wanita yang bekerja di salah satu perusahaan swasta itu, juga tidak menggunakan hak pilihnya.

“Golput karena memang belum ada yang bisa memuaskan gitu dari program dan sikap mereka saat ini. Entah ya nanti, namun sejauh ini semuanya masih kebanyakan gimik,” terang Azra.

Azra menyadari, sikap golput yang dia pilih berasal dari pertimbangan kritisnya. Dia menilai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang berlaga di Pemilu 2024 belum memenuhi harapannya.

“Bahkan pemilu sebelumnya, orang di dekat rumah ya ada juga yang enggak milih kayak malas jalan ke TPS jauh atau ada kerjaan apa gitu yang dilakuin,” ucap dia.

Setali tiga uang, Raka – bukan nama sebenarnya – tidak ingin menyumbangkan hak pilihnya karena merasa sikap golput lebih baik untuk kondisi politik saat ini. Dari tiga kontestan pilpres yang ada, kata Raka, semuanya masih mengandalkan gimik dan janji politik tanpa melihat kebutuhan masyarakat.

“Jadi buat apa memilih lesser evil segala, toh kata-kata di sini kan yang masalahnya ya evil-nya itu kan?” kata Raka kepada reporter Tirto.

Raka melihat memang ada paslon capres-cawapres yang dinilai lebih banyak sepaham dengan sikap politiknya. Kendati demikian, dia kecewa karena barisan pengusung dan pendukung paslon tersebut dinilainya bermasalah.

“Kalau orang di belakang-belakang mereka bermasalah, kan, nanti juga pemimpinnya ikut disetir,” kata dia.

Kendati demikian, Raka mengaku sebetulnya dia masih dalam kategori pemilih undecided voter alias belum menentukan pilihan. Pria berusia 28 tahun itu mengaku bisa saja memilih salah satu paslon jika nanti ada yang bisa meyakinkan hatinya.

“Jika masih gini-gini aja ya udah fix golput lebih baik menurut saya,” ujar pria yang bekerja di salah satu perusahaan perintis itu.

Fatwa Haram Golput MUI

Jelang pesta demokrasi yang akan dilakukan Februari 2024, kontestan bakal capres-cawapres sudah memasuki masa kampanye resmi. Agenda debat capres-cawapres juga sudah digelar perdana dan tersisa empat agenda debat lainnya.

Semua upaya tersebut tentunya untuk mengedukasi dan meyakinkan pemilih bimbang untuk mantap menyumbangkan hak pilihnya di kotak suara. Di sisi lain, penyelenggara pemilu juga terus mensosialisasikan agar masyarakat tidak a golput dan menggunakan hak pilihnya dalam kontestasi Pilpres dan Pileg 2024.

Upaya agar masyarakat ikut berpartisipasi dalam Pemilu 2024 juga dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Melalui fatwa ini, MUI ingin menekankan pentingnya sosok pemimpin dalam sebuah pemerintahan. Prinsipnya, memilih pemimpin yang tidak sempurna lebih baik daripada kekacauan yang timbul karena nihil pemimpin.

Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis, menjelaskan bahwa ini bukan merupakan fatwa baru yang dikeluarkan pihaknya. Cholil menyampaikan bahwa fatwa haram tersebut telah dikeluarkan pada Ijtima' Ulama seluruh Indonesia di 2009.

“Dalam fatwa yang dikeluarkan pada Ijtima' Ulama II se-Indonesia pada 2009 menegaskan memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pemerintahan) dalam kehidupan bersama,” kata Cholil dikutip dari laman resmi MUI, Senin (18/12/2023).

Dalam fatwa 2009 tersebut, MUI mengingatkan bahwa golput diharamkan dalam konteks urusan kenegaraan yang dapat berdampak pada masalah keagamaan. Fatwa yang dikeluarkan dalam Ijtima' Ulama di Padang Panjang, Sumatra Barat tersebut diharapkan menjadi dasar hukum bagi para ulama di setiap wilayah Indonesia untuk menyiarkan bahaya golput dan kriteria pemimpin terbaik versi Islam.

Melalui fatwa itu, Cholil menegaskan bahwa mudarat ketiadaan pemimpin lebih besar dibandingkan adanya pemimpin meskipun jauh dari ideal. Maka dari itu, sejak 2009, tiap Pemilu dilangsungkan, MUI konsisten menggaungkan fatwa haram golput dalam pemilu.

“Indonesia tanpa presiden pasti kita kacau. Kacau itu lebih buruk daripada pemimpin yang tidak ideal itu, karena pemimpin yang tidak ideal itu masih bisa kita kontrol melalui DPR, isu masyarakat masih bisa,” tutur Cholil.

Pandangan Ormas Islam

Dua organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, saling berbeda pendapat mengenai keharaman sikap golput dalam pemilu. Baik NU maupun Muhammadiyah, sama-sama melontarkan argumen untuk mempertahankan pendapat masing-masing.

Ketua PBNU Bidang Keagamaan, Ahmad Fahrurrozi, menyatakan pihaknya menilai wajib hukumnya menegakkan kepemimpinan nasional. Sehingga, kata dia, wajib untuk memilih dalam pemilu agar dapat memberikan amanah kepada calon pemimpin yang berhak.

Pria yang akrab disapa Gus Fahrur ini menegaskan bahwa PBNU senada dengan MUI, yang menilai golput haram dilakukan.

“Golput akan berdampak pada gagalnya pemilihan umum dan rusaknya tatanan sistem pemerintahan, maka golput hukumnya adalah haram,” kata Gus Fahrur dihubungi reporter Tirto, Senin (18/12/2023).

Dia menyampaikan, pemilu merupakan sarana untuk memilih pemimpin. Dalam ajaran Islam ada kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam menjalankan kehidupan bersama masyarakat.

Gus Fahrur mengimbau agar masyarakat Indonesia, khususnya warga NU, dapat menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2024 mendatang dan tidak bersikap golput. “Karena golput itu tidak ada gunanya dan membuang kesempatan demokratis untuk memilih pemimpin terbaik,” tambah dia.

Di sisi lain, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, menilai sikap golput tidak sampai harus difatwakan dengan hukum haram. Ia menilai, secara politik golput memang merupakan sikap negatif yang berdampak terhadap proses demokrasi dan pengambilan kebijakan publik.

Golput, kata dia, lebih banyak mudharatnya dibandingkan dengan manfaatnya. Kendati demikian, memilih dan dipilih merupakan hak konstitusional warga negara, termasuk warga negara yang beragama Islam.

“Karena itu, golput mungkin lebih tepat dihukumi makruh, tidak sampai pada tingkat haram,” kata Mu’ti kepada reporter Tirto, Senin (18/12/2023).

Mu’ti menjelaskan, Islam mengajarkan agar umat berpartisipasi dalam kehidupan kebangsaan sebagai bagian dari relasi muamalah dan hablun min an-nas. Maka dari itu, Islam mengajarkan agar umatnya meninggalkan hal-hal yang banyak menimbulkan mudarat.

“Yang bisa dihukumi haram adalah menganjurkan atau kampanye golput karena dampak negatif yang ditimbulkan sangat besar,” ungkap Mu’ti.

Pada mulanya, golput sendiri memang merupakan gerakan politik di era orde baru yang didasari atas kekecewaan pada otoritarianisme rezim pemerintahan kala itu. Setelah era reformasi, nyatanya angka golput terus muncul dan menunjukkan jumlah yang tidak sedikit.

Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), angka golput sejak Pilpres 2004 hingga 2014 tercatat meningkat. Data golput pada 2004 tercatat 20,24 persen, 2009 menjadi 25,19 persen, dan 2014 meningkat 30,22 persen. Adapun di 2019 angka golput turun menjadi 18,03 persen.

Jika dilihat melalui data partisipasi publik untuk pertarungan pilpres, sejak 2004 hingga 2014 justru terlihat melandai. Partisipasi pada Pilpres 2004 sejumlah 79,76 persen, di 2009 turun menjadi 74,81 persen, dan berada pada angka 69,78 persen di 2014. Sementara itu, partisipasi publik di Pemilu 20019 kembali meningkat menjadi 81,97 persen.

Maka upaya yang dilakukan kontestan, penyelenggara pemilu, hingga MUI untuk mendongkrak partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2024 menarik ditilik. Seperti fatwa haram golput yang dikeluarkan MUI, untuk mendongkrak kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih. Menarik ditengok sejauh mana hal tersebut efektif mempengaruhi sikap para pemilih.

Fatwa Efektif Tekan Golput?

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menyatakan fatwa haram yang dikeluarkan MUI memang merupakan sikap keagamaan dari para ulama. Dia menilai hal itu merupakan upaya yang baik dalam proses berdemokrasi dan bisa menjadi acuan bagi para pemilih.

“Namun jika kemudian dikaitkan apakah itu berpengaruh pada partisipasi pemilih? Saya kira tidak punya hubungan kausalitas langsung,” ujar Fadli dihubungi reporter Tirto.

Sementara itu, analisis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai fatwa haram golput yang dikeluarkan MUI tidak akan berpengaruh besar pada perubahan sikap pemilih. Di negara maju seperti Jepang, kata dia, golput bahkan sudah menjadi suatu sikap yang umum dilakukan masyarakatnya.

“Pada akhirnya jauh hubungan antara aqidah dengan nyoblos apa enggak. Nyoblos pada akhirnya dipandang sebagai pilihan hak dan memang itu menurut saya juga itu hak individu,” ujar Kunto kepada reporter Tirto, Senin (18/12/2023).

Kunto menilai, ada dua jenis sikap golput yang umumnya ditemui di masyarakat. Pertama, mereka yang secara sadar dan bersikap mantap secara politik untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Kedua, ada juga golput yang didasari karena sikap apolitis atau tidak tertarik pada dunia politik. Kelompok terakhir juga dikenal sebagai parokial.

Menurut dia, golput karena apolitis lebih berbahaya karena pemilih tidak sadar pentingnya politik dalam membangun pemerintahan dan kebijakan yang berdampak pada mereka. Sementara itu, sikap golput karena dilakukan secara kritis patut dihormati.

“Tinggal bagaimana para kontestan dan parpol meyakinkan mereka dengan program,” sambung Kunto.

Di sisi lain, Peneliti Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menilai mencoblos dalam pemilu adalah hak politik warga dan bukan kewajiban. Sehingga menurut dia, sikap golput sah dan tidak mengkhawatirkan.

“Sejauh ini fatwa MUI tidak berhasil menekan angka golput. Meskipun angka golput ideologis, di mana pemilih dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya, cenderung kecil dari sisi persentase,” ujar Dedi kepada reporter Tirto, Senin (18/12/2023).

Menurut dia, golput terbesar justru datang dari sengkarutnya administratif. Hal ini meliputi beberapa kasus seperti, tidak adanya daftar pemilih di lokasi pemilihan, kerusakan suara saat pencoblosan, hingga tidak terdaftarnya pemilih.

“KPU perlu lakukan observasi jenis golput, menghindari banyaknya pemilih yang tidak dapat gunakan hak pilihnya, misalnya perantauan, mahasiswa dan kelompok lain,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PEMI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz