tirto.id - Eksploitasi pada anak-anak yang belum memiliki hak pilih rentan terjadi dalam kontestasi pemilu. Gelanggang politik elektoral mempunyai potensi menjadi area eksploitatif bagi kelompok rentan seperti anak-anak. Terlebih, pelibatan anak-anak di masa kampanye masih jamak ditemui baik sengaja atau tidak disadari.
Koordinator bidang hukum dan advokasi di Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Romi Maulana, menilai pada dasarnya pelibatan anak yang belum memiliki hak pilih dilarang dalam Undang-Undang Pemilu. Aturan tersebut termaktub dalam Pasal 280 ayat 2 huruf (k) yang mengatur bahwa peserta, tim pelaksana dan tim kampanye dilarang salah satunya melibatkan warga negara yang tidak memiliki hak pilih untuk ikut kampanye.
“Dalam praktik di lapangan memang sangat sulit meminimalisir keterlibatan anak dalam kampanye. Khususnya dalam pelaksanaan kampanye tatap muka, di mana calon mendatangi rumah warga atau berkumpul disuatu tempat,” kata Romi kepada reporter Tirto, Kamis (25/1/2024).
Aturan larangan pelibatan anak-anak juga diatur dalam Pasal 15 huruf (a) UU Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalamnya ditegaskan setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
“Dengan demikian anak yang belum punya hak pilih (belum berusia 17 tahun) tidak boleh dilibatkan dalam kegiatan politik, termasuk salah satunya kegiatan kampanye,” terang Romi.
Terkadang, kata Romi, alasan warga membawa anak karena merupakan ibu rumah tangga yang kebetulan anaknya masih kecil dan tidak ada yang menjaga. Bisa pula karena kebetulan ada kampanye politik yang dilakukan di rumah warga yang memiliki anak kecil.
“Namun pada kondisi tertentu seharusnya hal tersebut bisa diminimalisir,” ujar dia.
Selain itu, Romi menyoroti salah satu pesohor yang sempat membawa anak bertemu kontestan pemilu dengan dipakaikan baju ala timses salah satu calon presiden. Ini dinilainya sebagai sebuah pelanggaran pemilu dan tidak layak dilakukan.
“Meskipun secara regulasi tidak bisa ditindak karena adanya keterbatasan norma, di mana larangan tersebut hanya merujuk pada peserta, pelaksana dan tim kampanye,” jelas Romi.
Romi mendesak Bawaslu dapat mengenakan sanksi bagi peserta, tim pelaksana dan tim kampanye yang terbukti melibatkan anak. Mereka dapat ditindak dengan hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 493 dengan ancaman hukuman pidana kurungan 1 tahun dan denda.
“Bawaslu sudah melakukan upaya pencegahan. Tinggal bagaimana kultur Bawaslu dalam menindak pelanggaran peserta, tim kampanye dan tim pelaksana yang melanggar ketentuan Pasal 280 ayat 2 jo Pasal 493 jika dalam prakteknya terjadi,” ujar Romi.
Eksploitasi Anak di Pemilu 2024
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan terdapat bentuk eksploitasi anak dalam kegiatan politik Pemilu 2024. KPAI menilai bentuk pelibatan anak di masa pemilu dapat berupa kehadiran secara fisik maupun dalam bentuk publikasi.
KPAI menyoroti kegiatan kampanye kontestan pemilu yang masih dipenuhi anak-anak kecil. Komisioner KPAI, Sylvana Maria, menyebut orang tua yang membawa anak kecil saat melihat kampanye tergolong sebagai eksploitasi anak yang paling sering terjadi, jika dibandingkan dengan bentuk eksploitasi anak lain.
“KPAI mengidentifikasi ada 15 bentuk eksploitasi anak selama pemilu. 15 bentuk eksploitasi itu yang paling banyak memang yang, ada [anak kecil] yang dibawa, ikut datang di keramaian publik selama masa kampanye,” kata Sylvana di Kantor KPAI, Jakarta Pusat, Senin (22/1/2024).
KPAI berkomitmen untuk mencegah orang tua membawa anaknya ikut terlibat dalam kampanye. Sylvana mengatakan, persoalan dalam bentuk eksploitasi tersebut yaitu menjamin keselamatan, kenyamanan, serta kesehatan anak kecil ketika dibawa saat menonton kampanye.
Lebih lanjut, berdasar koordinasi KPAI dengan kepolisian, keramaian saat kampanye memang tak bisa diprediksi sehingga membahayakan untuk anak kecil. “Persoalannya sebenarnya ada pada sulitnya orang dewasa melakukan, memastikan, perlindungan dan pemenuhan hak anak selama anak-anak di bawa kegiatan kampanye,” tambah dia.
Sementara itu, Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, meminta para peserta Pemilu 2024, mulai capres-cawapres serta calon legislatif, agar tidak menggunakan anak-anak sebagai bahan kampanye. Dia menyebutkan, larangan untuk menggunakan anak sebagai bahan kampanye wajib dilakukan hingga keluarnya hasil Pemilu 2024.
Dia meminta meminta peserta Pemilu 2024 berhati-hati terhadap program-program yang ditawarkan, utamanya jika menyinggung masa depan anak. Hingga 17 Januari 2024, KPAI menerima enam pengaduan langsung kasus dugaan pelanggaran pemilu dan pelanggaran hak anak, serta mencatat 19 kasus dari pemberitaan media ataupun yang beredar di beberapa platform media sosial.
Sanksi Tegas
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ihsan Maulana, menyatakan bentuk eksploitasi pada anak juga bisa menjadi pelanggaran pemilu. Misalnya, pemberian hadiah kepada anak-anak sebagai perantara mempengaruhi orang tua memilih kontestan tertentu.
“Jika melebihi batasan aturan yang sudah ditentukan oleh KPU tentu ini melanggar dan merupakan bentuk politik uang dan pelanggaran administrasi. Sehingga perlu ada sanksi yang tegas agar tidak terulang,” ujar Ihsan kepada reporter Tirto, Kamis (25/1/2024).
Ihsan menilai kampanye yang berpotensi menghadirkan anak-anak di Pemilu 2024 akan semakin meningkat karena pendeknya masa kampanye. Pada Pemilu 2019 berdasarkan data KPAI, terdapat 55 kasus pelibatan anak dalam pemilu, ada 22 kasus yang dilakukan oleh calon legislatif DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota atau partai politik.
“Pelibatan dilakukan dengan cara anak hadir dalam kampanye terbatas atau rapat umum,” kata Ihsan.
Dia mendesak Bawaslu untuk serius melakukan pengawasan kampanye yang tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, termasuk melibatkan anak di dalamnya.
Pelibatan anak-anak dalam kontestasi Pemilu 2024 juga mendapatkan sorotan dari Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Dia mengatakan pelibatan anak-anak sudah ada aturan yang melarangnya, sehingga semua pihak dapat menyadari dan mengikuti aturan tersebut.
“Memang bahaya kalau anak-anak dibawa untuk ikut [kampanye] itu kalau terjadi apa-apa itu, kan, berbahaya dan mereka nanti tidak mengerti apa-apa, bisa bikin trauma. Sebaiknya jangan diajak kegiatan-kegiatan politik kampanye sebagainya,” ujar Wapres Maruf di kompleks Istana Wapres, Jakarta Pusat, Kamis (25/1/2024).
Pada pertengahan November 2023, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementerian Dalam Negeri, Bawaslu, KPU, dan KPAI sudah menandatangani Surat Edaran Bersama (SEB) tentang Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024 yang Ramah Anak. Hal ini juga melibatkan perwakilan timses ketiga capres-cawapres Pilpres 2024.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar, menyatakan pihaknya masih menerima laporan terkait dampak pemasangan APK yang tidak aman bagi anak, membawa anak dalam kegiatan kampanye, dan pelibatan anak yang belum memiliki hak pilih untuk tujuan kampanye caleg tertentu.
“Dalam kegiatan kampanye dilarang melibatkan anak dalam kegiatan kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 280 ayat (2) huruf k UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” kata Nahar kepada reporter Tirto, Kamis (25/1/2024).
Nahar menjelaskan SEB tentang Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024 yang Ramah Anak harus menjadi pedoman dan komitmen untuk melindungi anak dari potensi eksploitasi kegiatan politik. Misalnya, untuk tidak melibatkan anak dalam kegiatan kampanye dan/atau kegiatan lain dalam rangka memperoleh dukungan bagi peserta Pemilu.
Selain itu, dilarang melakukan penyalahgunaan dan atau memalsukan identitas anak agar masuk ke dalam daftar pemilih. Serta menyalahgunakan fasilitas anak, seperti tempat bermain, satuan pendidikan kecuali perguruan tinggi sesuai ketentuan, dan lain-lain, untuk kepentingan kampanye.
“Tidak boleh melibatkan anak dalam pembuatan foto, video, atau alat peraga lainnya yang digunakan sebagai materi kampanye yang disebarluaskan melalui media massa cetak, media massa elektronik, media digital, dan media lainnya,” ujar Nahar.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz