Menuju konten utama
Hari Anak Nasional 2022

Refleksi HAN 2022: Ancaman Serius Stunting hingga Kekerasan Anak

Anak-anak Indonesia menghadapi ancaman angka stunting dan kekerasan yang masih tinggi.

Refleksi HAN 2022: Ancaman Serius Stunting hingga Kekerasan Anak
Kekerasan Pada Anak. Foto/Istock

tirto.id - Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah besar dalam melindungi dan menciptakan ruang aman bagi anak-anak.

Anak-anak Indonesia dilaporkan masih terus mengalami kekerasan struktural baik fisik dan psikis, ancaman stunting dan gizi buruk hingga angka putus sekolah. Hal ini kemudian diperburuk dengan pandemi selama dua tahun yang ikut menurunkan kualitas hidup masyarakat, terutama anak-anak.

Menurut Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), tren laporan kasus dan korban kekerasan terhadap anak pada tahun 2019 hingga Februari 2022 meningkat.

SIMFONI PPA mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2019 ada 11.057 laporan dengan jumlah korban mencapai 12.285 anak.

Pada tahun 2020 ada 11.278 kasus kekerasan terhadap anak dan 12.425 korban. Lalu ada 14.517 kasus dan 15.971 korban kekerasan terhadap anak pada 2021.

Serta pada bulan Januari-Februari 2022 ada sebanyak 2.204 kasus kekerasan terhadap anak dan jumlah korbannya mencapai 2.443 anak.

“Angka pelaporan atau pengaduan semakin bertambah, di antaranya karena semakin banyak yang berani melapor dan banyak saluran pelaporan. Sehingga mudah melaporkan apa yang dilihat, didengar, dan dialami terkait kekerasan terhadap anak,” Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Nahar kepada Tirto, Jumat (22/7/2022) sore.

Dia pun membenarkan bahwa dari semua data tersebut berkaitan dengan pandemi COVID-19.

“Benar [berkaitan dengan pandemi COVID-19]. Orang banyak gunakan online [daring], [sehingga] semakin mudah dan terjaga rahasianya melaporkan kasus-kasus terkait anak,” ujar Nahar.

Namun (KemenPPPA) Republik Indonesia juga mengungkapkan, jka dibandingkan dengan 2018, prevalensi jumlah kasus kekerasan terhadap anak tahun 2021 sebenarnya menurun. Hal ini berdasarkan data dari Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021.

Pada tahun 2018, prevalensinya sebanyak 62,31 persen anak laki-laki usia 13-17 tahun yang pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya dan turun menjadi 34 persen di 2021 atau turun sebesar 28,31 persen.

Sedangkan perempuan usia 13-17 tahun, ada sebanyak 62,75 persen yang pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya pada tahun 2018 dan turun menjadi 41,05 persen pada 2021 lalu atau turun sebesar 21,7 persen.

Nahar menyebut, jumlah kasus kekerasan terhadap anak sejatinya masih lebih banyak dibandingkan data yang sudah tercatat.


“Ini fenomena gunung es, jadi yang terlaporkan dapat saja tidak sebanyak yang belum terlaporkan baik kekerasan, fisik, psikis, dan seksual,” kata Nahar.

Lingkungan Permisif Picu Kekerasan

Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto, tingginya kasus kekerasan pada anak dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya, lingkungan yang permisif terhadap kekerasan.

“Lingkungan yang permisif kekerasan, rentan menimbulkan efek kaderisasi pelaku kekerasan secara tak disadari,” jelas Susanto, Sabtu (23/7/2022).

Selain itu, konten-konten kekerasan, lanjut Susanto, juga memengaruhi cara bertindak seseorang serta kesadaran perlindungan anak yang masih minim.

“Tak sedikit juga pelaku kekerasan tahu bahwa kekerasan itu pelanggaran namun karena kesadaran melindungi anak lemah, maka rentan terjadi kekerasan.”

Untuk itu, Kementerian PPPA berharap agar semua pihak dapat bersama-sama melindungi anak Indonesia dari kekerasan dan diskriminasi melalui upaya pencegahan.

“Baik di lingkup tempat tinggal maupun di lingkungan masyarakat seperti sekolah, pondok pesantren (ponpes), serta tempat anak beraktivitas atau bermain,” pungkas Nahar.

Kejar Target Turunkan Stunting

Selain kasus kekerasan, stunting juga menjadi ancaman nyata bagi anak-anak Indonesia.

Stunting adalah suatu kondisi di mana anak mengalami gangguan pertumbuhan, sehingga tinggi badan anak tidak sesuai dengan usianya, sebagai akibat dari masalah gizi kronis yaitu kekurangan asupan gizi dalam waktu yang lama.

Tahun 2021, Indonesia mencatat angka prevalensi stunting sebesar 24,4 persen dari keseluruhan 23 juta balita. Angka ini melampaui standar WHO sebesar 20 persen.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat prevalensi stunting pada anak di Indonesia memang menurun dari tahun 2019 yaitu sebanyak 27,7 persen menjadi 24,4 persen pada 2021 atau turun sebesar 3,3 persen. Data ini berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes dan Survey Status Gizi Kemenkes.

Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, ada tujuh provinsi prevalensi stunting tertinggi. Yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT) 37,8 persen, Sulawesi Barat (Sulbar) 33,8 persen, Aceh 33,2 persen, Nusa Tenggara Barat (NTB) 31,4 persen, Sulawesi Tenggara (Sultra) 30,2 persen, Kalimantan Selatan (Kalsel) 30 persen, dan Kalimatan Barat (Kalbar) 29,8 persen.

Namun jika kembali merujuk pada standar WHO, suatu wilayah dianggap kronis jika prevalensinya di atas 20 persen, angka stunting Indonesia menjadi cukup mengkhawatirkan. Terlebih ada 7 provinsi yang angka prevalensinya di atas angka nasional.

Ini membuat Indonesia menempati urutan keempat dunia dan kedua di Asia Tenggara negara dengan angka stunting tertinggi.

Unuk itu, Presiden Jokowi menargetkan angka stunting Indonesia turun hingga 14 persen di tahun 2024.

Target tersebut dianggap masih realistis jika pemerintah mampu menurunkan angka stunting rerata 2,7 persen atau 3 persen setahun.

“Target yang harus kita capai menjadi 14 persen di 2024, harus melibatkan semua sektor,” ungkap Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Siti Nadia Tarmizi kepada Tirto, Jumat (22/7/2022) malam.

Kendati demikian, menurut dia, data stunting saat ini menunjukkan perkembangan yang baik bagi penurunan stunting di Indonesia.

“Data ini data survei yang dilakukan Kemenkes. Tentunya suatu perkembangan baik terhadap upaya penurunan stunting, tapi yang perlu juga adalah edukasi bagi para orang tua dalam pola asuh anak sehingga stunting bisa dicegah,” kata Nadia.

Selain itu, Kemenkes fokus pada intervensi gizi yang 30 persen. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan setidaknya ada dua penyebab angka stunting tinggi. Pertama adalah stunting yang terjadi dari sebelum lahir. Angka stunting pemicu stunting sebelum lahir di Indonesia mencapai 23 persen. Sementara itu, intervensi setelah lahir kenaikan tertinggi terjadi setelah masa menyusui.

"Setelah menyusui masih bagus, begitu selesai asi dia kan harus dikasi makanan tambahan, di situ banyak meleset. Banyak kekurangannya, sehingga stuntingnya naik lagi ke atas. Nah, dua titik lemah inilah yang kita fokuskan diintervensi spesifik yang menjadi tanggungjawab Kemenkes," kata Budi (11/1/2022).

Sejumlah langkah intervensi spesifik diupayakan, salah satunya dengan mengubah kebutuhan obat suplemen. Kemudian ada intervensi berupa peningkatan konsultasi ibu hamil untuk mencegah stunting.

Intervensi lain adalah ada upaya rujukan ke puskesmas jika ada berat bayi kurang. Puskesmas akan terlibat dalam upaya intervensi tambahan gizi. Jika bayi masih kurang, bayi langsung dibawa ke rumah sakit. Ke depan rumah sakit akan menanggung pengobatan sesuai BPJS Kesehatan karena ada yang belum ditangani.

"Kemudian kita pastikan kalau dia sudah stunted itu tata laksana gizinya harus lebih baik di rumah sakit, ada namanya PKMK, makanan khusus, itu kita masukkan ke paket bpjs agar bayi yang stunted ini bisa adress di rumah sakit," kata Budi.

Mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju,” HAN 2022 seyogyanya tak hanya menjadi sekadar jargon namun juga refleksi bahwa untuk menjadi bangsa maju, perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak seharusnya menjadi prioritas demi menciptakan generasi yang berkualitas.

Baca juga artikel terkait HARI ANAK NASIONAL 2022 atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri & Farid Nurhakim

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Restu Diantina Putri & Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri