Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Betapa Sulitnya Memenuhi Target 30% Kursi DPR untuk Perempuan

Feri sebut percuma aturan konstitusi telah dibuat sedemikian rupa, tapi parpol tak mengimplementasikan dalam kebijakan internal partai.

Betapa Sulitnya Memenuhi Target 30% Kursi DPR untuk Perempuan
Suasana Rapat Paripurna Ke-12 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/12/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

tirto.id - Menjelang pelaksanaan Pemilu 2024, seluruh partai politik, baik yang berada di parlemen maupun non-parlemen saling beradu bahwa partai mereka ramah terhadap perempuan. Dalam artian, para politikus perempuan diberi ruang terbuka untuk maju dan melenggang ke Senayan setara dengan laki-laki.

Hal itu terlihat dari sejumlah acara partai yang banyak digelar selama 2022 hingga awal 2023. Dari yang bertajuk kongres hingga diklat, semuanya digelar atas nama emansipasi politik perempuan. Kegiatan itu tidak hanya dilakukan partai berbasis nasional, tapi juga yang berbasis keagamaan.

Bahkan pada Juni 2022, PKS melantik Dewan Pakar Perempuan dan beragama Kristen bernama Evalina Heryanti. Hal itu menjadi pertama kali bagi PKS sejak awal berdirinya, untuk melantik dewan pakar dengan latar belakang perempuan dan non-muslim.

Namun sejumlah usaha parpol dalam mempromosikan politikus perempuan masih jauh panggang dari api. Bilamana berkaca pada Pemilu 2019, hanya ada 118 perempuan dari 575 total kursi yang ada di DPR RI. Secara persentase jumlah itu sebanyak 20,5 persen, belum mencapai ambang batas ideal 30 persen partisipasi perempuan di politik sebagaimana diatur undang-undang.

Pada Pemilu 2019, mayoritas partai belum bisa memenangkan kader perempuannya hingga 30%. Berdasarkan data, hanya Nasdem yang berhasil mendudukkan anggota legislatif perempuan hingga 32,2% di parlemen.

Padahal secara rasio perbandingan menurut data Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,36 juta jiwa pada Juni 2022. Berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 50,48% penduduk Indonesia berjenis kelamin laki-laki dan ada 49,52% perempuan.

Pemerintah dan DPR sudah berusaha melakukan sejumlah tindakan melibatkan perempuan dalam politik. Di antara adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang memuat kebijakan mengharuskan parpol menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.

Selanjutnya, dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu ditegaskan bahwa partai politik baru dapat mengikuti setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.

Aturan-aturan konstitusi tersebut terbukti membawa perempuan lebih banyak ke DPR. Terlihat semenjak Pemilu 1999 hingga 2019, jumlah perempuan yang berada di parlemen terus bertambah.

Berdasarkan data KPU tersebut, setiap 5 tahun, persentase keterpilihan perempuan selalu mengalami peningkatan. Namun pada Pemilu 2014, jumlah politikus perempuan mengalami penurunan, dari sebelumnya 101 pada 2009 berkurang menjadi 97 di 2014.

Penurunan keterpilihan perempuan itu sempat menjadi kajian oleh sejumlah pihak. Kemudian disimpulkan bahwa kebijakan dalam undang-undang tidaklah cukup untuk mendorong keterpilihan perempuan. Karena sejak awal pembentukan kuota 30%, tak pernah dicapai secara keseluruhan dalam setiap pemilu.

Perlu kesadaran dari partai politik agar bisa melaksanakan keterpenuhan kursi 30% untuk perempuan. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, aturan partisipasi perempuan yang tertuang dalam UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 10 Tahun 2008 telah valid.

Feri Amsari mendorong partai politik untuk lebih membuka diri terhadap perempuan. Menurutnya, percuma aturan konstitusi telah dibuat sedemikian rupa, tapi parpol tidak mengimplementasikannya dalam kebijakan internal partai.

“Problematikanya adalah sikap partai politik kepada perempuan agar meletakkan perempuan baik di organisasi partai atau parlemen dan sejumlah kursi pengambilan keputusan lainnya. Masalahnya bukan pada aturan konstitusinya,” kata Feri Amsari saat dihubungi Tirto.

Hal senada disampaikan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik. Ia sebut negara telah berusaha mengatur jatah politik perempuan melalui zipper system yang mengatur penempatan nomor urut kandidat laki-laki selang-seling atau vis-a-vis dengan nomor urut kandidat perempuan.

Semisal nomor urut 1 diisi oleh calon legislatif laki-laki, maka nomor urut 2, 4, 6, dan seterusnya harus diisi oleh kandidat perempuan.

“Secara aturan sudah ideal dengan penerapan zipper system tersebut. Artinya kita sudah memiliki kesetaraan gender dalam proses pemilu,” ungkapnya.

Mencari Solusi agar Politikus Perempuan Menuju Senayan

Namun, tidak semua pihak sepakat bahwa zipper system bisa menjadi solusi agar perempuan bisa melenggang ke kursi parlemen. Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini misal, mengusulkan agar konstitusi di Indonesia menerapkan aturan semi zipper system.

Dalam usulannya, Titi meminta semi zipper system tersebut dengan menyertakan penempatan perempuan pada nomor urut 1 di paling sedikit 30% daerah pemilihan.

“Kajian sudah tuntas, usulan akan dibawa bersama-sama organisasi perempuan termasuk gerakan perempuan lintas partai untuk dapat diadvokasi pada para pimpinan dan elite partai agar diakomodir pada pencalonan Pemilu 2024," kata Titi.

Apabila melansir pada indeks keterpilihan perempuan di Pemilu 2019, sebagian besar mereka yang berhasil menuju Senayan adalah peserta dengan nomor urut satu di surat suara. Sedangkan di nomor urut lain, suara perempuan selalu timpang dan berbanding jauh dengan suara laki-laki. Hal inilah yang menjadi alasan Perludem mengusulkan agar perempuan dapat nomor urut satu saat pencoblosan, bukan selang-seling sebagaimana aturan zipper system.

Selain wacana semi zipper system, solusi agar suara perempuan bisa mencapai 30 persen adalah dengan sistem pemilu proporsional tertutup. Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Muchamad Ali Safa'at mengatakan, sistem tersebut adalah pilihan paling rasional untuk meningkatkan kuantitas politisi perempuan di DPR.

Hal itu dikarenakan pemilih menyerahkan suaranya kepada partai, sehingga calon legislatif tidak dipilih langsung oleh rakyat. “Namun dari sisi kualitas tentu sangat bergantung kepada dinamika dan keberpihakan partai politik dalam menyusun daftar calon,” kata dia.

Kesadaran Partai Politik Mendukung Perempuan

Untuk mencapai angka ideal 30% anggota legislatif perempuan, partai tidak cukup hanya melakukan sosialisasi dan diklat. Akan tetapi, harus ada keberpihakan partai politik kepada perempuan. Hal itu diperlukan agar partisipasi perempuan dalam menjadi calon legislatif, bukan semata demi memenuhi syarat kuota minimal 30% yang ditetapkan undang-undang.

Kader perempuan berbakat ini penting dilindungi dan diperjuangkan partai demi kemajuan dalam proses legislasi undang-undang yang mencerminkan kepentingan perempuan Indonesia. Di antara aturan perundang-undangan yang berhasil diperjuangkan oleh politikus perempuan di DPR adalah UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pembantu Rumah Tangga yang saat ini masuk Prolegnas.

Partai juga harus melindungi kadernya yang berbakat untuk memenangkan suara mengalahkan beberapa kandidat dengan sejumlah privilege. Salah satu privilege yang dimaksud adalah koneksi dinasti kekeluargaan.

Walaupun keterwakilan perempuan di legislatif mengalami peningkatan, namun catatan dari penelitian Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, jumlah perempuan yang memenangkan kursi di DPR dengan menggunakan koneksi kekeluargaan pada Pemilu 2019 sebanyak 41%. Hal itu naik dari sebelumnya pada Pemilu 2014 yang hanya 36%.

Selain itu, menurut Ali Safaat, hingga saat ini hanya sedikit partai politik yang menjalaninya dengan serius dengan cara menyiapkan pengurus dan kader perempuan untuk aktif di partai politik dan calon anggota dewan.

Ia menuturkan, lebih banyak partai yang sekadar memenuhi secara formalitas dengan cara memasukkan seseorang perempuan menjadi pengurus partai, atau mengurangi pengurus laki-laki untuk sementara waktu.

"Hal itu dilakukan agar waktu verifikasi jumlah pengurus perempuan memenuhi 30%,” kata dia.

Saat dimintai tanggapan mengenai kesadaran mendorong politikus perempuan ke parlemen, seluruh partai politik memiliki pendapat yang sama bahwa di mata mereka hak politik laki-laki dan perempuan adalah sama.

Ketua DPP PDIP Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Djarot Saiful Hidayat menyebut, partainya selalu mendukung perempuan maju berpolitik. Walaupun dalam kenyataannya anggota legislatif perempuan dari PDIP di Senayan hanya 20,31%.

Meski demikian, kata Djarot, perwujudan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua DPR RI Puan Maharani adalah wujud partainya mendorong perempuan dalam politik praktis.

“Kita dorong kaum perempuan ini supaya aktif juga, karena ternyata tidak gampang juga merekrut calon-calon perempuan,” kata Djarot.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa PKB, Siti Mukaromah menyebut, konstituennya mulai terbuka dan menerapkan cara pandang yang sama baik laki-laki maupun perempuan soal pilihan politik.

Siti Mukaromah menuturkan bilamana kader perempuan saat ini mulai ditonjolkan dan diberi kesempatan terbuka dalam bekerja. Salah satunya dengan menempati sejumlah posisi strategis di DPR dalam mengambil keputusan.

“Secara peran, kami lakukan secara maksimal. Semisal saat ini ada dua pimpinan komisi PKB yang perempuan,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Politik
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz