tirto.id - Malang nasib Yulan Susilo. Pria berumur 42 tahun itu harus menghembuskan napas terakhirnya saat ingin mengerjakan kewajibannya sebagai seorang kurir belanja daring: mengantar paket.
Ia ditemukan tergeletak di depan rumah seorang warga di Jalan Intercon Taman Kebon Jeruk, Kembangan, Jakarta Barat, pada Rabu sore (15/2/2023). Seorang satpam yang langsung mengecek awalnya mengira Yulan pingsan. Ternyata, warga Palmerah diketahui telah meninggal.
“Ya, benar, seorang driver online kurir ekspedisi ditemukan meninggal,” kata Kepala Kepolisian Sektor Kembangan, Ubaidillah, lewat keterangan tertulisnya, satu hari setelahnya.
Kasus yang dialami Yulan direspons oleh polisi satu hari setelah ramai informasi di Twitter soal meninggalnya kurir pengantar paket di depan rumah seorang warga. Informasi itu dicuitkan oleh Arif Novanto, peneliti kebijakan dan gig ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Rabu sore.
Dalam foto yang diunggah, Yulan menggunakan helm berwarna oranye dan terlihat masih memiliki tanggungan beberapa kardus paket yang harus diantar di atas sepeda motornya. “Menurut kawannya, almarhum meninggal karna kelelahan,” kata Arif dalam cuitannya.
Belakangan, diketahui bahwa Yulan bekerja untuk sebuah ekspedisi bernama SAP Express Courier—jasa pengiriman dengan klaim layanan bayar di tempat (cash on delivery/COD) terluas se-Indonesia. Pihak perusahaan berjanji akan memberikan santunan finansial dan beasiswa pendidikan bagi anak-anak Yulan. Perusahaan menganggap Yulan sebagai “Ksatriaku.”
Eksploitasi Gaya Baru itu Bernama Gig Ekonomi
Apa yang dialami oleh Yulan bukan perkara individual. Ia adalah masalah struktural yang tak diselesaikan secara komprehensif oleh negara. Sejak awal, para kurir ekspedisi belanja daring dan driver ojek online (ojol) hanya dianggap “mitra” oleh para perusahaan jasa tersebut. Hubungan “mitra” antara pekerja dengan perusahaan dibangun dengan janji awal berupa kebebasan dan kemerdekaan saat bekerja.
Namun, ternyata hubungan “mitra” tersebut melahirkan kondisi pekerjaan yang sangat eksploitatif. Para kurir dan driver tak diberi jaminan upah minimum, jaminan kesehatan, pesangon, upah lembur, hak libur, hingga jam kerja yang layak. Semua aturan itu diputuskan secara sepihak oleh pihak perusahaan tanpa memberikan kesempatan masukan dari para mitranya—ya, kurir dan driver itu sendiri.
Sebuah riset yang digarap oleh tiga orang peneliti mewawancarai 290 orang driver ojol pada 2021, menemukan ada ketimpangan pengambilan keputusan yang dimonopoli perusahaan. Pada akhirnya, sistem “kemitraan” yang diglorifikasi sejak awal bersifat semu dan bikin hubungan antara pengusaha dan buruh tidak setara.
Menurut tiga peneliti itu—Arif Novanto salah satunya, hubungan “mitra” yang selama ini berjalan bertentangan dengan sejumlah aturan, seperti Undang-Undang (UU) No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 tahun 2013 tentang tentang pelaksanaan dari UU UMKM tersebut.
“Berjalan tidak menerapkan prinsip-prinsip kemitraan yaitu saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan, seperti aturan dalam Pasal 1 Ayat 13 UU No. 20 tahun 2008,” tulis tiga peneliti itu.
Makanya tak heran kasus seperti Yulan bisa terjadi—dan memungkinkan juga terjadi di banyak pekerja lainnya—mengingat nihilnya hak-hak dasar sebagai pekerja, terutama pendapatan dasar untuk memastikan isi perut si pekerja (beserta keluarganya) aman.
Dalam risetnya yang lain, Arif dan dua peneliti lain mewanti-wanti agar negara mulai memikirkan skema jaminan pendapatan dasar dalam model ekonomi gig—sistem pasar yang diagung-agungkan Presiden Joko Widodo. Dengan adanya kepastian pendapatan dasar bagi para kurir dan driver ojol, ada ragam kebutuhan dasar yang akan terpenuhi—ketercukupan gizi, waktu istirahat, kesehatan fisik, kesehatan mental, hingga terpenuhinya kehidupan sosial yang menyenangkan.
“Skema ini juga akan menambal kekurangan dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 12 Tahun 2019,” tulis Arif dan dua peneliti lainnya. Aturan itu membahas tentang perlindungan keselamatan pengguna sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Dalam “Mengurai Persoalan Tarif Murah bagi Pengemudi Online di Indonesia: Dari Tarif Layanan Antar Penumpang, Barang, dan Makanan” (2022), dijelaskan bahwa pemasukan utama para kurir dan driver ojol datang dari tarif dalam hubungan “kemitraan” yang selama ini berjalan.
Di ranah driver ojol, penentuan tarif yang ditentukan oleh pemerintah tersebut hanya berdasarkan jarak per kilometer. Skema penentuan tarif tersebut tidak mampu memastikan driver mendapatkan pendapatan layak karena tak ada tarif biaya tunggu, biaya waktu menyelesaikan pesanan, biaya pembatalan pesanan, hingga waktu kerja tanpa pesanan.
Sedangkan di ranah kurir, penentuan tarif untuk mereka diambil berdasarkan mekanisme pasar. “Hal itu terjadi karena masing-masing perusahaan platform justru berkompetisi tidak untuk menetapkan tarif yang adil bagi pengemudi,” tulis Arif dalam riset teranyarnya itu.
Sejak Agustus 2021, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah telah berjanji akan mengevaluasi hubungan “kemitraan” yang dilakukan oleh para perusahaan e-commerce tersebut dan mencarikan solusi untuk keselamatan para kurir dan driver ojol. Tapi hingga hari ini sepertinya hanya angin lalu saja.
Sedangkan untuk kasus yang dialami oleh Yulan, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi hanya berucap bela sungkawan dan berjanji akan memanggil pihak perusahaan agar diminta keterangan soal ini.
Sudah Saatnya Pekerja Punya Aplikasi Sendiri?
Dosen hukum perburuhan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Hernawan mengaku, pesimistis jika pemerintah akan duduk bersama dan menyelesaikan persoalan struktural lewat regulasi baru dalam waktu dekat. Menurut Ari, sulit berharap saat produk hukum di Indonesia di saat yang bersamaan juga merupakan produk politik yang tidak steril dari ragam kepentingan pihak yang bertarung di dalamnya.
“Siapa yang kuat akan menentukan hukumnya akan seperti apa,” kata Ari lewat keterangan tertulis saat dihubungi Tirto, Minggu (19/2/2023).
Menurut Ari, hubungan “kemitraan” yang selama ini berjalan sangat semu. Hubungan seperti itu juga sulit dikatakan hubungan kerja karena “tidak memenuhi unsur kumulatif dari hubungan kerja.”
Di tengah himpitan nasib para pekerja ekonomi gig dan kekosongan hukum, Ari mengajak para konsumen—yaitu elemen masyarakat itu sendiri—untuk berempati dan bersolidaritas dengan ikut mendesak perbaikan kondisi pekerja.
Menurutnya, posisi konsumen sebagai aktor yang sangat dibutuhkan dalam bisnis e-commerce bisa melakukan tekanan kepada perusahaan dan negara untuk memperbaiki kondisi kerja pekerja ekonomi gig.
“Hal ini dapat menunjukkan adanya pelanggaran atas kerja layak dan adil terhadap pekerja gig, dan menekan pemerintah untuk menerbitkan regulasi dan juga menekan pengusaha memperbaiki kondisi pekerja,” katanya.
Selain itu, menurut Ari, penting untuk membangun platform sendiri yang dikelola secara kolektif oleh para pekerja ekonomi gig. Pasalnya, selama ini kerja yang layak dan adil tak bisa tercipta jika platform digerakan dengan logika akumulasi modal dan industri besar.
“Driver online tidak sekadar jadi pengemudi, tetapi juga menjadi pemilik aplikasi tersebut,” tambahnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz