Menuju konten utama
Perlindungan Konsumen

Nelangsa Para Korban Meikarta di Tengah Buruknya Regulasi Rusun

Dasco sebut untuk menghindari polemik serupa, DPR akan tetap mantau pembangunan Meikarta melalui komisi-komisi terkait.

Nelangsa Para Korban Meikarta di Tengah Buruknya Regulasi Rusun
Foto udara pembangunan proyek apartemen Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (14/2/2023). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/foc.

tirto.id - Bagai buah simalakama. Posisi Efendi Lod Simanjuntak berada pada pilihan yang sama-sama pahitnya. Korban Apartemen Meikarta itu serba dilema. Ketika tidak meneruskan pembayaran cicilan, maka dianggap wanprestasi. Sedangkan jika melanjutkan pembayaran, unitnya juga tidak ada.

Saat itu, ia memilih untuk mengajukan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) ke salah satu perbankan pelat merah untuk melunasi unit Meikarta yang dipesan. Dengan sudah melunasi, maka urusan pembayaran saat ini hubungannya sudah tidak lagi dengan pengembang, melainkan pihak perbankan.

“Dilematisnya kalau saya tidak bayar cicilan ke bank, saya kan dipinalti juga sama bank. Kemudian reputasi saya di BI, kan, jelek. Tapi kalau saya lanjutkan juga seperti berada di lorong yang gelap juga,” kata Efendi bercerita di ujung telepon kepada reporter Tirto, Kamis malam (16/2/2023).

PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pihak pengembang memang sempat menjanjikan penyerahan unit kepada dirinya pada 2019. Namun hingga saat ini, pembangunan gedung juga belum nampak fisiknya.

Ditambah lagi adanya berbagai persoalan yang tengah dialami Meikarta. Mulai dari masalah perizinan, penghentian proyek, digugat palit vendor, hingga kasus penangkapan dilakukan KPK yang semakin memperburuk keadaan.

Efendi mengaku sudah dalam posisi pasrah. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali ada suatu keajaiban terjadi. Jika pun ada pengembalian uang, maka ia pesimistis hal itu akan terealisasi.

Pemerintah sendiri, kata dia, dalam hal ini tidak bisa ikut campur terlalu jauh, lantaran masalah ini murni hubungan keperdataan antara pihak konsumen dengan pengembang. Meikarta juga bukan sebuah etintas. Sehingga pemerintah tidak mungkin juga bisa mengambil alih atau tanggung jawab mengatasi permasalahan ini.

“Yang BUMN saja belum tentu pemerintah mau ambil alih, apalagi seperti ini (Meikarta)," katanya.

Dalam perkara ini, merujuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia tidak punya 'gigi' untuk memproteksi kepentingan konsumen pada umumnya. Apalagi Undang-Undang Rumah Susun yang ada justru menjadi landasan developer membangun unit mereka bisa jual, walaupun belum ada pembangunan fisiknya.

“UU ini juga kurang memberikan perlindungan kepada konsumen pada umumnya. Ke depan ini menurut saya pengembang ini harusnya tidak boleh menjual unit-unitnya sebelum ada pembangunan fisik minimal 20 persen itu," kata dia.

Efendi memang bukan satu-satunya korban. Ratusan anggota yang tergabung dalam Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM) juga bernasib sama. Seluruh anggota tersebut merupakan konsumen atau pembeli yang sampai hari ini tidak mendapatkan haknya, kendati sebagian sudah lunas atau masuk sebagian ke pengembang.

“Artinya memang kami ini adalah terdiri dari orang-orang atau konsumen yang memang kami ini sebagai pembeli unit di sana. Anggota komunitas tidak ada yang tidak memiliki atau tidak ada yang tidak membeli," ujar Ketua PKPKM, Aep Mulyana dihubungi terpisah.

Dia mengatakan, para anggota sudah dalam posisi legowo. Sebagian mereka ada ingin uangnya kembali. Sebagian lagi tetap ngotot untuk mendapatkan hak unitnya dengan cara atau proses apa pun dilakukan pengembang.

“Yang menginginkan uang mereka kembali karena unit yang mereka pesan tidak bisa didapat sesuai harapan dan serah terima yang dijanjikan. Jadi tetap awalnya punya niat membeli unit itu karena mereka mengharapkan unit. Tapi karena mungkin ada masalah sehingga dia daripada unit tidak jadi berpikrian mendapatkan kembali uangnya," katanya.

Bobroknya Regulasi

Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (APRSSI), Ibnu Tadji melihat persoalan Meikarta ini tidak lepas dari buruknya regulasi yang berlaku saat ini. Jauh sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun), ledakan atau kasus seperti Meikarta sudah diprediksi bakal terjadi.

“Jadi kita sudah mengantisipasi akan terjadinya ledakan persoalan-perosalan seperti ini," kata dia saat dihubungi.

Saat itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun masih berlaku sebelum digantikan dengan Undang-Undang 20 Tahun 2011. Pihaknya bersama dengan asosiasi lainnya mendorong pemerintah mengamandemen undang-undang lama. Tetapi kemudian pemerintah tidak terlalu memberi tanggapan.

“2007 ledakannya sudah mulai masalah, 2008 sudah minta tidak ada, lantas kita pergi ke DPR. Di DPR itulah 2009 kita ada dialog di sana, itu ada tanggapan lah. Dari pada aktivis rumah susun itu," katanya.

Dia memandang UU yang lama banyak celah persoalan. Mulai isu masalah tanah, isu mengenai pembentukan Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI), masalah isu pengelolaan. Tidak luput juga persoalan adalah masalah serah terima, di mana semua itu tertuang di dalam Perjanjian Pengikat Jual Beli (PPJB).

"Tapi pemerintah masih bersikeras bahwa pelaku pembangunan boleh menawarkan dan menjual properti meskipun properti belum jadi. Pemerintah masih bersikeras di situ. Padahal kita tolak sekali waktu itu," ujarnya.

Setelah pemerintah tidak berbuat banyak saat itu, lantas DPR mengambil hak inisiatif untuk membuat RUU menggangtikan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011. Aturan ini disetuji pemerintah dan ditandatangani dan berlaku sampai hari ini.

“Tapi akhirnya sudah, ada beberapa hal bisa mulai diperbaiki dan ada yang belum. Sehingga dengan kata lain bahwa pelaku pembangunan itu sebenarnya modalnya tidak banyak. Mereka lebih kepada mengandalkan konsumen untuk membiayai pembangunan apartemen itu," katanya.

Sebagai jalan tengahnya, maka dilakukan pembatasan. Saat itu sempat disepakati tidak boleh ada yang namanya cash keras atau membayar lunas sebelum ada pembangunan. Pembayaran cash lunas bisa dilakukan setelah bangunan fisik sudah ada.

“Tapi kalau belum ada (bangunannya) tetap harus melalui cicilan. Tapi terus kemudian pengawasan terhadap ini tidak ada," katanya.

Dia menyebut, masih banyak masyarakat sebetulnya tidak terlalu memahami tentang aspek UU dan peraturan hukumnya. Pemerintah juga dinilai terlalu naif karena beberapa kali mengatakan sudah disosialisasikan dan diumumkan terkait aturan atau regulasi tersebut.

“Kalau mau seperti itu jangan bikin istilah membingungkan. Contoh gini, oke kalau baru berupa rencana gambar, terus masih dalam proses pembangunan itu memang boleh namanya menawarkan. Menawarkan, tapi menjual boleh tidak?" kata dia mempertanyakan.

Menurut dia, istilah menawarkan dan menjual dua hal berbeda. Oleh karena itu, menurutnya hal ini harus betul disosialisasikan secara jelas. Namun demikian juga, kata dia, tidak bisa dikatakan kalau sudah sosialisasi konsumen seolah sudah mengerti.

Maka yang harus dilakukan adalah tindakan jika kemudian didapati pelaku pembangunan pada masa-masa itu. Karena biasanya mereka bukan hanya menawarkan, tetapi langsung seolah mengikat penjualan. Tentunya dengan cara seperti semacam tanda jadi.

“Tanda jadi misal Rp1-5 juta. Supaya dikatakan kalau tidak unit ini habis, jadi ada seperti itu kejadiannya," imbuhnya.

"Ini yang harus diantisipasi pemerintah bahwa pelaku pembangunan itu sekalinya mereka diberi semacam kesempatan itu mereka menggunakan semcam itu, ini kan saya belum jual, ini tanda jadi," kata Ibnu menambahkan.

Sumber Tirto yang membindangi sektor perumahan menyebut persoalan-persoalan Meikarta ini bukan menjadi kasus baru. Dia mengungkap masalah seperti Meikarta banyak terjadi di wilayah lain dan tidak terangkat ke publik.

“Tapi saya tidak mau mengatakanlah. Pokoknya banyak. Sekarang sudah menjadi bola salju sudah ke mana-mana, bukan hanya di satu titik, waduh hampir di mana-mana," kata sumber Tirto.

Momentum Reformasi Aturan

Adanya kejadian ini, sudah barang tentu menjadi momemtum untuk melakukan reformasi terhadap Undang-Undang Rumah Susun. Ibnu Tadji melihat, seharusnya ini bisa didorong oleh pemerintah bersama dengan DPR.

Dia menyoroti Undang-Undang Cipta Kerja saja bisa dilakukan dalam tempo yang singkat menyangkut seluruh aspek kehidupan bangsa. Dalam UU yang diputuskan inkonstitusional oleh Makamah Konstitusi (MK) itu merangkum puluhan aturan yang diratifikasi dilakukan amandemen atau diperbaiki semuanya.

"Nah ini kan hanya satu soal rumah susun itu sampai bertahun-tahun. Saya melihatnya mau apa tidak nah ini pertanyaannya jadinya kan," ujarnya.

Bukannya curiga, kata dia, tapi faktanya Undang-Undang Cipta Kerja saja bisa dilakukan dengan sedemikian cepat. Sedangkan satu persoalan yang dianggap tidak terlalu sulit bertahun-tahun tidak juga dilakukan. Padahal sudah memakan korban banyak.

“Jadi satu regulasi pengawasan pemerintah itu saya anggap lalai pemerintah. Karena lalai menagawasi aturan-aturan jual beli rumah di rumah susun, sampai kepada serah terima, pengelola sampai ujungnya hulu hilirnya saya anggap pemerintah sudah lalai dan timbul korban banyak," katanya.

Solusi Manajamen dan DPR

Sebagai tindak lanjut dari upaya mencari penyelesaian yang dialami oleh para konsumen Meikarta, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad bersama belasan anggota dewan lintas komisi meninjau langsung ke kawasan pembangunan apartemen Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Para wakil rakyat itu ingin mencari solusi mengatasi persoalan yang ada.

“Kami sudah mengadakan dialog dengan manajemen. Sehingga apa yang dikeluhkan oleh konsumen sudah diakomodir oleh manajemen,” ujar Dasco di sela kunjungannya pada Selasa (14/2/2023).

Dasco menyebut, salah satu yang diakomodir manajamen adalah terkait permintaan pengembalian dana yang telah dibayarkan oleh konsumen terhadap 130 unit apartemen yang telah dibeli. Permintaan pengembalian dana tersebut lantaran sejak 2017 hingga kini pembangunannya belum juga rampung.

Namun dia menegaskan, tidak ada skema pengembalian dana secara langsung. Meski begitu, konsumen tetap bisa mendapatkan kembali uangnya setelah unit tersebut laku di pasar sekunder melalui proses atau skema 'titip jual' yang dilakukan oleh manajemen.

“Tadi kami sudah dipaparkan oleh manajemen bagaimana supply dan demand-nya dari Meikarta ini dan manajemen mengambil kebijakan untuk para konsumen yang ingin meminta dananya kembali proses titip jual melalui manajemen. Kalau melihat arus dari supply dan demand paling lama 1 bulan itu, 130an (unit) itu sudah selesai,” kata Pimpinan DPR Bidang Koordinator Ekonomi dan Keuangan ini.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Lippo Karawaci Tbk, Ketut Budi Wijaya mengarisbawahi bahwa bukan refund yang akan dilakukan kepada 130 konsumen yang meminta pengembalian dana. "Jadi, untuk ini tetap diperjualbelikan melalui secondarymarket namanya ya," kata Ketut.

Lebih lanjut, dia mengatakan pada 2023 ini ada 2.200 unit yang ditargetkan selesai. Adapun yang sudah dibangun saat ini ada 7 blok di 14 tower. “Yang sudah dihuni kurang lebih 7 tower," kata Ketut.

Aep Mulyana sendiri mengapresiasi inisiatif yang dilakukan oleh manajemen Lippo Group terkait dengan metode titip jual. Sebab, bagi anggota yang menginginkan uangnya kembali, skema ini bisa digunakan. Sebaliknya menginginkan unit bisa dibangun secepatnya dengan ada komitmen baru.

“Dua cara ini artinya tetap dibatasi atau mempunyai limitasi dengan mempertimbangkan nilai haknya atau harga unitnya yang pantas. Kedua ada batas waktu, jadi mungkin sarannya pihak MSU juga ada batas waktu pengembalian atau pembangunannya misal pengembaliaan uang konsumen ada jangka waktu tidak mungkin nunggu sampai 3 tahun,” kata dia.

Sementara Dasco menegaskan untuk menghindari polemik serupa, DPR akan tetap memantau pembangunan Meikarta melalui komisi-komisi terkait. Dia juga mengatakan bahwa pendampingan akan tetap dilakukan untuk memastikan terpenuhinya hak-hak pembeli.

“Untuk menjaga supaya hal-hal tersebut tidak terjadi lagi dan juga supaya apa yang sudah dikeluarkan oleh konsumen-konsumen lain itu tetap terjaga, kami dari DPR RI dalam hal ini komisi terkait, nanti akan ikut memantau proses kelancaran pembangunan, proses kelancaran atau serah terima unit-unit yang sudah selesai dan juga kami akan melakukan pendampingan kepada konsumen yang sudah membeli agar haknya dapat terpenuhi,” tukas legislator dapil Banten III itu.

Baca juga artikel terkait PROYEK MEIKARTA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz