Menuju konten utama

Menilik Prospek Properti di Tengah Kenaikan Suku Bunga BI

Di tengah optimisme pasar dalam memproyeksikan stabilitas sektor properti 2023, isu resesi dan naiknya suku bunga patut diwaspadai.

Menilik Prospek Properti di Tengah Kenaikan Suku Bunga BI
Pengendara motor berhenti di depan rumah di salah satu perumahan di Maja, Lebak, Banten, Kamis (12/8/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/wsj.

tirto.id - Jari jempol Fira berselancar di mesin pencarian Google. Lewat ponsel Androidnya, perempuan berusia 26 tahun itu tengah mencari kata kunci 'perumahan subsidi'. Hasil penelusuran Google menampilkan beberapa perumahan dengan ragam desain dan juga harga. Jaraknya belasan kilometer dari area tempat tinggalnya di Bekasi, Jawa Barat.

“Iya rata-rata perumahan subsidi itu jauh-jauh. Aksesnya juga masih susah," kata Fira sambil menunjukkan hasil pencarian rumahnya kepada reporter Tirto, Kamis (5/1/2023).

Keinginan Fira untuk memiliki tempat tinggal sebenarnya sudah ada sejak 2020. Beberapa perumahan ia survei. Namun rasanya belum sesuai keinginan hati. Lantaran kondisi rumah tersebut retak (akibat lama tak dihuni), akses jalan rusak, hingga faktor infrastruktur pendukung lainnya dianggap kurang memadai.

Perempuan yang memiliki satu orang anak itu akhirnya harus menahan diri. Ditambah lagi, ketika itu Indonesia tengah berada dalam situasi sulit akibat pandemi COVID-19. “Kondisinya enggak memungkinkan kalau saya putuskan untuk investasi rumah saat itu," imbuhnya.

Kendati pandemi COVID-19 berlalu yang ditandai dengan dicabutnya Pemberlakulan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada akhir Desember 2022, ia tetap menahan diri, bahkan ragu untuk berinvestasi rumah. Bukan tanpa alasan, kondisi ketidakpastian ekonomi global di 2023 dan kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) menjadi pertimbangan.

“Momentumnya juga enggak tepat kalau beli sekarang, karena suku bunga BI juga sudah tinggi, kan. Bingung juga sih," imbuhnya.

Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Desember 2022, bank sentral memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 5,50 persen.

Selain itu, BI juga menaikkan suku bunga deposit facility 25 basis poin menjadi sebesar 4,75 persen dan suku bunga lending facility naik menjadi sebesar 6,25 persen.

Keputusan kenaikan suku bunga yang lebih terukur tersebut diklaim sebagai langkah lanjutan untuk secara front loaded, pre-emptive, dan forward looking memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi. Sehingga inflasi inti tetap terjaga dalam kisaran 3,0±1 persen.

Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, Ajib Hamdani mengatakan, kenaikan suku bunga tersebut memang akan berdampak terhadap terhadap penurunan daya beli masyarakat. Sentimen negatif ini pun akan membuat sektor properti mengalami perlambatan.

“Sektor yang paling terdampak adalah sektor yang demand-nya mengandalkan kredit, misalnya sektor propert," kata Ajib kepada Tirto.

Dia khawatir, jika sektor-sektor mengandalkan kredit mengalami perlambatan, maka akan mengganggu pola konsumsi. Terlebih penopang signifikan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah dari konsumsi.

PENYALURAN KPR SUBSIDI

Pekerja berjalan di proyek pembangunan rumah subsidi di kawasan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/2/2022). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.

Senior Associate Director Research Colliers International, Ferry Salanto menilai, jika BI menaikkan suku bunganya, maka otomatis bank-bank umum akan mengerek suku bunganya. Sehingga kenaikan suku bunga akan mempengaruhi besaran cicilan kredit kepemilikan rumah (KPR).

“Secara keseluruhan tentu ini akan menurunkan daya beli karena memang cicilan itu berhubungan dengan pendapatan mereka yang mungkin tidak naik," ujar Ferry dihubungi terpisah

Ferry mengatakan, end user yang membeli hunian untuk ditempati cenderung tidak akan menunda pembelian rumah, jika kenaikan suku bunga tidak terlalu tinggi dibanding periode sebelumnya.

“Buat konsumen yang end user ini sesuatu yang memang mungkin mereka harus tetap nekat untuk beli kalau misalnya kenaikannya tidak terlalu tinggi, atau selisih bunga sekarang dan sebelumnya tidak terlalu tinggi," ujar Ferry.

Sementara itu, Komite Perizinan Badan Pertimbangan Organisasi (BPO) DPP Real Estate Indonesia (REI), Adri Istambul Lingga Gayo mengakui, kenaikan suku bunga menjadi salah satu musuh bagi sektor properti. Karena kenaikan tersebut dapat menggerus daya beli masyarakat.

“Untuk KPR komersil sekarang ini, untuk 3 bulan pertama ini memang suku bunga, kan, belum terasa impact-nya terhadap suku bunga KPR ya, tapi dengan adanya inflasi ataupun stagflasi yang terjadi di AS ini kan mungkin akan berimbas ke Indonesia," ujar dia.

“Bank-bank sekarang, kan, sudah mulai menaikkan suku bunga minimumnya. Ini tentu akan ber-impact terhadap suku bunga KPR,” sambung Adri.

Optimistis Tetap Tumbuh

Di tengah kenaikan suku bunga dan ketidakpastian ekonomi global tahun ini, sektor properti dalam negeri diyakini masih tumbuh positif. Optimisme ini didasari atas dasar fakta masih tingginya backlog perumahan di angka 12,75 juta. Backlock adalah kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah dibutuhkan rakyat.

Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN), Haru Koesmahargyo mengatakan, sektor properti terutama perumahan merupakan salah satu sektor yang selama ini terbukti mampu bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi. Hal ini ditujukkan dengan pertumbuhan positif KPR di tengah perekonomian nasional yang melemah dan mampu tumbuh lebih besar dari pertumbuhan kredit total selama pandemi.

Seperti diketahui distribusi KPR nasional tubuh 7,7 persen secara tahunan di kuartal III-2022. Ini meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya 6,81 persen.

“Ini adalah satu hal yang positif yang menurut kita, kita yakini di 2023 ada potensi untuk tetap positif. Walaupun beberapa orang mengatakan adanya stagflasi ada yang lebih serem lagi reflasi. Sudah resesi, inflasi mudah-mudahan tidak terjadi," katanya dalam Economic & Outlook Property 2023.

PENYALURAN KPR SUBSIDI

Sejumlah anak melintas di depan rumah subsidi di Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/2/2022). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.

Jika mengacu Hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) BI, penjualan properti residensial primer kuartal III 2022 secara tahunan terindikasi tetap kuat. Hal ini tercermin dari penjualan properti residensial yang tumbuh sebesar 13,58 perden (yoy) pada kuartal III 2022.

Perkembangan penjualan pada kuartal III 2022 yang tetap kuat terutama ditopang oleh meningkatnya penjualan tipe rumah kecil yang tercatat tumbuh sebesar 30,77 persen (yoy), lebih tinggi dari 14,44 persen (yoy) pada kuartal sebelumnya. Sementara itu, penjualan rumah besar juga tercatat tumbuh sebesar 19,73 persen (yoy), meski lebih rendah dibandingkan 29,86 persen (yoy) pada kuartal sebelumnya.

Di sisi lain, penjualan tipe rumah menengah terkontraksi sebesar -1,59 persen (yoy) pada kuartal III 2022. Responden menyampaikan bahwa sejumlah hambatan dalam penjualan properti residensial primer dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Pertama, kenaikan harga bahan bangunan (25,13 persen dari jawaban responden). Kedua, masalah perizinan/birokrasi (15,59 persen). Ketiga, suku bunga KPR (11,91 persen). Keempat, proporsi uang muka yang tinggi dalam pengajuan KPR (12,11 persen) dan kelima, perpajakan (9,14 persen).

“Hasil survei Bank Indonsia menunjukan bahwa geliat sektor properti pasca pandemi berbanding lurus dengan pertumbuhan KPR perbankan ke arah positif signifikan pada kuartal III-2022," jelasnya.

Sedangkan hasil survei Knight Frank Indonesia berjudul “Property Outlook Survey 2023” menunjukkan bahwa 59 persen responden optimistis pertumbuhan sektor properti akan relatif stabil di 2023. Di mana situasi ekonomi global dinilai tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor properti di dalam negeri.

Namun beberapa potensi risiko patut diwaspadai oleh sektor properti di 2023. Di tengah optimisme pasar dalam memproyeksikan stabilitas sektor properti untuk 2023, isu resesi dan naiknya suku bunga patut diwaspadai.

“Para responden juga mewaspadai berbagai potensi resiko yang bisa mengganggu perkembangan sektor properti, seperti dampak pandemi yang berkelanjutan, kenaikan inflasi, dan semakin dekatnya pemilu,” kata Senior Research Advisor Knight Frank, Syarifah Syaukat, kepada Tirto.

Dia menyebut beberapa subsektor properti yang diprediksi prospektif adalah rumah tapak (landed house) yang keluar sebagai pilihan dominan para responden. Subsektor lainnya industri, pergudangan modern, ritel, hotel, dan villa resor. Sementara untuk subsektor perkantoran dinilai masih stagnan dan dan apartemen strata cenderung melemah.

Survei juga menangkap adanya kecenderungan pasar, 66 persen responden, untuk wait and see pemulihan sektor properti dalam 3-5 tahun kedepan karena masuknya Indonesia pada persiapan menjelang tahun politik di 2024 nanti.

Selanjutnya, daerah Jabodetabek masih dinilai oleh 51 persen sebagai kawasan yang prospektif untuk investasi sektor properti, sedang wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) di posisi kedua.

Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), Ikang Fawzi meyakini, bisnis properti di Indonesia akan tetap berjalan meski diterpa ancaman resesi ekonomi global di tahun ini.

Menurut Ikang, dunia properti saat ini masih tetap menggeliat. Hal itu dilihat dari minat masyarakat yang membeli rumah tinggal masih menunjukkan peningkatan meski ditengah isu terpaan badai ekonomi yang diprediksi bakal terjadi tahun depan.

“Secara makro memang ada tantangan kita melihat seperti itu. Tapi demand tetap akan tinggi setelah terjadi banyak penundaan (beli) masyarakat saat pandemi,” kata dia.

Walapun masih tumbuh, dia tetap mewaspadai dampak kenaikan suku bunga BI yang turut berdampak kepada daya beli masyarakat. “Itu akan menjadi suatu ancaman dan tantangan sendiri," imbuhnya.

Namun, untuk menyiasati hal tersebut, REI bersama stakeholder lain mendorong berbagai insentif kemudahan untuk pembelian rumah. Ini dilakukan agat tetap daya beli masyarakat terhadap sektor ini terjaga.

“Karena sekarang suplainya banyak dan demand tumbuh, orang bisa mendapatkan properti dengan harga yang pantas. Gambarannya seperti itu," jelasnnya.

Dukungan Insentif Pemerintah

Sejak 2021, BI dan pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan sektor perumahan. BI mengeluarkan kebijakan pelonggaran rasio loan to value (LTV)/financing to value (FTV) untuk kredit/pembiayaan properti menjadi 100 persen.

Sedangkan pemerintah mengeluarkan kebijakan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah PPN DTP hingga 100 persen untuk pembelian rumah pertama di 2021 dan 50 persen untuk pembelian rumah pertama di 2022 sampai dengan September. Kebijakan insentif tersebut terbukti cukup efektif mendorong kinerja sektor properti.

Sejak kuartal II-2021 hingga kuartal I-2022, sektor konstruksi tumbuh 3,8 persen - 4,8 persen (yoy) setelah sebelumnya terkontraksi selama 2020. Sektor real estate juga tumbuh positif 2,8 persen - 3,9 perden (yoy) selama periode kuartal II-2021 hingga kuartal I-2022.

Namun demikian, sejak kuartal II-2022, kinerja sektor properti mulai mengalami perlambatan. Terakhir, pada kuartal III-2022, baik sektor konstruksi dan sektor real estate hanya tumbuh sebesar 0,63 persen (yoy).

Terbaru, BI memutuskan untuk melanjutkan pelonggaran ketentuan uang muka alias Down Payment (DP) kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor dan properti paling sedikit nol persen. Ketentuan ini akan berlaku efektif 1 Januari sampai 31 Desember 2023.

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, langkah tersebut dilakukan sebagai lanjutan implementasi kebijakan makroprudensial akomodatif untuk mendorong penyaluran kredit atau pembiayaan perbankan kepada dunia usaha.

“Ini untuk mendorong penyaluran kredit atau pembiayaan perbankan kepada dunia usaha," ujar Perry dalam Konferensi Pers Pengumuman Hasil RDG Oktober 2022 di Jakarta, Kamis (20/10/2022).

Perry menjelaskan kebijakan DP nol persen diberikan untuk semua jenis kendaraan bermotor baru guna mendorong pertumbuhan kredit di sektor otomotif. Kebijakan ini dilakukan dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.

Sementara untuk properti, BI melanjutkan pelonggaran rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) kredit atau pembiayaan properti menjadi paling tinggi 100 persen untuk semua jenis properti yakni rumah tapak, rumah susun, serta ruko.

Pelonggaran tersebut akan menyebabkan bank yang memenuhi kriteria rasio kredit atau pembiayaan macet atau Non Performing Loan/Non Performing Financing (NPL/NPF) tertentu bisa memberikan uang muka Kredit Pemilikan Rumah (KPR) menjadi paling sedikit nol persen pula kepada masyarakat.

Melalui kebijakan tersebut, pertumbuhan kredit di sektor properti diharapkan bisa meningkat dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.

Dia melanjutkan, implementasi kebijakan makroprudensial akomodatif lainnya juga dilakukan dengan mempertahankan rasio Countercyclical Capital Buffer (CCyB) sebesar nol persen dan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada kisaran 84 persen sampai 94 persen.

Selanjutnya rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) turut dipertahankan sebesar 6 persen dengan fleksibilitas repo sebesar 6 persen dan rasio PLM Syariah sebesar 4,5 persen dengan fleksibilitas repo sebesar 4,5 persen.

Ke depan bank sentral juga akan memperkuat sinergi kebijakan antara BI dengan kebijakan fiskal pemerintah dan dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Ini terus dalam rangka menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mendorong kredit atau pembiayaan kepada dunia usaha pada sektor-sektor prioritas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, ekspor, serta inklusi ekonomi dan keuangan.

Baca juga artikel terkait BISNIS PROPERTI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz