tirto.id - Diskursus soal proyek Meikarta milik Lippo Group kini tidak seramai medio 2018.Ketika itu, mega proyek yang diinisiasi oleh Mochtar Riady dan James Riady tersebut terkendala kasus perizinan hingga dugaan korupsi. Kini, proyek properti yang berlokasi di Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, itu perlahan mulai “dihidupkan” kembali.
Hingga akhir Desember 2023 lalu, manajemen Meikarta mengklaim sudah ada ribuan unit apartemen yang diserahterimakan kepada pemilik unit dan masih akan terus berlanjut. Dari ribuan unit apartemen yang telah diserahterimakan, sekitar seribu unit dihuni dan selebihnya ada yang disewakan.
“[Para korban] sudah dipenuhi haknya. Ada yang pengembalian dana dan ada yang hunian,” ujar Eks Ketua Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM), Aep Mulyana, saat dikonfirmasi Tirto, Rabu (9/10/2024).
Aep sendiri merupakan salah satu yang menaungi sebanyak 133 orang atau pembeli unit di Meikarta, tapi belum mendapatkan haknya. Dia dan beberapa korban tersebut kemudian mengadukannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk meminta kejelasan bagi para korban.
Para anggota PKPKM saat itu seluruhnya sudah dalam posisi legowo. Sebagian mereka ingin uangnya kembali, sementara sebagian lagi tetap ngotot untuk mendapatkan hak unitnya dengan cara atau proses apa pun yang dilakukan pengembang.
Jika melihat kondisi proyek Meikarta saat ini, memang sudah ada tanda-tanda kehidupan dan juga mengalami perkembangan yang signifikan. Beberapa industri makanan dan minuman (F&B) di Meikarta bahkan mulai menjamur, baik di Distrik 1 maupun Distrik 2.
Pengembang Meikarta adalah PT Mahkota Sentosa Utama (MSU). MSU merupakan anak usaha PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) yang juga merupakan anak usaha dari PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR).
LPCK, seturut pemberitaan Bisnis.com, sempat menargetkan untuk mengejar kembali pembangunan 18.000 unit hingga 2027 dengan suntikan dana Rp3 triliun.
Keinginan LPCK untuk menghidupkan kembali megaproyek ini pun sebenarnya tidak lepas dari aksi korporasi yang dilakukan oleh Lippo Group. Salah satu aksi korporasi itu adalah jual aset. Penjualan aset itu sebenarnya sudah dilakukan sejak 2018, saat proyek Meikarta mulai tercium bermasalah.
Lippo Group Jual Aset
Pada Oktober 2018, seturut laporan Katadata, Lippo Group menjual saham Bowsprit Capital Corporation Limited. Ia juga menjual unit First Real Estate Investment Trust (First REIT) Bridwater International Limited. Dari kedua aksi korporasi itu, Grup Lippo mengantongi dana senilai S$99 juta atau sekitar Rp1,07 triliun (asumsi kurs Rp10.880/dolar Singapura).
Penjualan saham itu dilakukan kepada OUE Limited (OUE) sebesar 60 persen dan OUE Lippo Healthcare Limited (OUELH) dengan jumlah divestasi 40 persen. Perusahaan mengalihkan sebanyak 83,59 juta unit REIT tersebut kepada OLH Healthcare Investment Pte. Ltd dengan nilai transaksi S$103 juta (Rp1,12 triliun).
REIT merupakan Real Estate Investment Trust atau di Indonesia dikenal dengan Dana Investasi Real Estat (DIRE). Sederhananya, REIT ialah reksa dana yang unit penyertaannya berupa aset properti. Unit REIT milik Lippo diperjualbelikan di Singapore Stock Exchange (SGX) dengan harga unit fluktuatif mengikuti mekanisme pasar.
LPKR juga melakukan penjualan aset setahun setelahnya. Lippo Karawaci menandatangani perjanjanjian pengikatan pembelian saham (PPPS) atau conditional share purchase agreement untuk menjual kepemilikan anak usaha tidak langsungnya, PT Waluya Graha Loka yang mengelola aset rumah sakit di Myanmar.
Dari penjualan tersebut, LPKR diproyeksikan memperoleh dana senilai US$19,50 juta atau sekitar Rp274,95 miliar (asumsi kurs Rp14.100 /dolar AS saat itu).
Kemudian, pada 2020, LKPR melalui anak usaha Lippo Malls Indonesia Trust Management Ltd juga turut melepas kepemilikannya atas dua mal, yaitu Pejaten Village dan Binjai Supermall, dengan total nilai S$124,3 juta atau setara Rp1,280 triliun.
"Kami menjual kepemilikan surat berharga realestat (real estate investment trust/ REIT) kepada NWP Retail perusahaan patungan Warburg Pincus dengan PT City Retail Developments," kata Chief Executive Officer Manager REIT PT Lippo Karawaci Tbk, James Liew, saat itu.
Harga penjualan masing-masing senilai Rp997,4 miliar (S$96,8 juta) untuk Pejaten Village dan Rp283,3 miliar (S$27,5 juta) untuk Binjai Supermall. Angka itu lebih tinggi masing-masing sebesar 33,3 persen dan 19,3 persen dari harga perolehan awal yang sebesar Rp748 miliar dan Rp237,5 miliar saat diakuisisi pada 2012.
Artinya, Lippo menangguk untung sebesar Rp295,2 miliar dari penjualan dua mal tersebut.
Sementara baru-baru ini, LPKR telah berpartisipasi dalam penawaran tender sukarela atas saham PT Siloam Hospitals Tbk (SILO). Sebagai hasilnya, perseroan telah menjual 18,57 persen kepemilikannya di SILO. Dengan demikian, kepemilikan perseroan di SILO turun menjadi 29,09 persen.
Presiden Direktur LPKR, Marlo Budiman, mengatakan bahwa transaksi ini menandai sebuah langkah maju dalam penyelarasan strategis perseroan terhadap bisnis utama di bidang real estate. Meskipun perseroan mengurangi kepemilikan saham di SILO, pihaknya tetap berkomitmen untuk mendukung pertumbuhan dan kesuksesan SILO sebagai pemegang saham strategis.
“Transaksi strategis ini memungkinkan perseroan untuk mengurangi tingkat utang serta memperkuat fokusnya pada bisnis real estate dengan tetap mempertahankan kepentingan strategis pada SILO sebagai penyedia layanan kesehatan terkemuka di Indonesia,” ujar dia dalam keterangan persnya, dikutip Tirto.
Demi Proyek Meikarta?
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, melihat aksi korporasi yang dilakukan oleh Lippo Group bisa dibaca sebagai upaya untuk menyelamatkan proyek Meikarta. Lippo Group sengaja menjual aset-aset atau saham mereka untuk mendapatkan dana segar baru untuk menutupi kerugian dari proyek tersebut.
“Aksi korporasi ini, menurut saya, untuk tutupi utang ditimbulkan dari satu proyek, yaitu Meikarta. Atau mungkin, proyek lain yang sedang dikerjakan oleh Grup Lippo,” kata Huda kepada Tirto, Rabu (9/10/2024).
Huda menyebut salah satu permodalan untuk menggarap proyek Meikarta berasal dari obligasi atau utang. Maka ketika proyek ini terkendala atau bermasalah, risikonya cukup besar karena mereka harus membayar utang jatuh tempo tersebut.
“Nah, ini saya rasa sih sebenarnya motif utamanya itu adalah untuk menutupi utang gitu kan. Kemudian, untuk menyelesaikan pembangunan sebagainya. Karena, saya rasa itu jadi beban bagi Lippo,” ujar dia.
Apalagi, megaproyek Meikarta yang dikembangkan di atas lahan seluas 500-an hektare dengan estimasi investasi mencapai US$20 miliar atau Rp278 triliun itu sejak awal promosinya dilakukan secara gila-gilaan dan masif. Lippo Group saat itu bahkan menawarkan harga cukup terjangkau dan membuat permintaan hunian Meikarta tinggi.
“Tapi, sampai sekarang itu belum terlihat hasil atau wujud nyatanya seperti apa. Nah, ini yang saya lihat memang jadi beban bagi Grup Lippo. Makanya mereka menjual sebagian saham Siloam untuk menutupi hal tersebut. Karena, kalau kita lihat, Siloam sendiri kan sebenarnya juga tidak buruk amat untuk kinerjanya,” jelas Huda.
Sementara itu, analis pasar modal Riska Afriani justru menilai aksi korporasi yang dilakukan oleh Lippo Group lebih disebabkan kebutuhan dari sisi keuangan. Hal tersebut tercermin dari penggunaan dananya yang di atas 50 persen digunakan untuk membayar utang.
“Secara garis besar, mereka mau berfokus pada bisnis operasional kawasan yang terintegrasi dan dalam hal ini rumah sakit bukan lagi menjadi prioritas. Hal tersebut terlihat dari kepemilikan LPKR yang saat ini bukan lagi menjadi mayoritas di SILO,” jelas dia kepada Tirto, Rabu (9/10/2024).
“Jadi, hemat saya, fokusnya lebih kepada penyelesaian proyek, modal kerja LPKR,” lanjut Riska.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi