tirto.id - Pembentukan koalisi partai politik jelang Pemilu 2024 semakin mengerucut. Teranyar, Partai Golkar sebagai bagian dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) disebut akan merapat ke koalisi Partai Gerindra-PKB. Di sisi lain, Partai Nasdem memberi sinyal menerima pendamping Anies Baswedan dari koalisi pemerintahan Jokowi selama disepakati gerbong Koalisi Perubahan.
Di luar riuh partai parlemen, parpol non-parlemen yang sempat berpartisipasi dalam Pemilu 2019 juga berupaya untuk memberikan dukungan dalam pemilu mendatang. Sebut saja Partai Hanura yang resmi mendeklarasikan dukungan kepada Ganjar Pranowo.
Jika ditilik ke belakang, keberadaan partai non-parlemen peserta Pemilu 2019 memang tidak memenuhi ambang batas parlemen. Namun, jika kekuatan partai non-parlemen digabungkan, maka suaranya cukup besar. Berdasarkan data KPU, total suara partai non-parlemen melebihi ambang batas 4%.
Saat ini, setidaknya ada lima partai non-parlemen yang kembali maju pada Pemilu 2024. Mereka adalah Partai Garuda (0,52 persen suara nasional di 2019), Partai Perindo (2,68 persen), PSI (1,89 persen), Partai Hanura (1,56 persen), dan PBB (0,79 persen).
Jika ditotal, maka total suara parpol non-parlemen mencapai 7,44 persen. Angka ini hampir menandingi Partai Demokrat pada Pemilu 2019 yang mendapat suara 7,77 persen atau lebih tinggi daripada PAN (6,84 persen) atau PPP (4,52 persen).
Artinya, partai non-parlemen ini dapat membantu parpol atau koalisi partai yang membutuhkan dukungan suara agar bisa mengusung calon presiden pada Pilres 2024.
Sebagai catatan, Pasal 222 Undang-Undang Pemilu yang merupakan dasar pencalonan presiden-wakil presiden mengamanatkan bahwa pengusungan calon dilakukan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu sebelumnya.
Pertanyaannya, apakah partai non-parlemen ini punya pengaruh besar di pemilu dan mempengaruhi politik nasional?
Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP-UI, Hurriyah mengakui bahwa partai non-parlemen bisa punya andil besar dalam Pemilu 2024, salah satunya dengan terlibat dalam pengusungan koalisi. Ia tidak memungkiri bahwa undang-undang memang memberi ruang bagi partai non-parlemen untuk mempengaruhi pencapresan.
“Bahwa secara regulasi memungkinkan kalau misalnya partai-partai kecil bergabung, kemudian ada satu partai tetap saja yang bergabung nggak cukup juga. Jadi tetap harus ada partai yang punya kursi di parlemen kalau jumlah mencapai,” kata Hurriyah kepada reporter Tirto.
Hurriyah menambahkan, partai parlemen pun tidak serta merta mau untuk bekerja sama dengan partai non-parlemen. Ia mengingatkan, partai parlemen berkemungkinan besar tidak akan bekerja sama dengan partai non-parlemen bila tidak ada tujuan besar yang diperoleh, yakni kemenangan pemilu.
“Secara legal formal itu memang dimungkinkan, bisa gitu. Tapi kan kita bicara soal apakah ini menjadi pilihan strategis sebuah partai atau tidak. Karena pilpres ini kan semua partai orientasinya adalah kemenangan," kata Hurriyah.
Selain soal kemenangan, kata dia, partai juga melihat apakah mereka bisa mencalonkan kadernya sendiri di pemilu atau tidak. Kalau pun tidak bisa, partai akan mencari cara dengan mendukung kader potensial yang memenangkan pemilu, sehingga partai akan mengklaim kemenangan.
Menurut Hurriyah, dalam mencari kemenangan, partai bisa mencalonkan kader sendiri atau mendukung kader parpol lain yang potensial menang, menjadi kunci utama berkoalisi. Karena itu, partai non-parlemen otomatis akan lebih memilih merapat ke koalisi yang ada daripada membentuk koalisi sendiri yang terdiri dari partai non-parlemen.
Selain itu, ada sebuah fenomena di politik Indonesia bahwa partai-partai lebih suka berkoalisi dengan partai sesama penghuni parlemen daripada melihat suara secara nasional. Ia juga melihat fenomena bahwa partai besar kerap berkuasa atas koalisi.
Partai kecil, kata Hurriyah, kerap memiliki pengaruh minim dalam koalisi. Situasi partai non-parlemen, yang tidak memiliki kursi parlemen diprediksi akan mengalami nasib lebih buruk daripada partai kecil yang masih memiliki suara di parlemen.
“Jadi partai-partai yang lebih kecil itu, kan, pasti punya daya pengaruh yang tidak terlalu signifikan apalagi partai yang gak punya kursi di parlemen. Pilihan yang bisa mereka dapatkan itu adalah biar mereka bisa turut mengklaim kemenangan, ya hanya menjadi partai pendukung saja, kayak waktu PSI dulu," kata Hurriyah.
Hurriyah mengingatkan, PSI sebagai partai baru di Pemilu 2019 tidak memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan koalisi. Kemudian, PSI juga tidak mendapatkan kue besar di kekuasaan setelah memenangkan Jokowi-Maruf Amin pada Pemilu 2019.
“Jadi kalau bicara peta politik partai, kan, ada dogma antara partai-partai besar dengan partai-partai kecil. Selama ini kebijakan, arah koalisi itu semua ditentukan partai-partai besar. Partai kecil relatif tidak punya suara, apalagi kalau partainya nggak punya [wakil] di parlemen," kata Hurriyah.
Kondisi nasional tidak jauh berbeda dengan kondisi daerah. Ia menilai, partai akan menggunakan pendekatan kemenangan, upaya mengusung kader sendiri atau memilih kader partai lain yang berpotensi menang sebagai strategi politik.
"Ini konteksnya bisa dipraktekkan di pilpres, di pilkada juga sebenarnya. Jadi tren di daerah akhirnya begitu ketika mengusung calon gubernur, calon wali kota, calon bupati gitu. Jadi akan seperti itu. Jadi bukan perbedaan perlakuan," kata Hurriyah.
Sementara itu, analis politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Hari Fitrianto mengatakan, partai politik non-parlemen yang punya suara di Pemilu 2019 dan maju kembali pada 2024 masih punya pengaruh. Namun, mereka tidak akan berpengaruh kuat sampai soal kandidat maupun arah koalisi.
“Secara pragmatis, saya kira mereka tetap dibutuhkan untuk memperluas jangkauan elektabilitas kandidat presiden. Tetapi untuk menentukan arah koalisi atau bahkan bursa kandidat, saya kira daya tawar mereka lemah,” kata Hari.
Hari menjelaskan, partai non-parlemen memiliki sejumlah masalah yang berakar dari kelembagaan partai yakni masalah struktur kepemimpinan, struktur organisasi dari pusat hingga daerah serta kesinambungan kaderisasi. Ketiadaan kader di parlemen menyulitkan pemenuhan ketiga unsur lembaga. Ia beralasan, politik sangat dinamis sehingga suara akar rumput partai bisa bergeser.
Di sisi lain, partai non-parlemen sulit membangun koalisi karena tidak ada keterikatan bersama. “Ketiadaan isu maupun perangkat UU yang mampu mengikat mereka sebagai satu kekuatan. Kalau dulu kita mengenal stembus accord di mana partai kecil hisa menggabungkan suaranya untuk menjadi kekuatan di parlemen,” kata Hari.
Di saat yang sama, ekosistem politik Indonesia masih hanya sebagai instrumen merebut kekuasaan. Padahal, partai bertugas untuk membentuk basis di akar rumput, advokasi, hingga perlawanan isu.
Hanya Sebatas Pelengkap
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengakui partai parlemen dan non-parlemen memiliki perbedaan. Posisi partai non-parlemen masuk sebagai partai pendukung atau partai yang sebatas pelengkap. Akan tetapi, partai non-parlemen tetap punya nilai.
“Secara posisi, secara kedudukannya memang lebih strategis, lebih menentukan dan punya nilai jual partai parlemen, sementara partai non-parlemen juga menjadi partai penting misalnya ada partai yang tetap diperhitungkan,” kata Pangi.
Pangi mencontohkan Partai Perindo yang memiliki jaringan media. Sebagai catatan, Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo merupakan bos MNC Media Group. Contoh lain adalah partai non-parlemen memiliki basis suara kuat di daerah tertentu.
Akan tetapi, Pangi menegaskan, partai non-parlemen tetap saja tidak akan dianggap dalam proses pengambilan keputusan politik besar, seperti soal pembangunan koalisi, chemistry politik hingga arah koalisi. Ia mencontohkan PSI saat ini tidak punya suara di parlemen yang berujung tidak dianggap di Pemilu 2024.
“Tetap saja partai koalisi itu tetap akan berkoalisi yang menjadi strategis kerja sama dengan partai di parlemen, bukan dengan partai non-parlemen," kata Pangi.
Pangi juga melihat konstelasi politik Indonesia di 2024 sudah mengunci. Ia beralasan, partai non-parlemen tidak bisa mengusung calon sendiri meski mereka bersatu. Di sisi lain, konstelasi politik nasional sudah mengarah pada 2 hingga 4 paslon.
“Di luar itu mereka tidak punya prospek menjanjikan dan tidak punya harapan sebetulnya untuk bisa mengubah peta politik dari 2 jadi 4, 2 jadi 3 poros karena adanya posisi strategis dari partai non-parlemen,” kata Pangi.
“Jadi partai non-parlemen tidak bisa membentuk embrio politik, tidak bisa menambah kursi, tidak menambah jumlah koalisi, poros koalisi. Nggak bisa. Dia hanya sebagai partai pelengkap," tutur Pangi.
Salah satu partai non-parlemen, Perindo memastikan bahwa mereka masih intens untuk membangun komunikasi politik dalam menghadapi pemilu mendatang. Komunikasi akan terus semakin intens usai pertemuan dengan sejumlah partai.
“Perindo sudah menemui ketua umum Partai Gerindra dan ketum Golkar dan saat ini dan ke depan sampai masa dibukanya masa pencalonan calon presiden dan wakil presiden, Perindo pada Oktober 2023, Perindo terus intens membangun komunikasi," kata Ketua DPP Perindo, Heri Budianto kepada Tirto, Jumat (12/5/2023).
Heri menilai, Perindo mengklaim hubungan mereka dengan partai parlemen tidak ditinggalkan. Akan tetapi, ia mengaku Perindo butuh komunikasi aktif dalam menghadapi Pemilu 2024.
“Kami sebagai peserta Pemilu 2019 tidak merasa ditinggal oleh parpol Senayan. Memang kami yang harus aktif, sehingga terjalin komunikasi yang baik," kata Heri.
Sementara saat disinggung soal posisi partai di koalisi mendatang, Perindo masih melakukan komunikasi. Ia sebut, Perindo akan berkoalisi dengan capres yang memiliki komitmen meneruskan pembangunan dan keberhasilan Presiden Jokowi. Namun koalisi mana yang jadi tempat pelabuhan Perindo masih menunggu waktu.
“Tunggu saja, nanti ke mana dan siapa capres yang akan kami usung. Waktunya akan tiba nanti," kata Heri.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz